Damn It

199 8 0
                                    


Sivia tersenyum lebar menatap Ify yang berada di sebrang sana. Ternyata ia salah. Ia berpikir sahabatnya itu akan kurus, pucat dan segala hal yang mengkhawatirkan. Betapa khawatirnya ia saat mendapat kabar dari pamannya yang bertugas di Paris bahwa saat pertama kali Ify di Paris ia tidak mengunjungi pamannya sekalipun.

Namun lihatlah yang terjadi bahwa sahabatnya itu begitu ceria. Dengan dua sudut bibir yang melengkung lebar. Dua mata yang tertarik dan pipi yang merah mengembung itu begitu mudah menghempaskan dirinya dari keterikatan yang membuatnya takut.

"Vi udah sih gue kan gak papa ngapain sih lo liatin gue kayak gitu. Kayak mau makan gue aja lo deh. Hihh" Mendengar ucapan Ify membuat Via melebarkan matanya. Lihatlah muka polos tanpa dosa yang sepersekian detik membuat Via merasa kepulan asap keluar dari berbagai lubang di wajahnya seperti yang ada di kartun.

"Lo tuh ya. Kenapa sih seneng banget buat gue hampir mati mikirin lo. Astaga Ify. Lo tuh sudah gue bilangi dari awal berangkat untuk check up ke paman gue tapi.."

"Maaf Vi. Gue gak ada maksud buat lo khawatir. Gue cuma berfikir selama ini keadaan gue baik-baik aja. Gue selama ini gak pernah merasakan sakit apapun. Biarpun gue jalan sejauh apapun dalam keadaan dingin seperti ini gue ngerasa biasa aja. Gue gak papa Vi sumpah demi Tuhan"

"Tapi Fy.."

"Vi.." Via terdiam. Ify menatap dirinya sendu di balik layar sana. Via dapat melihat beberapa kali Ify menghembuskan nafasnya. "Lo inget janji gue sama lo dan Iyel gak"

Via mengalihkan pandangannya. Namun tak lama ia kembali menatap Ify di sebrang sana.

"Lo inget janji gue tentang kekuatan dan lo inget kalimat tentang alasan kebahagiaan gue. Hemmhh" Via mengangguk.

"Aku Ify. Ify bukan gadis yang lemah, ify tidak takut apapun, ify berani menghadapi apapun dan Ify hanya percaya pada Tuhan. Lo inget kan janji yang sering gue ucapin di depan lo dan Iyel"

Sivia menundukkan kepalanya "Maafin gue. Gue gak bermaksud.."

"Hushh cukup gue sudah tau"

***

"Besok jadwal lo kemo. Lo harus ke paman Via. Via udah atur jadwal supaya lo bisa langsung ketemu pamannya. Inget gak ada bantahan kalo lo gak mau gue berantem sama Via karena lo"

Ify menghembuskan nafasnya. Lagi lagi kalimat protektif itu yang keluar walaupun bukan dari bibir yang sama. Ify menghempaskan tubuhnya di sofa kamar Gabriel. Ify sedikit melirik ke sahabat pemudanya itu, kemudian ia langsung mengalihkan pandangannya ke majalah sport milik Gabriel di meja kaca di hadapannya.

"Fy lo denger gue kan"

"Hmm"

Gabriel melirik Ify. Alisnya bertaut melihat raut gadis di hadapannya. Gabriel menarik nafas sejenak kemudian beranjak dan berjalan mendekati Ify.

"Lo kenapa?" Tanyanya lembut. Ify menggeleng membuat kerutan di dahi Gabriel makin bertambah. "Fy"

"Gue cuma takut kalo gue gak akan bisa melewati besok" Ucap Ify lirih sambil memainkan ujung kaos Iyel. Gabriel tersenyum. Tangannya kekar terulur menarik tubuh mungil Ify mendekat padanya. Kemudian mengusap lembut rambutnya.

"Kenapa"

"Gue cuma butuh Via di saat seperti itu"

***

Tok.. tok.. tok

Sivia bangkit dari tidurnya. Via melirik pintunya lalu menghela nafas. "Buka aja ma. Gak Via kunci kok"

Love And ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang