Rasa Hati

228 8 0
                                    

***

Ify menatap langit Paris yang saat ini menuruni gumpalan-gumpalan putih dan halus yang makin lama makin menyelimuti setiap sudut Paris ini. Seulas senyum terukir di wajah Ify.

"Bonsoir" (Selamat malam)

Ify membalikkan tubuhnya. Gabriel berdiri tepat di hadapannya dengan dua buah cangkir Hot Cappucino di tangannya"

"Lo ngomong apa sih. Gue gak ngerti" Tanya Ify dengan wajah innocent-nya setelah ia meraih secangkir cappucino dari tangan Gabriel. Gabriel mengacak rambut Ify sambil terkekeh.

"Iya gue lupa kalo lo berasal dari peradaban yang jauh. Bonsoir itu artinya selamat malam, Ify" Ify mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Gabriel. Apa-apaan bisa-bisanya pemuda itu mengucapkan kalimat dengan nada yang seakan merendahkannya. Ify menghentakkan kakinya di lantai dan mengalihkan pandangan kembali ke taman yang terdapat menara Eiffel di hadapannya itu

"Kenapa lo. Mukanya jelek gitu?" Ify melebarkan matanya mendengar kalimat dari Gabriel barusan. Tak tanggung-tanggung dengan gerakan cepat Ify langsung mendekat ke Gabriel dan mencubit pinggang sahabatnya itu.

"Hahahaha. Muka lo lucu sumpah deh Fy. Aw.. aw sakit Fy. Ampun ampun.."

"Sekali lagi lo bikin gue kesel gue gantung lo di Eiffel tau rasa" Gabriel terkikik.

TING..

Ify mengernyit saat sebuah suara dari laptopnya berbunyi. Ify berjalan mendekati laptopnya yang menyala di kasurnya. Oh sebuah panggilan dari skype masuk ke laptopnya. Ify pun membuka. Apa itu panggilan dari..

"Halo.."

***

Rio menatap gambar-gambar di kameranya. Senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Wajah itu terlihat cantik di gambar miliknya. Sungguh Rio mengagumi pemilik wajah itu. Entah apa yang Rio rasakan terhadap gadis yang baru ia temui dua kali itu. Ada rasa tak biasa yang selalu menginterupsinya. Rio menatap Shilla yang tertidur di sofa ruang tengah apartemennya. Laptop gadis itu masih terbuka walaupun dengan keadaan layar yang mati. Sebuah pikiran gila muncul di otak Rio. Dengan perlahan Rio mendekati meja kecil dekat sofa dan duduk berhadapan laptop Shilla. Rio meng-klik sebuah program di sana. Skype.

Setelah log-in Rio mencari sebuah contact yang sempat Rio simpan setelah ia sempat mencari tau. Ify Alza. Rio tersenyum membaca nama itu setelah sebelumnya ia berjuang untuk mencari tau apapun tentang gadis itu.

Tak perlu menunggu lama. Panggilan darinya di jawab oleh gadis itu. Ia dapat menerka bagaimana raut gadis itu.

"Halo" Ucap Rio begitu jelas wajah Ify di layar laptopnya. Di sebrang sana alis Ify berkerut. Bibirnya menganga lebar membuat Rio yang melihat ekspresi itu menahan tawanya.

"Lo tuh selalu ya berhadapan sama gue gak pernah dengan wajah yang enak di pandang. Lo selalu PMS ya berhadapan sama gue" Ceplos Rio, sementara Ify yang mendengar ucapan pemuda itu wajahnya mendadak memerah. Sial, pemuda itu mengucapkan kata intim yang begitu sensitif untuk kaum wanita. Aishh

"Lo.."

"Oke deh gue udah puas. Akhirnya bisa liat wajah lo. Ya gue berharap lo bisa tersenyum di pertemuan kita selanjutnya. Bonsoir"

Bipp.

"Hahahaha. Tuh muka cewek itu bener-bener. Errr"

***

Sivia membaca sebuah buku di meja kantin kampusnya yang kini telah sepi. Wajar saja saat ini sudah menjelang sore. Dan sudah tak ada lagi mahasiswa yang berlalu lalang di kampusnya kecuali mahasiswa yang sedang ada pertemuan khusus dengan beberapa dosen. Sivia sendiri masih enggan melangkahkan kaki menuju rumahnya. Lagi pula hari ini ia sedang tak membawa mobil.

Sivia mendengar sebuah derap langkah yang berjalan mendekat ke arahnya. Namun Sivia tak ambil pusing. Mungkin petugas kantin yang sedang bersih-bersih atau beberapa mahasiswa tersisa yang mungkin sedang mengisi perutnya. Namun pikirannya hilang begitu saja saat sebungkus ice cream terulur di hadapannya.

"Lo bisa-bisa stress baca buku setebal itu lama-lama. Lebih baik makan ini dulu untuk merilekskan otak lo"

Sivia menatap Alvin yang kini duduk di hadapnnya. Ia membalas senyum pemuda itu dan mengambil ice untuknya.

"Thanks" Ucapnya. Alvin mengangguk.

"Lo belom pulang. Sudah hampir sore" Sivia menggeleng. Matanya masih terfokus pada buku di hadapannya. Namun telinganya masih ia fungsikan untuk mendengar apapun yang pemuda itu sampaikan.

"Kenapa?"

"Lagi males plus gue lagi gak bawa mobil"

Alvin tersenyum mendengar jawaban Sivia. Matanya menatap gadis di hadapannya itu. Wajah putih porselen yang serupa degannya, mata sipit gadis itu walau tak sesipit dirinya, pipinya yang merah mengembung, hidung mancung dan terakhir bibir merah mungil milik Sivia. Alvin meneguk ludahnya. Ia menggeleng. Bagaimana bisa ia menatap seorang gadis seintens itu.

"Ekhem. Vin udah sore gue pulang dulu ya" Alvin ikut bangkit duduknya. Tangannya menyentuh tangan Sivia membuat lagkah gadis itu terhenti dan berbalik menghadap Alvin

"Gue anter ya" Sivia menggeleng. Ia menepis tangan Alvin pelan dari lengannya dan seulas senyum terukir di wajahnya.

"Gak usah. Gue udah sama mama. Tuh mama gue udah jemput. Duluan ya. Thanks ice cremnya. Byee"

Pandangan Alvin mengikuti gerak tubuh Sivia yang perlahan menghilang.

Deg..

Pemuda itu menyentuh dadanya. Bibirnya tersenyum. 'Entah apa yang gue rasain'

***

Gabriel menatap Ify yang sedang berkutik di dapur apartemennya. Gadis itu sedang membuat sarapan rupanya. Pantas di kamarnya sudah terlihat rapi, rupanya gadis itu di dapur.

"Buat apa Fy" Ify tersentak. Ia menatap Gabriel yang ada di belakangnya. Alisnya terlipat melihat penampilan Gabriel. Pemuda itu hanya mengenakan kaos santai dengan jeans coklat selutut.

"Lo gak kuliah" Tanya gadis itu. Gabriel berjalan mendekat. Ia mengambil pisau lainnya yang terletak di dekat Ify dan memotong wortel. Ify yang melihat kelakuan Gabriel hanya mendengus.

"Lagi liburan musim dingin. Harusnya sih gue kuliah buat ambil materi yang hilang selama gue cuti kemaren. Hhh tapi ya sudahlah gue lagi males gak papa kan gue nemenin lo di sini" Ify yang sedang berkutat pada supnya hanya mengendikkan bahu untuk menjawab pertanyaan Gabriel. Gadis itu berbalik dan kembali mendekat ke Gabriel dan ia memotongi daging di dekat Gabriel. Gabriel hanya menggeleng.

"Yaya gue di cuekin. Sudah biasa" Ify terkekeh mendengar gumaman sahabat pemudanya itu. Ify kembali berjalan mendekati panci supnya dan memasukkan potongan dagingnya. Lalu ia mengaduk supnya itu.

"Nah berhubung lo libur lo kudu nemenin gue jalan-jalan hari ini"

"Hah? Tapi Fy di luar dingin entar lo.."

"Ihhh Gabriel gue kan bisa pake sweater sama syal jadi gak begitu dingin lah kecuali gue pake tanktop sama hotpants baru lo boleh ngoceh"

"Tapi Fy.."

"Gak mau tau. Lo gak usah khawatir soal Via. Lo bisa kan boong dikit. Lo tega sama gue"

Gabriel mengehmbuskan nafasnya. Ia menyerah. Sudahlah ia memang selalu kalah berdebat dengan kedua sahabat perempuannya itu. Termasuk Ify. Tak ada pilihan lain. Gabriel pun dengan sangat terpakasa akhirnya mengangguk


Love And ParisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang