• || Part 8 || •

324 24 13
                                    


.
.
.

Untuk pertama kalinya ...

Gue pergi ke Roma.

Bareng Luca!

Ngeliat menara pissa pake mata kepala gue sendiri cuy, di temenin cowok yang selalu bikin jantung gue meledak karena senyum manisnya itu.

Dan kita bener-bener menghabiskan waktu bersama. Berduaan aja. Foto-foto, kuliner, kesana-kemari ... seru deh pokoknya!

"Eh Luc, Colosseum itu jauh nggak dari sini?"

Sekarang gue lagi jalan menyusuri beton pembatas taman yang bikin tinggi gue sejajar sama si cowok renjang ini.

"Kamu mau kesana?" dia balik nanya, dengan posisi yang sambil jaga-jagain gue karena siapa tau gue jatoh tiba-tiba.

"Mm ... nggak jauh banget tuh. Palingan nyampe sana nya malem."

Haa??

"Yaa ... maghrib-maghrib gitu lah,"

Gue manggut-manggutin kepala. Kayaknya jauh banget deh. Sampe nyampenya malem segala. Masa gue minta Luca yang nganterin? Kasihan banget dia. Dari kemarin, selesai balapan, dia samasekali nggak istirahat, kelihatannya. Kenyataannya juga iya.

"Trus, sekarang kita mau ke man--aah!!"

"Eh, eh!"

Dengan cekatannya Luca nangkep gue. Nahan. Ngejaga. Gitu deh pokoknya! Yang jelas gue jadi nggak jatoh, karena Luca yang tolong.

"Tuh kan ..."

Hhee ... gue nyengir kuda, sambil turun dari beton pembatas itu.

"Tuh kan ..." gue ngikutin caranya Luca barusan. Sambil cemberut, trus bilang --"Aku nggak tinggi lagi deh. Nggak sejajar sama kamu kan ..."

"Nggak bisa liat mata indahmu itu. Ish -_-"

Luca ngeliat mata gue dengan tatapan kosongnya itu. Eh, tiba-tiba dia senyum.

"Kan kayak gini masih bisa ngeliat aku .."

"Tapi capek tau. Kamu nggak nyadar apa tinggimu semenara pissa??" cetusku, "capek ngedongaknyaa -_-"

"Masa aku harus jadi segini??" Luca nekuk lututnya. Mensejajarkan tingginya sama gue.

"Masa aku harus segini juga??" gue langsung jinjit-jinjit, berusaha nyamain tinggi gue sama dia.

"Ih, gak nyampe -_-"

Luca cekikikan, trus langsung ngerangkul gue sambil ngacak-ngacak rambut. Ehehh ><

"Nggak perlu sama tingginya ... yang penting lo ada disamping gue."

Gue diem. Apa katanya?

Beberapa detik kemudian, Luca noleh ke gue dengan tatapan anehnya.

"Kok lo ..eh, kamu ... kok kamu ..barusan ngomong pake lo-gue?"

"Ternyata emang denger yaa .." katanya sambil megang tengkuknya.

"Yaiyalah. Aku kan punya telinga."

"Seharusnya kamu nggak denger. Aku kan cuma bergumam aja tadi."

"Oh ya? Tapi kedengerannya kayak ..."

"Udah deh. Lupain aja. Nggak penting" dan Luca keliatan sedang menahan rasa malu.

"Oke." gue manggut-manggut, sambil nyamain langkah kaki gue sama Luca.

"Tapi ... aku juga baru ngeh sih." ujar gue kemudian, "Ternyata selama ini kita ngomong pake aku-kamu. Hihii .."

AmnesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang