• || Part 23 || •

100 4 0
                                    


.

.

.


Gue menghela napas aja susah banget. Bahu gue merosot, capek. Nggak tau mesti gimana lagi caranya bikin Luca inget lagi.

Dan gue selalu keinget cerita Luke tentang kembarannya itu. Dia meninggal di tempat. Dan Luca nggak kenapa-napa. Gue takut, amnesia ini bisa berakibat fatal buat Luca. Fatal, karena dia nggak akan bisa inget apa-apa lagi. Otomatis sifat-sifatnya ikut berubah. Ntar Silvia makin nempel lagi sama dia kayak reket aja :v

"Lo nggak papa, Mar?" tanya Pecco setelah melepas helmnya. Dia merhatiin Luca yang sedang minum air trus gelengin kepala ngiyain pertanyaan Pecco. "Lo pucet gitu tau. Nggak enak badan?"

"Gue bilang gue nggap papa. Budeg lo ya?" Luca malah langsung ngebentak Pecco.

Gue menelan ludah ngeliatnya. Luca kok jadi galak gitu sih :(

"Pusing nih pala gue lo tanyain mulu kek orang kesasar." gerutunya sambil mengangin kepala. Gue sama Pecco cuman diem aja ngeliatin tingkahnya. Iya. Luca pucet. Nggak kayak biasanya. Tadi performanya juga agak beda dari biasanya—ya memang beda setelah amnesia sih.

"Aargh ... sakit, sialan! Ugh!" tiba-tiba Luca menggeram sambil jambakin rambutnya yang basah karena keringat.

"Ka-kamu kenapa, Luc? Apanya yang sakit?" refleks gue langsung deketin Luca dan berusaha menatap matanya. Badan gue gemetaran. Luca penuh keringat dan pucet pasi. Dia terus meringis kesakitan sambil menjambak rambutnya.

"Hei, hei! Tenang Luc, tenaang ..." gue berusaha nenangin sambil memberikannya kehangatan sebuah pelukan. *ceilee

Pecco masih diam di tempatnya. Ikut deg-degan. "Iya, Mar. Tenaang ... Bel, tenangin Bel!"

Gue narik napas dulu dalam-dalam. "Hei, hei ... Apa kamu inget sesuatu? Iya?" tanya gue selembut-lembutnya.

Itu berhasil membuat Luca membuka matanya dan natap gue balik. Matanya berkaca-kaca. Ya Tuhan ... gue nggak sanggup ngeliat ini. Dia pucet banget.

Luca nganggukin kepalanya ragu sambil masih meringis.

"Apa yang muncul? Apa itu menyakitkan banget buat kamu inget?" tanya gue lagi.

Dan lagi, Luca natap gue lekat sambil nganggukin kepala.

"Aku ... aku, shh ... aku nggak mau ..." kepalanya terus menggeleng sambil tangannya megangin lengan gue dan natap gue dengan dalam. "Sssakiit ..." rintihnya. Dengan mata berkaca-kaca itu, gue malah netesin air mata duluan saking nggak tahannya. Langsung gue peluk Luca seerat-seratnya dan dia balas meluk gue.

"Entah apa itu yang muncul barusan ... tapi itu buruk. Buruk banget. Aku nggak ..."

"Huushh ... just calm down. Okay?" gue langsung motong kalimatnya sambil mengusap dahinya yang penuh keringat. Menepiskan rambut-rambut basahnya. "You're a good person."

And i love you, Luc ...

Beberapa kemudian Vale dan yang lainnya dateng setelah Pecco manggil mereka. Luca langsung diajak periksa. Dan yang bikin gue shock, dia bilang nggak mau pergi tanpa gue. Sambil berdiri dan sebelum pergi, menggenggam erat tangan gue.


-- -- --


Setelah dibawa ke Rumah Sakit, dokter nyuruh Luca untuk istirahat di rumah selama tiga hari. Dan dalam tiga hari itu gue mesti bolak-balik ke rumahnya cuman buat nemenin Luca dan ngajak dia ngomong, nemenin makan dan sebagainya.

"Silvia itu siapa ya?" tanyanya malam itu.

"Nah, sejak pertama ketemu kamu aku juga nggak tau dia siapa."

"Trus yang ada di ingatanku itu siapa?" tanyanya lagi.

Gue langsung diem. Maksudnya Lyra. Dan dia nggak inget.

"Itu yang selalu bikin kepalamu sakit, ya?" gue sengaja nanya balik. Luca nganggukin kepalanya.

"Setiap dia muncul, cowok itu juga ikutan muncul." lanjutnya pelan sambil nundukin kepala.

"Luke?"

Sambil nunduk ke bawah, Luca gelengin kepalanya. "Aku nggak tau kenapa mereka bisa terus bergentayangan di pikiranku, Bella." Kata Luca sedikit berbisik lembut, kedengerannya miris banget ditambah ekspresi mukanya yang bikin jantung gue deg itu.

"Udahlah, Luc. Nggak perlu maksa inget apapun. Cukup istirahat aja, ya?"

Krieek ...

"Yo bro! Gue kira lo—he-eh??" tiba-tiba Bulega masuk sambil bawa sebuket bunga bersama seorang perempuan. "Laah ... lagi pacaran ternyata. Yaudahlah, gue taruh di sini aja ya bunganya."

Gue perhatiin perempuan disamping Bulega itu menatap Luca prihatin kemudian tersenyum. "Masih belum ingat aku siapa, Mar?"

Karena gue liat alisnya Luca melengkung bingung gitu, keliatan berusaha nginget siapa tuh cewek, langsung aja gue bangkit dan mendorong mereka supaya keluar dari kamar. "Yaelaah ... pake nanya segala lo. Tau dia mesti istirahatin otaknya juga. Sana dah, pergi, pergi! Hush!"

"Yee ... maunya pacaran mulu ama Luca!" ledek Bulega sebelum pergi keluar kamar Luca sama cewek itu.

Pas gue duduk, Luca tiba-tiba bilang "Seharusnya kamu yang bergentayangan dalam pikiranku, Bella, bukan Luke atau siapa lah itu."

Hoee ... dia malah ngegombal :v

Mulut gue ketarik aja buat senyum tersipu. Siapa juga yang nggak bakal kesemsem digituin ama cowok kesayangannya? Kan, kan, kan? Behh, parah nih Luca.

Tiba-tiba bokong gue bergetar. Ngagetin aja. Ternyata telpon dari Mama.

"Iya Ma, ada apa? Kok tiba-tiba nelpon?" gue langsung nyapa Mama dengan pertanyaan.

Dan dengan ucapan Mama di telpon saat itu, rasanya gue tiba-tiba lupa gimana caranya bernapas.




➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖


Hayoo hayoo ... kenapa tu

AmnesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang