19. Mabuk Negatif

2.4K 238 23
                                    

h-9 ujian nasional berbasis komputer dan selamat membaca, cinta:(

<3

Kau pikir dari awal aku bertemu Andy semuanya berjalan memulus? Itu tidak adil. Hidup ini adil karena ada jalan gragal sama jalan aspal. Kalau memang mulus buat apa hidup ini?

Bertemu dengan Andy itu memang bagai angin ribut yang cukup kuat yang mengombang-ambingkan logikaku. Pernah waktu itu, kekhawatiranku bikin pusing 7 keliling. Salah, 100 keliling.

Andy hilang. Aku masih ingat betul. Aku kesana kemari menaiki angkutan umum yang menghabiskan jatah makan siang selama seminggu.

Kring!

Ponselku berbunyi. Aku ingat, itu Derrick.

"Derrick? Dimana dia?"  tanyaku.

"Rumahku."

"Rumahmu?!" jeritku, nada bicaraku pun naik satu oktaf, semua orang menatap ke arahku. Aku pun tak acuh. "oke, aku kesana."

Aku bergegas kesana. Menaiki angkutan umum yang asal lewat depanku. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Tapi, kalian harus tahu kalau aku mengkhawatirkannya. Mungkin kalian tidak tahu rasanya. Aku khawatir tentang dia, tentang Andy. Aku paham kalau kalian tidak setuju. Itu hakku untuk khawatir. Bukan hak kalian.

Pikiran anak SMA yang masih labil dengan hormon yang tidak terkontrol itu super aneh. Jangan salahkan aku.

"Sudah sampai."

Aku langsung menggesek kartu angkutan Capitol yang dikasih ayah sewaktu awal sampai ke sini. Semoga saja belum kelewat batas penggunaan.

"Kemana, nona?"

Terima kasih, Tuhan.

"Barat."

<3

Aku langsung membuka pintu angkutan itu dengan cepat. Tidak mempedulikan sopirnya. Cerebrumku dipenuhi dengan kalimat apakah dia baik-baik saja?.

Sialnya, aku tahu. Setiap aku mengira semua baik-baik saja, akan berakhir seburuk jenggot palsu Reno untuk Halloween musim panas tahun lalu. Andy itu memang menyusahkan. Selalu membuatku hampir mati memikirkan keadaannya.

"Dimana?" tanyaku ke arah muka-muka lelah Derrick dan teman-temannya.

Bug!

Seorang dengan mata yang agak lebam menunjuk ke atas. Oke, lantai atas. Aku langsung menaiki tangga sampai lantai 2.

Dimana?!

Aku menoleh ke atas dan tebak sapa?

Mungkin kalian akan menjawab, "Andy."

Salah, tetapi Derrick dan mukanya terlihat super kebingungan.

Bug, bug, prangg! Argh!

Demi Zeus, kenapa terdengar ribut seperti itu?

Apa separah itu?

Tangannya direbahkan di atas pahanya. Kemeja satinnya itu terlihat sudah berantakan kemana-mana. Kaleng bir dipegangnya dengan agak keras sampai-sampai isinya mengucur ke tangga berlapis suede, membuat bekas lingkaran abstrak. Aku melihat ke arah mukanya. Super kacau.

"Andy?"

"Masuk saja." kata Derrick.

"Oke." jawabku sambil melewatinya. Semakin keras saja suara rintihan dan tertawa sarkasme semacam Joker.

Derrick memanggilku, aku pun menoleh, "Kuserahkan kepadamu." Aku pun mengangguk.

Aku mengangguk seolah aku setuju bahwa semua akan baik-baik saja di saat aku memasuki ruangan itu. Dan di saat itu juga aku berpikir, kenapa aku terlalu tinggi mempunyai pikiran jika aku masuk ke ruangan itu Andy akan baik-baik saja?

Detik ini juga, aku tidak siap melihat apa yang menurutku hal yang terburuk.

Detik ini juga, seluruh anatomi tubuhku sudah memasuki ruangan itu.

"Keluar!" pekiknya.

Aku mendekat ke arahnya. Setiap langkah terasa begitu berat melihatnya penuh darah memancar cerah. "Hei. Ini Andisa ..," ucapku, mengangkat tanganku ke atas. Seoalah ingin dia tahu kalau aku ini bukan ancaman untuknya.

"... kau terlihat kacau, tuan muda." lanjutku. Andy yang di ujung ruangan itu pun tidak bergeming.

Aku melangkah 3 langkah lebih dekat darinya, "Aku mencari kemana-mana, Andy."

2 langkah lebih dekat, "Derrick menghubungiku. Tapi, aku tahu dia salah ..,"

"... karena kau baik-baik saja. Aku tahu kau baik-baik saja." Di posisi ini, aku bisa melihat jelas memar-memar di pergelangan tangan dan ruas-ruas jari yang membendung jutaan trombosit.

Aku terduduk di depan Andy. Dirinya masih tidak bergerak satu otot pun, bahkan ia menunduk. Aku berusaha mencari matanya, membuat kontak mata dengan mata cokelat yang sehangat teh yang ibu buatkan untukku tiap Minggu pagi.

Mata itu menghindar. Aku menyisir rambut depannya yang acak-acakkan, entah basah keringat atau alkohol. Wajahnya terlihat merah padam. Aku takut setengah mati dia akan mendorongku atau menamparku, mengingat memar-memar di kening mau pun pipi dan lengan teman-temannya di lantai bawah.

Perhatianku teralihkan ke arah tangan kanannya yang menggenggam sesuatu. Benda yang jelas membuat telapak tangannya itu berwarna merah yang membuatku lemas di bagian lutut.

Semakin Andy sadar aku melihat ke arah tangan kanannya, semakin kencang ia menggegamnya. "Andy, aku mohon."

Aku menyentuh telapak tangannya, kurasakan ototnya menegang. Tapi, lambat laun pun melemah. Aku pun mengambil potongan silet yang sudah berlumuran darah dan meletakkannya di bufet kayu.

"Maaf, kau sudah melihatku seperti ini. A-aku tidak pernah bermaksud, atau akan berakhir seperti, ugh, ini."

Aku tersenyum, "Jangan pernah meminta maaf atas apa yang tidak kamu lakukan." balasku sambil merapikan rambutnya.

"Sudah. Ayo, cuci tanganmu. Kau terlihat super kacau, kau tahu."

"Ini cuma saus tomat, Andisa." kata Andy dengan muka yang sudah terpasang senyuman. Aku pun terkikih pelan. Di saat seperti ini, masih saja dia bercanda.

Aku pun berdiri. Membenarkan bajuku yang terangkat sedikit. Andy pun menarik bajuku. Membuatku menoleh ke arahnya.

"Apa?" tanyaku dengan halus.

"Maaf." Andy berdiri dan memelukku. Menenggelamkan permukaan wajahku ke bajunya, membuatku bisa menghirup harum wangi parfumnya.

"Tidak perlu sama sekali." Ciuman mendarat di keningku.

<3

ANJAY.

Andy kenapa?

gini kalau gak paham. Itu semacam disorder. disorder dimana dia bakal menyakiti dirinya secara fisik buat sakit secara mentalnya itu bisa dilampiaskan dan Andy lagi agak drunk gitu:(

dan saya ada pengalaman sama cowok begitu dan itu bikin saya kebanjiran air mata. i loved him even more when i knew it.

curhat ae tong.

bai beb$$$$$

s a l a m – s q u a c k

Andi dan AndyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang