29. Hai, Sudah Lupa?

1K 130 10
                                    

selamat membaca dan maaf kemarin-kemarin ga update EHE.

<3

Aku berjalan menuju toko roti terdekat yang aku bisa datangi. Ayden memintaku membelikannya pai beri. Itu bukan masalah besar. Kita berteman. Teman saling membantu, kan?

Klining.

"Pagi, Kak." sapa Cecilia.

"C-cece? Kamu sedang apa disini?" tanyaku.

Cecilia menatapku heran, "Ini toko roti milik ... keluargaku?"

Ya, Tuhan. Mengapa aku selalu sebodoh itu untuk tidak membaca plang yang ada di depan toko roti milik Andy?

"Memangnya ada apa kesini, kak?" tanya Cecilia.

Membeli pai beri di toko roti milik laki-laki yang kau suka untuk laki-laki lain tidak terdengar begitu baik.

Aku termenung, memikirkan jawaban terlogis yang bisa aku berikan ke Cecilia, "Beli pai untuk temanku. Untuk temanku kok."

Cecilia tersenyum geli, "Iya, iya, untuk temanmu. Mau pai apa? Ada stroberi, mangga, beri biru," ia menatapku, "... dan cokelat."

"Beri. Stroberi saja."

"Oke, satu pai beri untuk Nona Prawira."

Aku memperhatikan Cecilia, sekali-kali aku juga mencuri pandangan ke sekeliling. Bertemu Andy adalah hal terakhir yang aku inginkan. Entah belakangan ini, setiap aku melihatnya aku merasa bersalah.

"Ini, kak." Lagi-lagi Cecilia tersenyum ramah sekali. Aku sungguh berharap aku bisa mebentuk senyuman seramah itu. Tapi, apa boleh buat, Tuhan memang lebih suka aku dengan wajah datar.

Aku memutar badanku. Melangkahkan kakiku secepat mungkin. Aku punya firasat kalau semakin lama aku berada di toko roti ini, semakin besar kesempatanku untuk bertemu dengan Andy. Dan aku tidak ingin bertemu dengannya.

"Kak Andisa."

Cecilia memanggil. Aku pun menoleh dan braak.

Tebak siapa yang aku tabrak? Kalian dan Tuhan pasti tahu siapa yang aku tabrak.

Andy. Iya, Andy.

<3

Ya, Tuhan. Pertemuan klise seperti tertabrak saat bertemu laki-laki di tengah toko roti adalah hal yang paling tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Bukannya aku tidak suka pertemuan klise yang bisa dijadikan hal seru yang bisa diceritakan ke cucu-cucuku nanti. Tapi, kenapa harus terjadi sekarang juga? Aku juga tidak berencana punya cucu.

"Hei, akhirnya." Senyuman termanis dan penuh aura ala Prince Charming menemuiku.

Demi Zeus, bantu aku.

Aku tersenyum senormal mungkin–walau aku seratus persen yakin kalau senyuman itu tidak akan terlihat normal, "H-hai."

"Ada apa kau disini? Tumben." tanyanya.

"Dia beli pai beri untuk temannya!" teriak Cecilia yang terlihat senyum-senyum sambil menopang dagu di konter kasir.

Andy mencibir, "Aw, aku tahu kalau kamu punya hubungan spesial dengan yang lain."

Apa? Andy tahu percakapanku dengan Ayden di rumah sakit? Ini tidak mungkin.

"Hubungan spesial? Kamu tahu tentang itu?" Aku menempis tangannya yang berusaha membenarkan rambutku yang terselip di bingkai kacamataku.

Andy menatapku bingung sambil tertawa pelan, "Tentu saja, aku tahu, nona muda."

Tidak, Ya, Tuhan, ini tidak mungkin. Tidak mungkin Andy tahu tentang aku dan Ayden. Tunggu, tidak ada yang terjadi antara aku dan Ayden. Aku yakin kalau tak ada hubungan spesial dengan Ayden. Aku yakin itu, demi Beelzeebub.

"M-maaf, aku harus p-pergi. Permisi."

Aku langsung melenggang pergi. Ayden pasti sudah menunggu pai beri ini. Karena aku teman yang baik, aku akan mengantarkan pai ini dengan tepat waktu.

Tiba-tiba, ada tangan yang menahanku dan senyum kuda yang menggantung, "Andisa, aku cuma bercanda."

"Lepaskan. Aku harus pergi."

Aku mendorong pintu dan klining.

"Sebentar, Cece, aku tidak salah bicara, kan?" tanya Andy menoleh ke arah Cecilia.

"Canggung." kata Cecilia berbisik sambil kembali menata kue-kue ke chiller.

<3

ini andisa gimana si heran deh. plus, ngakak gila.

tauk deh, andisa tambah lama suka kegeeran ya? apakah ini pertanda kalo dia emang ga pro dalam hal cinta?

bodoamat.

vote vote vote u little rascal.

s a l a m – s q u ac k

Andi dan AndyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang