Aku suka ketinggian.
Sore itu seorang perempuan menghampiriku sambil memegang boneka. Mengulurkan sebatang permen loli. Dia duduk disampingku saat aku menerima permen darinya.
"Kok kamu aku liat ngga pernah ikut main bola, cuma duduk dipinggiran aja?" Tanyanya.
"Aku ngga bisa main bola," jawabku singkat.
"Ayo ke rumahku, kita main yang lain aja. Aku ada banyak lho." Dia menarik lenganku untuk ikut dengannya.
Rambut hitam panjang lurus sepunggung, dengan tangan kiri selalu memeluk boneka. Siapa dia?
Di rumahnya, Ibunya menyambutku dengan ramah. Dia bilang pertama kalinya Aini mendapat teman. Persetan dengan teman, aku tidak membutuhkannya Batinku. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang luas. Aku menunggu di teras, dia bilang dia akan mengambil permainan yang cocok untukku.
Dia kembali membawa kotak hitam putih, catur.
"Kenapa kita main catur? Itu permainan orang tua. Lagian aku gabisa mainnya," ujarku.
"Tenang, anak kecil juga boleh main kok, kata papa permainan ini melatih cara berpikir kita, aku bakal ajarin kamu kok." Dia menjawabku sambil menyusun bidak catur. Lalu Aini mengajariku cara berjalan setiap bidak. Ternyata tidak sulit, hanya seperti itu.
"Adji jalan duluan," katanya
Kami mulai bermain, diawal ini cukup mudah. Hingga aku kehilangan satu-persatu bidakku. Ternyata menyusun formasi sekaligus bermain tidak semudah yang aku perkirakan.
Aku kalah. Ini pertama kali aku bermain dan kalah oleh perempuan. "Ayo coba lagi." Kataku sambil menyusun bidak.
Akan ku perhatikan setiap langkahnya. Pecuma, aku kalah lagi. Aini tertawa senang, masih sambil memegang bonekanya.Hari beranjak sore, aku izin pamit kepada orang tua Aini. Mereka bilang kalau aku boleh datang kapan saja, aku hanya menganggukkan kepala.
Esoknya sepulang sekolah, aku langsung menuju rumah Aini. Aku pasti menang kali ini. Saat dia mendatangiku di teras, dia tidak membawa papan catur.
"Kita main monopoly hari ini" dia tampak riang sekali. Seperti kemarin dia mengajariku, bermain, dan kalah.
Mulai saat itu, hariku berwarna. Kemanapun pergi, tentulah bedua. Masa kecil yang indah bukan?
***
"Adji ayo kita jalan-jalan liburan ini." Aini mendatangiku sambil menunjukkan selembar brosur.
"Pantai? Kita menginap?" Aku melihat brosur yang Aini tunjukkan.
"Iyaa, mungkin sekitar 3-4 hari. Kamu boleh ngajak keluarga kamu juga kok, kata papah," Aini menjelaskan.
"Yaudah, aku sendiri aja, nanti dikira rombongan besan,- keluarga orang yang menikah." Jawabku sambil tertawa.
"Apasihh Adjii..." dia mencubit lenganku, lalu ku balas mencubit perutnya. Kami berkelahi kecil. Hingga tanpa sengaja aku memeluk Aini dari belakang. Sejenak kami terdiam, canggung. Suasana hening ketika sudut mata kami bertemu.
"Iihh... kata mama kalo ada cowo macem-macem pukul aja." Dia melepaskan diri lalu memukul lenganku dengan pedas.
"Pokoknya belajar yang bener, biar ga remedial. Inget udah kelas 2 SMP. Terus, langsung pergi habis bagi rapot." Lanjutnya sambil keluar dan menutup pintu.
Aku masih terpaku, sekilas ku lihat rona wajah Aini memerah sesaat sebelum menutup pintu. Aku juga malu sendiri jadinya. Kenapa bisa seperti tadi ya? Sudahlah, lanjut ngerjain tugas aja. Pikirku.
Hari berganti, ujian semester datang kemudian berlalu. Liburan tiba. Aku sudah menyiapkan semua keperluan. Untuk 3-4 hari kami akan berada di Pantai.
"Kamu bawa apa aja?" Tanya Aini sambil membuka ranselku.
"Cuma baju salin, dan beberapa barang pribadi aja," jawabku.
"Ini apa?" Tanyanya sambil menunjukkan kotak kecil.
"Ini kompas, untuk menentukan arah mata angin." Aku mengambil lalu membuka kotak kecil itu. Lalu terlihat sebuah jarum penunjuk bergerak datar.
"Nanti aku ajarin cara bacanya," sambungku.
Langit cerah pagi ini, aku harap hariku juga cerah. Secerah wajahnya dengan mata berbinar. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil saat mata kami bertemu.
Aini, kenapa kamu menyeretku kedalam hidupmu?
———————————————
Vote dan komentar ya
Wajib tinggalkan jejak

KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Pergi Hati
CasualeDalam langkah kucoba melupakanmu. Karena ku tahu, kita tidak akan pernah bersatu.