kedelapan

44 6 7
                                    

Aku suka ketinggian.

"Gimana kalo kamu jual aja rumah ini? Uangnya buat modal usaha kamu, kalo kuliah gausah dilanjut ngga masalah kan?"
Kami bercakap diruang makan rumah Aini. Setelah 2 hari ia beristirahat, aku baru berani mengajaknya bernegosiasi.

Suasana hening dominan sejak aku bertanya bagaimana rencana Aini melanjutkan hidupnya. Selain aku tak bisa membantu banyak karena aku juga termasuk keluarga yang sederhana.

"Kamu bisa tinggal di Rumah aku buat sementara, aku udah jelasin semua ke Ayah. Kebetulan ada satu kamar kosong, tadinya itu kamar Mama," jelasku.

Aini masih tidak menggubris ucapanku. Sepertinya terlalu cepat membicarakan hal seperti ini. Aku yakin dia masih trauma. Kini ia melangkah meninggalkan meja, menuju dapur. Aku menarik nafas panjang, seperti semua usahaku untuk membantunya hanya akan sia-sia.

PRANGG.

Aku sontak berlari ke dapur saat mendengar suara seperti kaca pecah. Lalu ku lihat Aini sedang memecahkan piring-piring beling dengan dahi. Segera aku menahan perbuatannya.

"Udah ni ... udah!" Kataku sambil mencengkram kedua tangannya.

"Aku mau nyusul Mama Papa aja ji... mereka nunggu aku di sana." Jawabnya sambil meronta.

"Apanya yang nunggu kamu? Aku yakin mereka ga akan seneng liat kamu ngejalanin hidup kaya gini"

"Lepas ji... sakit" kini ia meringis. Tapi bukan karena cengkramanku. Setelah aku lepas, Aini merunduk sambil memegangi dahinya yang berdarah.

"Ayo, kamu harus diobatin, sekalian istirahat buat tenangin pikiran." Kataku sambil menuntunnya berjalan.

Setelah membersihkan luka dan membalutnya dengan perban, aku menyuruhnya tidur. Luka bekas kecelakannya bisa jadi terbuka kembali. Lantas aku membersihkan pecahan beling yang ada di dapur.

Seberapa besar beban yang dia rasa? Apa karena dia anak semata wayang? Atau karena ia selalu dimanja sejak kecil? Atau mungkin dulu ia tidak diajari cara hidup mandiri?

Muncul banyak pertanyaan di kepalaku saat ini. Dan di kuasi oleh 'kenapa?'

Saat aku hendak membereskan bagian rumah yang lain, bel berbunyi. Ada tamu? Pikirku.
Ternyata para tetangga yang datang untuk berbela sungkawa. Sementara aku mempersilahkan mereka masuk kamar Aini, aku hanya duduk di ruang tamu. Hingga seorang bapak separuh baya menghampiriku, dan kami bercakap-cakap.

Awalnya hanya percakapan basa-basi biasa, hingga lama-kelamaan pertanyaannya seperti menyelidik.

"Ya harusnya kamu lapor dong kalo udah lebih dari sehari, kan udah tau aturannya," katanya.

"Itu niat awal saya pak, sampai saya sadar tetangga disini ga ada yang peduli sama keadaan sekitar, saya dan Aini datang dari rumah sakit itu jam 8 malam. Ada ga tetangga yang bantuin? Walau cuma buka pintu gerbang?" Sergapku.

Beliau terdiam. Entah untuk berpikir atau untuk apa.

"Nanti sore Aini saya bawa pindah dari sini. Hidup di lingkungan kaya gini, pantes dia ga punya temen sejak kecil," lanjutku.

Tanpa perkataan bapak tersebut bediri, lalu pergi keluar pintu. Istrinya yang tak sadar masih berbincang dengan Aini di kamar tidur. Beberapa menit kemudian pamit juga akhirnya.

"Aini, nanti sore kita pindah ke rumahku. Ga boleh nolak, dan ga ada alasan. Ini demi kebaikan kamu juga," jelasku sesaat setelah para tetangga bubar. Ia mengangguk lemah sebagai jawabannya. Maka aku segera membereskan segala sesuatunya.

Aini, aku adalah orang yang akan menjagamu mulai sekarang.
----------------
Vote dong,
Komen dong,
Kalo mau minta review/follback cerita kamu, just mention to me

Langkah Pergi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang