ketujuh

63 5 1
                                        

Aku suka ketinggian.

Sejak hari itu, aku jadi lebih sering kembali ke Rumah Sakit. Hanya sekedar menunggu Aini yang masih belum pulih benar. Tetapi, hal yang aku khawatirkan adalah saat ia sembuh nanti. Kemana ia akan pulang? Kemana ia akan kembali?

Seminggu lalu saat keluarganya dalam perjalanan pulang dari berlibur, mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan. Kejadian itu menewaskan kedua orang tua Aini. Sementara ia dibawa ke Rumah Sakit dalam keadaan kritis. Hampir-hampir Aini juga tak tertolong. Seluruh biaya memang ditanggung asuransi, tetapi setelah ia keluar Rumah sakit siapa yang menanggung hidupnya?

Sore ini aku kembali ke Rumah sakit, Aini pasti sudah menantiku.

Saat ku buka pintu kamar, seorang dengan jas putih panjang dan seorang perawat sedang berbicara pada Aini. Menyadari keberadaanku mereka menoleh dan tersenyum hangat. Tak terkecuali dirinya.

"Besok Aini sudah bisa pulang, semua lukanya sudah sembuh. Hanya tinggal perawatan rumah saja," jelasnya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Lalu mengusap kepala Aini yang dahinya masih terbalut perban.

"Terimasih pak," kataku.

"Iya sama-sama. Kalau begitu saya harus ke ruangan sebelah. Permisi." Dokter itu pergi diikuti perawat tadi.

"Tuh kan aku cepet sembuh, kamu gimana kerjanya? Capek?"

"Iya, kaya biasanya." Jawabku sambil duduk dikursi sebelah ranjang.

"Kamu mau pulang kemana?" Tanyaku memecah keheningan.
Aini menggeleng sebagai jawabannya. Wajahnya tertunduk lesu.

"Kuliah kamu gimana?" Lanjutku.

Ruangan vip class itu kini mulai dihiasi suara isak tak teratur. Aku paham keadaannya. Kehilangan orangtua, bukan tapi kehilangan orang yang disayangi memang menyakitkan.

Ku katakan aku mengerti karena aku pernah merasakannya. Ketika orang tuaku bercerai, Ayah mendapat hak asuh atas diriku dan Ibu mendapat hak asuh kakak. 12 tahun merupakan usia labil bagi remaja. Apalagi untuk kehilangan sosok malaikat tak bersayap.

Hari itu ku lihat punggung Ibu melangkah pergi. Lalu hilang tertutup air mata.

Tak kuasa mendengar tangisnya lebih lama, ku peluk tubuh Aini. Membiarkan suara itu teredam.

"Ayo kita pulang, kamu ganti baju. Aku beresin barang kamu. Kita pulang sekarang," kataku.

Aini mendongak, seakan tak percaya apa yang ku bilang barusan.

"Kemana?" Sorot mata itu masih terlalu indah jika dipandang, walau berlapis genangan bening.

"Rumah, kamu selalu punya tempat untuk pulang"

***

Malam baru saja datang, kami dalam bus menuju rumah Aini. Tidak terlalu jauh memang. Kami harus berdesakan karena ini jam pulang kerja. Aku tak tahu apa Aini kuat berdiri untuk 20 menit kedepan.

Firasatku benar, belum lama berdiri, Ia pingsan. Ternyata ia masih harus banyak istirahat. Segera ku gendong ia dan langsung turun di pemberhentian berikutnya. Apa yang harus aku lakukan? Memanggil taksi? Lupakan! kami tidak memegang uang sama sekali. Ku putuskan menggendongnya sampai ke rumah.

Akhirnya kami sampai. Masalah baru muncul, gerbangnya dikunci. Dengan nafas tersengal aku mencoba berpikir bagaimana cara agar kami bisa masuk. Kenapa daerah perumahan ini sepi sekali. Tidak ada tetangga yang keluar hanya untuk menggosip barangkali.

Akhirnya, ku panjat pagar setinggi 2 meter dan segera mencari sesuatu untuk merusak gembok nista yang menyulitkanku. Jackpot. Kutemukan kuncinya beserta kunci rumah dalam sebuah pot tanaman. Segera ku buka gerbang ini dan membawa Aini masuk.

Aku rebahkan tubuhnya dikasur, lalu menyelimutinya. Rumah ini agak berdebu setelah ditinggal berhari-hari. Kubuka tirai jendela, dan mulai memandang langit. Masih dengan nafas tak teratur, malam ini aku hanya bisa melihat langit gelap tanpa bintang.

Berada disisimu, apa selalu berat seperti ini?

----------------

VOTE DONG,
KOMENTAR DONG,
GUA NGIDAM KEDONDONG,

----------------

Langkah Pergi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang