keenam

63 9 13
                                    

Aku suka melati, harumnya membawa ketenangan.

Semilir angin meniup nyiur di tepi pantai. Aku kembali merapihkan rambutku yang terhembus. Rasanya ingin aku menggenggam erat tangan seseorang disampingku. Bersama menatap batas khayal horizon biru. kami menginjak Sekolah menengah pertama saat ini. Dan rasa itu ada, rasa yang selalu ku coba untuk menahannya. Karena aku tahu, egoku tak sebanding dengan apa yang sudah kami jalani.

"Kita berdiri aja nih ji?" Tanyaku yang mulai menyicip air asin.

"Aku takut, sama sumber air besar kaya laut," jawabnya polos.

"Kita gausah ke tengah, kita di pinggir aja nyuci kaki pake ombak." Ajakku sambil menarik lengannya.

Wajahnya memang terlihat sedikit pucat saat kami berdiri menunggu ombak. Matanya terpejam, tangannya semakin kencang mencengkram kemeja putihku.

"Ayoo ji... ini gapapa, liat ini asyik kan?" Aku menyipratkan air ke wajahnya. Kemudian Adji kabur ke pasir putih. Sepertinya ia memang takut dengan air, seperti kambing saja.

"Beneran takut?" Tanyaku penasaran. Adji hanya mengangguk perlahan sebagai jawabannya.

"Oke oke kita cari mainan yang lain hahaha." Kemudian kami berjalan mencari sesuatu yang baru untuk dimainkan bersama.

Kemudian Adji berjalan kearah penjual layangan. Ia membeli satu layangan berukuran sedang. Ah ide bagus, aku belum pernah bermain layangan sebelumnya. Kemudian Adji menerbangkannya, lalu mengajariku cara memainkan dan menyeimbangkannya di udara. Ini menyenangkan.

Saat malam tiba, kami berjalan berdua sepanjang bibir pantai. Walau tak seramai siang hari, masih ada beberapa orang disini. Kembali ke penginapan, Papa sudah menyalakan bara untuk daging asap. Mama membawa daging dari rumah. Kami makan bersama, dan tetap berdampingan memandang beberapa cahaya mengambang di tengah laut. Bintang terlihat jelas karena polusi cahaya tak seperti di Kota.

Saat Mama dan Papa masuk, aku dan Adji masih duduk menikmati hangatnya perapian. Tapi masih saja tetap dingin. Aku menyandarkan kepalaku pada pundak Adji. Adji diam saja.

"Adji," panggilku lirih.

"Kenapa? Kalau kamu ngantuk ayo kita ke dalem. Lagian diaini juga dingin," jawab Adji.

"Ngga, gapapa. Aku nyaman kaya gini. Apa besok kita bisa kaya gini lagi ya?" Tanyaku.

"Entah," Adji menjawab singkat.

Aku merapatkan tubuhku pada Adji, memeluk lengannya. Aku menatap laut, dan Adji menatap langit. Kami berbeda, tapi saling melengkapi. Karena bintang dapat menjadi penunjuk arah di tengah samudra luas.

Esoknya, kami membereskan barang-barang kami. Setelah pantai yang panas, kini kami akan menuju daerah dataran tinggi yang sejuk. Menginap di villa selama dua hari lalu kembali ke kota.

"Aini, harusnya kamu kaya Adji tuh, ga banyak omong, ngga cerewet" kata Mama.

"Biarin aja sih maa, namanya juga cewe, pasti CEreWet," jawab Aini dengan menegaskan kata 'cewe'.

"Ngga bisa gitu lah, cewe tuh yang anteng, nurut bukannya petakilan kaya kamu," Papa tak mau kalah.

"Iyaa iyaa" jawabku menyudahi ini sebelum ini memanjang dan membuat Adji tau kekuranganku lebih banyak. Adji tertawa saat melihatku menggembungkan pipi.

"Ngga lucu.." kataku sambil berusaha membuatnya mengganti arah pandangan.

Selama perjalanan, Adji lebih banyak diam. Memperhatikan langit. Dan dia memang seperti langit. Tenang, perlahan namun pasti. Dia juga tidak menyukai laut. Apa itu tanda kalau kami tidak akan bisa bersama? Tapi aku menyukainya.

Walau aku tidak bisa menjadi langit luas yang tinggi dan damai. Aku bisa menjadi laut dengan kedalaman dan debur ombaknya. Memberi kehidupan untuk darat dan laut itu sendiri. Dengan sejuta keindahan yang akan membuatmu terpukau. Sayang kamu tidak akan mau melihatnya, melihatku.

Seperti laut, begitu caraku menyukaimu.

Langkah Pergi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang