"Apa yang kalian pikirkan dengan berkeliaran saat matahari mulai tenggelam tanpa membawa obor atau sumber api lainnya?" Pria separuh baya itu sedikit berteriak untuk menghalau suara angin dan derap kaki kudanya.Aku, Dean, dan Oliver yang masih terengah lelah pun saling bertukar pandang sesaat. Cahaya remang lentera yang terpasang di empat sisi kereta kuda--menurutku ini lebih cocok disebut pedati daripada kereta kuda --memantulkan bayangan pada tumpukan jerami dibawah kami. Matahari sudah sepenuhnya kembali terlelap dibawah garis cakrawala.
Suara pekikkan tajam membuat kami semua menoleh kebelakang. Sesuatu berwarna kehitaman dengan kecepatan tinggi berlari mengejar kami.
"Apa itu?" tanyaku.
"Mahkluk kegelapan," jawab pria itu.
"Sejak kapan tempat ini di serang mahkluk kegelapan?" tanya Dean heran.
"Akan aku jelaskan nanti, sekarang berpeganganlah yang erat," ucapnya. "Hyaaaaa!" Pria itu mempercepat laju keretanya menembus gelapnya malam.
Dengan rasa cemas, aku kembali menoleh ke belakang sambil berpegangan pada pinggir pedati, kulihat mahkluk itu menyeringai lantas menambah kecepatan berlarinya. Ini gawat! Mahkluk itu pastinya bisa mengejar kami dengan mudah.
"Mahkluk apa itu?" tanya Oliver.
Pedati pria itu berbelok tajam ke satu sisi, aku mengeratkan peganganku agar tidak terlontar jatuh.
"Kami menyebutnya sang kematian. Mahkluk itu selalu muncul saat matahari tenggelam dan memangsa manusia hingga menyisakan tulang."
Aku berkidik ngeri. Aku kembali menoleh dan terpaku saat tidak menemukan sosok kehitaman itu, mataku menyisir ke sekitar dengan rasa panik. Kemana dia?! Tidak mungkin mahkluk itu dengan mudahnya menyerah begitu saja.
"Mahkluk itu benci api, karenanya aku memasang empat lentera itu di empat sisi kereta kudaku."
Aku terperanjat saat mahkluk itu tiba - tiba muncul dari sisi kiriku, membuka mulutnya lebar seakan hanya ada mulut saja di wajahnya. Aku menarik pedangku dan menebasnya namun sang kematian menghilang tepat saat pedangku membelahnya.
Jantungku terasa berpacu kencang, rasa panik menyergapku. Kemana dia?
Oliver berbalik cepat dan menebas sang kematian namun kejadian serupa terjadi kembali, ia menghilang.
"Ambil lentera di kantung hitam, lemparkan padanya."
Dean segera menyambar kantung hitam yang berada di sampingnya lalu mengambil lentera itu, memegangnya erat. Kami menyisir sekitar dengan waswas, menunggu sang kematian kembali menyerang.
Sang kematian muncul kembali dari atas dengan gerakan cepat tetapi ia memekik tajam saat cahaya lentera mengenainya, ia kembali menghilang dalam kegelapan.
"Kita sampai. Selamat datang di kota Alder."
Aku menoleh dan melihat sebuah pintu gerbang besi besar di hadapan kami, pria itu memelankan laju pedatinya.
Dean melempar lentera itu ke belakangku tepat ketika sang kematian muncul, dengan ajaib api dalam lentera seakan keluar dan membakar habis tubuhnya.
Aku menghela napas lega.
***
Rumah ini kecil, bersih, dengan karpet menutupi lantai, kursi kayu berlengan --yang saat ini sedang kami duduki-- meja, lemari, serta rak diatas perapian. Di satu sudut terdapat dua pintu yang menurutku menuju kamar.Aku menyeruput cokelat panasku saat pria paruh baya itu kembali dengan nampan berisi empat mangkuk sup dan roti.
"Nah, ini untuk kalian," ucapnya sambil memberikan kami masing - masing semangkuk sup dan roti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ljosalfar : The Light Elves
FantasySebuah penyerangan dari mahkluk mitos; Ogre, membuat kakak beradik ini pergi meninggalkan desa untuk menyelamatkan diri. Namun, sekelompok pengejar berhasil menangkap dan membawa mereka ke suatu tempat yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka. Te...