Chapter 37

2.6K 349 104
                                    

Langkahku terhenti tatkala lima sosok berjubah hitam--empat mengenakan jubah Furcas--berdiri beberapa meter jauhnya, seolah muncul dari keremangan rumah-rumah penduduk.

Sosok yang berdiri di tengah maju selangkah. "Hallo, Selena."

Tubuhku membeku seketika. Sosok itu menarik tudung yang menutupi sebagian wajahnya; menampilkan rambut brunnate panjang dengan sepasang iris abu-abu yang sangat kukenal. Jantungku seolah berhenti berdetak. Lidahku terasa kelu.

"Anggap itu sebagai hadiah dariku."

"Pergilah ke desa itu dan kau akan bertemu dia."

"...Jika Seira bisa melihatmu sekarang, kira-kira apa pendapatnya?"

Kata-kata Axton langsung terngiang di kepalaku. Seringai terakhirnya itu ... Seakan menyatakan posisi kami seri.

"Sei ... ra?"bisikku terbata. Tidak mungkin, ini tidak mungkin. Aku terus menyangkal apa yang kulihat di hadapanku. Sementara, telingaku mendengar napas tertahan Oliver dan Dean di belakang.

Sosok berwujud kakakku berjalan pelan. Aura yang terpancar sangat gelap dan mengintimidasi. Seluruh tubuhku seolah tersihir, tidak bisa bergerak sedikit pun.

"Halo Oliver, Dean ... Lama tak berjumpa," suaranya begitu angkuh dan dingin.

Iris hazelku teralih pada empat sosok yang sedang menarik tudung jubah. Mataku membulat, rasanya dunia terhenti saat itu juga, udara yang masuk melalui hidungku bagaikan jarum-jarum tajam. Di sana berdiri tiga sosok yang kukenal; Angela, Gon, dan Victor. Sedangkan, satu Furcas lagi tidak kukenal.

Ini mustahil!

"Kau terlambat. Aku sudah membinasakan seluruh penduduk." Entah sejak kapan kakakku berdiri di samping, membisikkan kalimat itu. "Sama seperti dulu, kau tidak akan bisa mengalahkanku, Adik."

Aku menoleh, mata kami bertemu. Iris hazelku lantas meneliti setiap detail wajahnya. Mencari perbedaan, berharap ini hanya bayangan menyerupai wujud kakakku, sebuah ilusi yang sengaja dibuat musuh. Sayangnya, harapanku sirna secepat datangnya; yang berdiri di hadapanku benar-benar Seira.

Tetapi, ada satu perbedaan yang membuat hatiku semakin pedih. Iris abu-abu itu menyorot dingin, ada kekosongan bagai lorong tak berujung dengan kekelaman abadi di dalamnya. Dia hidup sekaligus mati. Sama seperti yang kulihat pada Felix. Pada semua Furcas.

"Apa yang mereka lakukan padamu?" Itulah pertanyaan yang terlontar saat menemukan suara.

Ia memalingkan wajahnya dengan sikap tidak peduli. "Furcas, kita pergi dari sini," perintahnya. Lalu, asap hitam seakan menelannya dan Seira menghilang dari pandanganku.

Suara koak-an burung-burung gagak terdengar menjauh. Di ujung langit Barat, matahari menghilang di balik cakrawala. Di susul oleh senja yang merambat naik.

"Apa yang direncanakan Kegelapan?"ucap Oliver geram setelah beberapa saat kami tenggelam dalam keheningan.

Menghela napas berat, mataku terpejam sesaat membiarkan rintik-rintik salju menyentuhku. Perlahan, aku memutar tubuh menghadap kedua sahabatku yang masih berdiri membeku; bertukar pandang dalam kebisuan.

Dan aku melihat suatu emosi yang tidak dapat kujabarkan dari sorot mata Oliver. Apakah itu terluka? Kecewa? Amarah? Atau campuran dari semuanya?

Aku menarik pandanganku ke sisi berbeda saat merasakan kehadiran Raizel, Xander, Sam, dan Drigo.

"Aku tidak menyangka Sorcerer sial itu memberi informasi benar," Sam berkata dengan sikap tidak percaya. Dean dan Oliver menoleh ke sumber suara. "Kepala seluruh penduduk dipancang, tubuh mereka dibiarkan tergeletak di tanah. Kita terlam--" Sam menghentikan kalimatnya begitu iris kobalt-nya bertemu dengan Dean.

Ljosalfar : The Light Elves Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang