"Selamat datang!!" Aku berteriak sesaat ia baru saja membuka pintu rumah.
Ia tersenyum tipis lalu memelukku sembari mengusap kepalaku dengan asal, membuat rambutku sedikit berantakan karenanya. Ia tidak tersentak ataupun terkejut sama sekali, karena pasti ia sudah terbiasa dengan kelakuanku yang selalu saja ingin membuatnya kaget saat ia baru saja pulang dari kampus.
"Berhentilah melakukan itu, Clem." Ucapnya setelah ia memelukku dan berjalan menuju kamarnya.
Aku hanya terkekeh kecil dan melangkah menuju kulkas untuk mengambilkannya sekotak jus dan waffle yang tadi kubuat.
Aku menaruhnya di meja kecil yang berada di depan sofa, karena ia tidak pernah menyantap makanan apapun di meja makan, dan selalu menyantapnya di depan televisi.
Ia kembali dengan kaos oblong bertuliskan nama band kesukaannya, Arctic Monkeys, yang baru saja ia beli sebulan lalu melalui internet. Dan celana boxer hitam yang selalu ia pakai saat berada di rumah.
Kuakui, ia selalu terlihat mempesona bahkan saat ia sedang memakai pakaian seperti ini.
Aku duduk di sofa dan sibuk menggonta-ganti channel untuk mencari acara yang kupikir menarik untuk ditonton bersama kakakku.
Ia berjalan dan mulai duduk di sampingku dengan sedikit menjatuhkan tubuhnya, membuat sofa ini sedikit berdecit karena menahan berat lelaki berumur 20 tahun ini.
"Kau tahu aku tidak suka waffle, kan?" Ia memulai perbincangan dengan kalimat yang cukup membuatku kecewa.
"Kau tidak suka?" Aku menoleh kearahnya dengan sedikit terkejut, karena setahuku ia sangat menyukainya.
Ia tidak menjawab, melainkan hanya meminum jus mangga yang tadi kuambilkan.
"Kalau begitu, biar aku yang memakannya." Lanjutku saat ia kembali menaruh kotak itu di meja.
Aku hendak mengambil piring yang berisikan waffle coklat itu, namun tiba tiba tangannya menahanku.
"Tidak, lagipula aku akan memakannya." Ucapnya hendak bersiap untuk menyantap makanan yang tidak ia suka. Dia cukup aneh.
"Kau bilang jika kau tidak menyukainya, Calum." Balasku cukup kesal karena aku sangat ingin memakan waffle itu.
Ia mengganguk dan tersenyum tipis seraya melihat kearahku. "Tidak suka bukan berarti tidak memakannya, kan." Jawab Calum, lalu ia memakan waffle itu sedikit demi sedikit.
Aku terus memperhatikannya dari samping. Setiap lekuk wajahnya membuatku ingin berteriak saat ini juga. Mengapa ia begitu sempurna?
Tak lama ia mulai menyadari jika aku sedang memperhatikannya dari tadi.
"Ada apa?" Tanyanya seraya masih mengunyah waffle itu di dalam mulutnya.
Aku menggeleng, "Tidak, hanya saja, kau lucu saat sedang makan." Jawabku, mencoba untuk bersikap normal.
Ia terkekeh sembari menelan makanan itu, lalu bersandar di sofa.
"Mengapa kau baru sadar jika aku lucu, Clem?" Ia mencoba menghiburku dengan memberikan lelucon basi seperti itu. Namun tetap saja aku terhibur, selama yang menghiburku adalah Calum.
Aku mendorong pelan tubuh Calum yang 2 kali lebih berat dari tubuhku, sehingga tubuhnya sedikit tergoyang.
Kami berdua sama sama tertawa dan saling memberikan lelucon satu sama lain, dan sesekali ia menggelitiki tubuhku yang memang lemah dalam hal itu. Hingga akhirnya kami terdiam lemas.
"Bagaimana dengan ujian semestermu?" Tanya Calum seraya menoleh kearahku yang masih terfokus pada film Inside Out yang baru saja mulai.
Aku menggeleng santai. "Belum keluar hingga saat ini." Jawabku dengan satu hembusan nafas yang berat.
"Aneh sekali, kau mengerjakan ujianmu tiga minggu yang lalu." Balas Calum, dan kini matanya mengarah pada layar televisi.
"Ya, aneh sepertimu."
Aku tersenyum sembari menahan tawa karena lelucon yang kubuat mungkin sedikit lucu.
Ia melirikku dengan senyuman yang sering ia tunjukkan saat mengetahui dirinya kalah terhadap leluconku.
Ia kembali menggelitiki tubuhku dari mulai leher hingga kaki. Aku tertawa dan bahkan mengeluarkan air mata dari perlakuan Calum. Ia hanya tertawa puas atas perlakuan kejamnya ini.
Aku mulai terbaring di sofa, dan mencoba menahan tangan Calum yang masih saja membuat tubuhku merinding kegelian.
"Hentikan, Calum!" Aku berteriak sekencang-kencangnya dan sesekali memukul keras dadanya agar ia berhenti.
Ia berhenti, lalu tiba tiba tubuhnya menindihi tubuhku yang tentu saja jauh lebih kecil darinya. Kepalanya berada di atas kepalaku hingga wajah kami saling berhadapan.
Jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang, seperti sedang berlari marathon, ditambah dengan nafasku yang masih tersengal karena perlakuan Calum tadi.
Aku tahu mungkin ini seperti kakak yang sedang bermain bersama adiknya dengan normal, namun aku merasakan hal yang berbeda. Ini lebih dari sekedar hubungan kakak beradik.
Tiba tiba ia tertawa dan bangkit dari tubuhku, lalu kembali duduk normal di sofanya.
"Mengapa tubuhmu begitu berat, Calum." Ucapku saat kembali duduk di sofa.
"Setidaknya tubuhku tidak seberat tubuhmu, Clementine." Balasnya tidak menunjukkan ekspresi apapun dan tetap menatap layar di depannya.
"Hey, tubuhku tidak seberat itu!" Ocehku kesal seraya menoleh kearahnya.
Ia tertawa puas, lalu bangkit dari sofanya, menuju ke halaman belakang.
"Kau akan kemana?" Tanyaku sedikit berteriak.
"Ke luar angkasa. Kuharap kau tidak merindukanku." Jawab Calum dengan asal. Ya, walaupun aku tahu ia tidak akan benar benar pergi ke luar angkasa. Tapi mau apa dia ke halaman belakang?
Aku hanya menghembuskan nafas dengan berat dan tidak berniat untuk mengikutinya karena hari ini begitu panas, dan aku tidak mau keluar rumah.
Mengapa aku ditakdirkan untuk menjadi adiknya? Aku bahkan berharap jika aku dan Calum bukanlah saudara kandung seperti sekarang. Dan aku bisa menyukainya tanpa harus ada keanehan yang mungkin orang akan katakan kepadaku.
First chap wooo
Jadi Clementine itu adiknya Calum dan dia punya rasa ke Calum gitu, tapi Calumnya gatau, dan dia cuma nganggep Clementine sebagai adiknya, ga lebih.
Tapi Clementine ngerasa kalo rasa sayangnya ke Calum itu lebih dari sekedar kasih sayang adik ke kakaknya.
Ya seperti itulah hehe.
Vote, kritik dan saran sangat dibutuhkan
Bay kesayangan♡
KAMU SEDANG MEMBACA
brother complex // calum
FanfictionIni hanyalah kisah seorang gadis yang mencintai kakak lelakinya sendiri, Calum Hood. 2016 by cakebooty.