sepuluh

2.7K 118 6
                                    

Keringatku terus bercucuran, membasahi hampir seluruh baju yang kini kukenakan. Nafasku tersengal setelah aku turun dari sebuah taksi dan kemudian berlari, memasuki sebuah gedung yang semua orang menamainya rumah sakit.

Setelah sebelumnya Luke memberitahuku jika Calum kecelakaan, aku langsung berlari, mencari taksi, dan harus berkutik dengan kemacetan selama beberapa menit.

Sesampainya di lobby, aku menghampiri seorang wanita muda yang sedang sibuk terduduk di meja resepsionisnya.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita itu seraya tersenyum ramah.

"Ya, ada. Um– saya ingin menjenguk orang yang bernama Calum. Bisakah aku mendatanginya sekarang juga?" Ujarku terengah.

Saat ini jantungku berdetak cepat. Pikiranku tidak bisa terlepas dari lelaki itu sedikitpun, seolah yang aku miliki di hidupku sekarang hanyalah dia seorang. Aku terus menghentakkan kakiku ke lantai, menandakan betapa takut dan gelisahnya orang yang satu ini.

"Maaf, bisa sebutkan nama lengkapnya?" Tanyanya lagi, membuka sebuah buku yang kuyakini adalah nama nama pasien disini.

"Calum Thomas Hood. Dia baru saja dibawa kesini tadi pagi, please biarkan aku menjenguknya." Kataku lagi dengan tubuh yang dingin, dan kedua tangan yang bergetar.

Wanita itu membuka lembar demi lembar kertas, menelaah semua tulisan yang tertera disana. Kuakui, semua yang dia lakukan sangatlah lamban dan yang aku inginkan hanyalah menemui Calum segera.

"Calum Thomas Hood, lantai empat, ruang 32." Ujar wanita tersebut seraya menulis sesuatu di bukunya.

Tanpa basa basi, akupun langsung berlari menuju lift dan berharap jika Calum baik baik saja. Maksudku, berharap jika kondisi Calum tidak begitu parah.

Aku berjalan menelusuri lorong yang berada di lantai empat. Aroma khas dari rumah sakit ini membuat bulu kudukku berdiri. Bukannya takut akan hal-hal supranatural atau yang lainnya, hanya saja aku tidak pernah menyukai aroma obat obatan dan sebagainya.

Tak lama, aku menemui kamar Calum. Aku mengetuk pintu putih nan bersih ini sebanyak tiga kali. Jantung ini tak kunjung memperlambat temponya, seolah tidak memperbolehkanku tenang untuk beberapa saat.

Kemudian pintu terbuka, memperlihatkan seorang Luke yang berdiri disana, menatapku prihatin. Sejurus kemudian ia memelukku, menenggelamkan tubuhku di tubuhnya yang besar bagai jerapah. Disaat ini aku menangis, melihat seseorang yang sedang terbaring di balik tubuh Luke.

Aku melepaskan pelukannya, dan berjalan pelan menghampiri lelaki itu yang matanya masih terpejam, dengan perban putih di kepala dan juga lengannya. Beberapa luka memar berwarna ungu di tangan dan juga wajahnya membuatku meringis dan bertanya. Mengapa ini semua bisa terjadi?

Aku duduk di pinggir ranjangnya. Menggenggam tangan lelaki ini yang hangat dengan milikku yang dingin bak es batu. Air mataku terus mengalir, menatap Calum yang kini sedang bersentuhan dengan berbagai macam selang di tubuhnya.

"Mengapa ini bisa terjadi?" Tanyaku kepada Luke yang kini duduk di pojok ruangan.

"Um– aku tidak tahu pasti penyebab kecelakaan ini, Clem. Polisi setempat tiba-tiba saja menghubungiku dan memberitahu jika Calum baru saja mengalami kecelakaan." Jawab Luke.

Entahlah, ini begitu menyakitkan. Mengingat beberapa menit sebelum Calum terbaring disini aku masih bisa melihatnya tersenyum.

"Mengapa mereka bukannya meneleponku?" Tanyaku penasaran. Ini sangat masuk akal karena Luke bukanlah siapa siapa Calum, dan seharusnya aku yang bertanggung jawab atas semua ini.

brother complex // calumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang