Sudah lebih dari 2,5 tahun aku tinggal disini dan menjalankan hari menjadi seorang mahasiswi. Apa yang ku pelajari, bisa ku pahami sepenuhnya. Yang tidak bisa ku pahami adalah perasaan ini. Rasa yang ku miliki sekarang, untuknya.
Beberapa bulan ini, mungkin sekitar 6 bulan ini. Kami berdua sangat jarang bertemu atau sekedar berhubungan lewat HP. Padahal kalau di pikir, apartemen dia di depan apartemenku. Jadi, apa susahnya?
[Aku-kamu menunjukkan berbicara berbahasa inggris]
"Hi Adlina," sapa temanku yang satu fakultas denganku.
"Hi juga, Sophia," sapaku balik dengan senyum kecil, aku tidak mood untuk berbahagia hari ini.
"Tumben sekali naik bus," ucapnya melihatku heran.
"Kelas Mark pagi, sedangkan aku siang jadinya dia duluan," jelasku.
Sophia mengangguk mengerti, "Kalian tidak sedang marahan atau bertengkarkan?."
Aku tertawa kecil, mungkin tidak tapi mungkin kami sedang di masa melakukan kegiatan sendiri dan fokus ke jalur masing-masing.
"Kami tidak marahan atau apapun, aku sama Mark masih baik-baik saja," jawabku.
"Baguslah, aku sangat mendukung hubungan kalian. Dulu saat pertama kalian masuk, kalian sudah menjadi topik pembicaraan senior dan seangkatan. Kalian sangat romantis," ucapnya.
Aku hanya tersenyum kecil. Untuk apa romantis jika tidak setia. Untuk apa menjadi topik pembicaraan, jika itu yang menyebabkan banyak sekali penganggu datang. Untuk apa terkenal, jika hubungan ini akan selalu di ganggu mereka. Untuk apa semua itu, jika hubungan ini tidak akan berjalan lama.
Sekarang, aku hanya berharap kalau dia masih memiliki perasaan yang sama denganku. Aku hanya berharap, dia tidak pernah membohongiku seperti dulu. Aku hanya berharap, dia tidak melakukan sesuatu di belakangku. Aku hanya berharap, dia kembali seperti dulu. Aku selalu berharap.
"Adlina, kenapa kamu nangis?," tanya Sophia tiba-tiba.
Aku tersenyum palsu, berpura-pura memegang mataku dan tidak menyadarinya. "Tadi ada debu masuk di mataku."
"Serius?," tanyanya tidak percaya.
Aku mengangguk, meyakinkannya. "Aku serius," dan tidak.
Mungkin, semua orang tahu bahwa kami adalah sepasang kekasih tapi tidak ada yang tidak mungkin. Mungkin mereka selalu bilang bahwa mereka mengharapkan kami selalu bersama. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin.
Tidak semua orang berpikir hal yang sama. Dia adalah seorang laki-laki yang mempunyai sifat yang sama dengan laki-laki lain. Siapa yang tidak mau di hubungi atau berteman dengan perempuan cantik?
Aku tidak akan berbohong kalau aku tidak suka jika ada seseorang laki-laki tampan menyapaku. Aku menyukainya, tapi hanya sekedar itu dan aku selalu bercerita dengannya walau belakangan ini. Belakangan ini, jika aku bercerita apapun. Selalu di balas lama atau di tanggapi dengan singkat. Aku hanya berpikir dan berharap, itu semua di lakukannya karna dia sibuk.
Aku turun dari bus, mungkin dengan muka datar atau kusut. Buku yang ku bawa, sama sekali tidak ku pegang dengan benar. Kadang ada buku atau kertas yang jatuh, Sophia dengan baiknnya dia mengambil. Dia pasti sangat tahu apa yang kurasakan, karna dia juga sering melihat dirinya.
Aku terhenti berjalan saat aku melihat seseorang yang sangat ku kenal dan ku rindukan. Dia sedang tertawa dengan bahagianya. Dia duduk di taman itu, mengobrol dengan ceria tanpa memperhatikan sekitar. Dia sedang bersama 2 teman laki-lakinya dan 5 teman perempuannya.
"Adlina, kamu baik-baik saja?," tanya Sophi pelan, dia segera mengambil alih buku yang ku pegang.
Aku yakin, dia takut aku menjatuhkannya atau melemparnya ke sana. Mungkin melempar ke mereka itu adalah hal baik, tapi aku sangat sayang dengam bukuku. Buku sumber ilmuku dan sangat berguna. Dan mereka adalah seseorang yang tidak berguna, yang hanya bisa membuatku sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
All We Had To Do Was Stay
Romance"Kita hanya ingin bahagia, kenapa kita menyakiti satu sama lain?" - Adlina Alexis Legnard "it's just too late...." - Mark Logan Bart Catatan sebelum membaca : Tanda baca masih berantakan