Part 16

21.8K 2K 280
                                    

Aku membolak-balikan berkas dengan malas. Sudah berapa lama aku membaca ini, tapi satu katapun tidak ada yang bisa masuk ke dalam otaku. Aku tahu penyebabnya apa, sangat jelas. Ini semua karna dia, aku tidak bisa memikirkan semuanya.

Dia sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Bahkan, aku mengirimnya tulisan tanganku. Tetap saja, dia tidak melakukan apa-sapa. Setidaknya, menjelaskan sedikit saja tentang semua ya. Bukan hanya itu, semakin lama, dia semakin sibuk. Sibuk inilah, itulah. Apa maunya coba?

Keluar kota, keluar negri, apa tidak sekalian keluar alam aja? Jadi beda alam gitu. Benar-benar membuatku kesal. Alasannya untuk tidak menemuiku semakin banyak, bahkan untuk menghubungi saja susah. Alasannya paling sering, lagi terbang jadi harus mode penerbangan. Terbang aja sana, jangan mendarat sekalian.

Aku bukan perempuan bodoh yang bisa di tipu berulang kali. Sekali dia menipuku, mungkin bisa kupercaya. Tapi, kalau sudah lebih dari dua kali. Aku harus percaya? Benar-benar bodoh kalau aku percaya. Dia pikir, aku tidak bisa tahu kegiatannya?

Aku bisa sombong kalau tentang ini. Koneksi perusahaan keluargaku lebih besar darinya. Kenalanku lebih banyak darinya. Orang-orang yang bekerja sama dengan dia, bisa jadi bekerja sama denganku juga.

Ketokan pintu membuat aku berhenti menggerutu. Hfft, hobiku belakangan ini memang seperti ini. Kesal ke diri sendiri. Kenapa juga Mark bisa begitu? Kemana janjinya? Kemana semuanya ucapannya? Dia ternyata sama saja dengan kebanyakan orang. Ucapannya hanya omong kosong belaka.

"Masuk," ucapku karna dari tadi dia terus mengetuk, saat melihat sekertarisku. Aku langsung bertanya, "Ada apa Rena?."

Dia tersenyum, berjalan ke arahku dan memberikan sebuah kertas yang berisi tulisan, tidak mungkin gambar. "Saya sudah memesan di cafe yang ibu mau kunjungi."

Aku mengangguk, tujuanku kesana bukan menyegarkan pikiran melainkan ada sesuatu disana. "Kamu ikut juga, kalau bisa kita berdua saja."

"Tentunya saya tidak berhak menolak ajakan ibu," ucapnya sopan.

Aku mengangguk mengerti, dia orang yang sangat baik. Kak Revan memang pintar memilih pegawainya, "Kamu bisa menyetir?."

"Bisa bu, kenapa? Ibu mau saya yang menyetir mobilnya?," tanya yang langsung mengerti.

Aku tersenyum simpul lalu menggeleng, "Bukan untuk kita berangkatnya, tapi pas pulangnya. Saya mau berjaga-jaga saja."

Dia mengangguk mengerti, walau bisa kutebak belum. "Nanti kalau sudah waktunya, saya siapkan mobil ibu ya."

"Oke, kamu boleh kerja lagi."

Lihat saja nanti, aku sudah menyiapkan semuanya. Dia pikir, aku perempuan lemah? Dia pikir, aku perempuan yang hanya bisa diam? Cukup sekali itu saja, aku diam dan memerhatikan. Kali ini tidak.

Ada sedikit rahasia dan keraguan sebenarnya. Mungkin aku tidak akan lemah di belakangnya. Tapi, kalau suda menatapnya dan bertemu dengannya entahlah. Apa aku masih bisa menjadi perempuan kuat dan tidak hobi menangis. Aku sama sekali tidak yakin.

●●●●●

Aku memakirkan mobil di tempat parkir, pasti. Setelah menurutku dandanan tidak ada yang rusak. Aku dan Rena, tentu dia jadi ikut. Aku tidak mau menanggung resiko untuk diriku sendiri. Bukan untuk sekarang, tapi nanti.

Aku menahan tangan Rena saat dia mau ke meja pesanan kami, "Kamu lihat perempuan yang disana?."

Rena melihat apa yang kutunjuk, "Lihat bu, yang pakai baju biru sendirian itukan bu?," aku mengangguk, dia mentapku bingung, "Kenapa bu?."

"Kamu kenal dia?," tanyaku langsung.

Rena menggeleng, "Saya tidak mengenalnya, dia asing untuk perusahaan kita. Ibu mau mengenalnya? Saya bisa menananyakannya langsung."

All We Had To Do Was StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang