Part 18

20.9K 1.7K 265
                                    

Semua orang tahu bila kita sepasang kekasih, namun status tidak menjamin cinta.
Lidah bisa berkata namun hati tidak bisa sejalan.

Untuk apa, untuk apa cinta tanpa kejujuran. Untuk apa cinta tanpa perbuatan. Tak ada artinya.

Untuk apa cinta tanpa pembuktian. Untuk apa status kita pertahankan bila sudah tidak lagi cinta.

Maudy Ayunda - Untuk apa.

●●●●

"Ssstt, malu di mall teriak-teriak nanti di kira apa lagi." Ucap Daksa yang masih sibuk memeriksa kameranya.

"Daksaaaa!!! Hapus deh fotonya," kesalku dan mencoba mengambil kameranya.

Daksa memegang satu tanganku, "Udah di bilangin, jangan teriak ini di mall."

"Memangnya gue pikirin?," sewotku.

Daksa kembali menatapku, "Udah, jangan kesal terus nanti cepat tua."

"Memangnya kenapa kalau cepat tua? Masalah? Gakkan? Ya udah," kesalku dan membalikkan badan ke arah lain, bermaksud meninggalkannya.

Tapi tanpa di sangka, Daksa menarik tanganku. Dia menarik tanganku dan membawa ke pelukannya. Dia kenapa?

"Ternyata lo harum juga ya," ucap Daksa sambil menepuk pelan pundakku.

Aku mencoba melepaskan pelukannya, "Apa-apaan sih, ini tempat umum."

Daksa melonggarkan pelukannya, "Tadi teriak gak ada malu, tapi di peluk protes."

Aku langsung melepaskannya, "Gak peduli."

"Jangan lihat," cegah Daksa, tapi aku terlanjur berbalik menghadap ke tempat yang salah. "Ini alasan gue meluk lo, jangan pikir macam-macam."

Aku menahan napasku melihat pemandangan yang ada di depan. Mark bersama dengan si Ghita sialan itu, sedang melakukan kegiatan mesra di depan umum. Cowoknya merangkul si cewek dan si cowok mencium pipi si cewek. Kelewatan. Saat si cowok melepaskan ciumannya, dia melihat ke belakang dengan senyumannya. Dia melihat diriku, diriku dan dia hanya menunjukkan wajah datarnya.

Daksa langsung merangkulku dan membisikkan, "Makanya kalau di peluk itu jangan cepat di lepas, sakit hati jadinya."

"Temanin gue ke parkiran," bisikku, menatap Daksa lembut dan tersenyum semanis mungkin.

Daksa menaikkan satu alisnya, "Boleh, bayarannya antarin gue pulang ya?."

"Yayaya," jawabku langsung.

Daksa menepuk kepalaku pelan, "Ayo dan jangan merengut, senyum aja."

Aku menarik napas dalam-dalam dan melakukan drama ini. Berjalan melewati mereka dengan sesantai mungkin, tanpa sedikitpun memikirkan apa yang mereka lakukan. Sebenarnya ada pertanyaan yang masih terlintas di otakku, sejak kapan Daksa tahu kalau Mark itu tunanganku? SEJAK KAPAN?

Aku melepaskan rangkulannya saat kami sudah sampai di tempat parkir, "Lo kesini tadi naik apa?"

"Tadi barengan sama klien, yang nyewa jasa gue." Jawab Daksa.

Aku menoleh ke arahnya, "Jadi lo di tinggalin?"

"Ya atau gak juga, gue sengaja nemui lo dari pada lo ngamuk sendiri kan bisa bahaya," ucapnya yang membuat aku teringat lagi dan membuat aku kesal, dia memegang tanganku. "Nanti aja emosinya, gue yang bawa mobil ya?"

Aku langsung menyerahkan kunci ke dia, "Bawa aja, gue lagi gak mood bawa mobil."

"Pilihan gue benar tadi, kalau lo yang bawa mungkin kita ke rumah sakit hari ini," canda Daksa.

All We Had To Do Was StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang