Menjadi bola basket itu ada bahagia dan sedihnya. Bahagia saat diperebutkan. Dan sedih saat dijatuhkan berkali-kali --re:dribble.---
Pagi ini, jam pertama untuk kelas sebelas IIS 1 adalah mata pelajaran penjasorkes. Dimana semua para siswa-siswi berkumpul di tengah lapangan basket untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Dengan dipandu oleh salah satu siswa yang ditunjuk sebagai inspektur pemanasan, semua bergerak tanpa kecuali.
Semua berteriak menghitung angka satu sampai delapan. Membuat para siswa di kelas lain mau tak mau menengok kearah lapangan basket.
Pritttt!!!
Peluit Bu Ne --guru olahraga mereka-- terdengar nyaring, hingga para siswa --yang tadinya beristirahat sejenak sehabis pemanasan-- berlarian mengatur barisan dihadapan Bu Ne. Wanita yang masih terlihat awet muda itu menatap satu persatu anak didiknya sebelum akhirnya ia bersuara.
"Selamat pagi, semua."
"Pagi, Bu." koor para siswa.
"Olahraga kali ini, Ibu akan mengajarkan materi tentang bola basket. Pastinya saat duduk di bangku kelas sepuluh, kalian sudah mendapatkan materi ini, bukan? Jadi, sekarang Ibu hanya perlu mereview singkat tentang itu." Jelas Bu Ne sambil mengamit bola oranye itu di tangan kanannya.
Setelah Bu Ne membahas singkat teori tentang bola oranye itu, sekarang saatnya praktik. Mereka diberikan satu bola untuk setiap kelompok yang beranggotakan empat orang. Sedangkan mereka berjumlah 32 siswa, jadi bisa dipastikan, mereka terbagi atas delapan kelompok. Setiap kelompok pun, sudah diatur oleh sang guru.
"Yah, gue sekelompok sama Mrs. Cold." ucap seorang laki-laki yang kini sudah di samping Chelsea.
Mata gadis itu melirik sinis kearah laki-laki itu. "Pergi sana, lo."
"Ya kali, gue disuruh pergi. Gue cuma bercanda kali, Chels." kekeh orang itu yang seingat Chelsea bernama Difa. Nyatanya, gadis itu memang mengenalnya, seorang kapten klub basket putra yang memiliki reputasi baik di mata para guru dan teman-temannya. --tapi tidak bagi Chelsea.
"Nggak lucu."
"Lo kata gue ngelawak?"
"Menurut lo?" typical Chelsea.
"Capek hati ah gue ngomong sama lo. Sakitnya itu dimana-mana, tau?!"
Arghh.
Difa meringis pelan memegang bola basket yang tepat mengenai perutnya akibat lemparan sadis dari Chelsea. Gadis itu hanya mengangkat sebelah alisnya melihat teman kelasnya itu kesakitan.
"Gila! Sadis banget lo jadi cewek."
"Who cares?"
"Menurut lo?!" kata Difa menirukan gaya bicara Chelsea.
"Kalian ini. Udahlah, jangan berdebat terus. Kita harus atur mainnya gimana." timpal seorang gadis bernama Dinda. Agaknya, gadis itu memiliki sifat bijak yang setiap saat mampu menghentikan perdebatan yang terjadi di antara Chelsea dan Difa.
"Bener tuh kata Dinda." timpal gadis lainnya yang berdiri menjulang di samping Difa -- Novi.
"Tuh dengerin, neng." ucap Difa sambil mengacak rambut Chelsea gemas. Sementara gadis itu langsung menepis kasar tangan cungkring Difa dari kepalanya.
"Don't touch!"
"Woah. Santai aja kali."
"Bisa diem nggak sih?!" bentak Dinda yang mulai tersulut emosi lantaran kedua kawannya itu tidak bisa diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side
Hayran KurguKatakanlah dia kaku, atau bahkan beku. Binar mata yang dulu terang benderang, kini redup seiring waktu berjalan. Senyum yang dulu pernah merekah, kini tak pernah lagi singgah. Hanya karena masa lalu, dia jadi begitu. Seolah takdir tak pernah berh...