Karena hakikatnya, suatu problema mampu mendewasakan jalan pikiran seseorang.•••
"Chelsea, lo kenapa sih?" mungkin sudah berpuluh-puluh kali Marsha menanyakan hal yang sama kepada gadis dingin dan batu di sampingnya itu. Dan lagi-lagi, hanyalah sebuah kebisuan yang didapatnya.
Semenjak pagi, Chelsea memang memilih membisu dan jika ditanyapun hanya melirik sekilas atau paling-paling berdehem--itupun juga karena paksaan.
Sampai-sampai, membuat sahabatnya itu gemas untuk membuka paksa bibir Chelsea.
"Chels, kalau ada masalah, cerita dong." Marsha masih berusaha untuk membujuk gadis itu agar membuka suaranya.
Chelsea melirik tanpa semangat kearah Marsha. Bibirnya terbuka, berniat mengatakan sesuatu. Tetapi, sebelum rentetan kata sempat terlontar, ia mengatupkan kembali bibirnya. Dan kembali mengalihkan fokusnya pada objek lain.
Sebenarnya, sekarang sudah memasuki jam pelajaran Geografi. Mata pelajaran terkahir di hari Sabtu ini. Tetapi, Bu Mayang, selaku guru mapel tersebut belum menampakkan batang hidungnya sampai detik ini. Padahal sudah lewat setengah jam lebih waktu berlalu.
Setidaknya, kali ini para siswa bisa bernapas lega setelah hampir setengah semester Bu Mayang tidak pernah absen mengajar sekalipun. Yeah, that's a miracle.
"Lo mau kemana?" tanya Marsha yang melihat Chelsea bangkit dari kursinya dan melangkah entah kemana. Mengabaikan pertanyaan dari Marsha tanpa berniat menjawabnya.
Langkah kaki Chelsea terus bergerak maju. Melintasi koridor kelas sebelas yang lumayan sepi, mengingat sekarang jam pelajaran tengah berlangsung.
Sorot matanya tampak kosong. Bola matanyapun tetap dalam posisi statis, tidak bergerak seperti saat ia melihat batang hidung Bagas. Berbicara tentang laki-laki itu, Chelsea merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri. Terlebih hatinya. Entah apa itu, Chelsea tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Bukan karena apa, tetapi hanya karena ia masih takut.
Ya, takut. Takut untuk melihat kenyataan yang ia sendiri tidak mau dan tidak akan mau tahu. Cukup seperti ini.
Karena begini saja sudah terasa perih, dan jika dipaksakan, ia takut akan membuat luka kecil itu akan bertambah besar.
Kembali lagi, intinya Chelsea hanya takut.
Brukkk!!!
Tabrakan itu tak dapat dihindari oleh dua orang yang kini--sepertinya-- tampak kesakitan akibat bahu mereka bersinggungan. Keduanya sama-sama masih mengelus bahu dan lengan yang masih terasa nyeri.
"Kalo jalan pake mata!" suara berat itu mau tak mau membuat Chelsea mendongak kearah orang yang menabraknya.
Gadis itu menyatukan kedua ujung alisnya. Tak lama kemudian, bola matanya berotasi tatkala melihat objek di depannya yang tadi sempat menjadi objek pikirannya juga.
"Gue rasa, kalo jalan tuh pake kaki," balas Chelsea, tajam. Matanya menyipit dan bibirnya mencebik.
"Terserah kata lo."
Lantas, setelah berucap seperti itu, Bagas memilih meninggalkan Chelsea dengan kegeramannya. Baru beberapa meter berjalan, langkah laki-laki itu melambat, dan kemudian berbalik untuk mengatakan suatu hal pada Chelsea.
"Nanti. Jam tiga. Pak Basuki. Di kelas gue." Bagas menekankan setiap kata yang ia ucapkan yang diakhiri dengan sebuah senyum miring dan lantas melanjutkan kembali langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side
أدب الهواةKatakanlah dia kaku, atau bahkan beku. Binar mata yang dulu terang benderang, kini redup seiring waktu berjalan. Senyum yang dulu pernah merekah, kini tak pernah lagi singgah. Hanya karena masa lalu, dia jadi begitu. Seolah takdir tak pernah berh...