"Kenangan itu bandel.
Seberapa pun usaha kita untuk melupakannya, tetap saja ia akan kembali mengambang dalam angan." - 19:19°°°
Pandangan Chelsea lurus. Menatap jalanan komplek yang tampak sepi. Tepat di belakangnya, ada Alex yang tengah mengayuh sepeda. Gadis itu memaksa Alex untuk mengantarnya ke sekolah.
Hari ini, hari Sabtu. Dan sekolah Alex memang sengaja diliburkan, dengan alasan hari tenang. Karena mengingat minggu depan Ujian Nasional tingkat SMP siap dilaksanakan.
"Kenapa?" Satu pertanyaan terlontar dari mulut Alex. Memecah keheningan yang tercipta sedari tadi.
Bocah laki-laki itu tahu bahwa Kakaknya sedang tidak baik-baik saja. Semenjak pulang sekolah kemarin, wajah gadis tersebut menyiratkan sebuah ketidakberesan. Kemarin Alex memang memilih bungkam, membiarkan sang kakak terlarut dalam kesendiriannya. Namun, sekarang mulutnya gatal sekali ingin menanyakan kebenaran.
Hembusan napas lembut Chelsea terdengar sampai ke telinga Alex. Beradu dengan pedal sepeda yang kini mereka berdua tumpangi. Tangan Chelsea berpegangan pada stang bagian tengah. Karena posisinya yang membelakangi Alex, gadis itu tak harus repot-repot menyembunyikan semburat sendu wajahnya.
"I'm fine," katanya pelan. "Too fine to say."
"Lo nggak bisa bohong sama gue. Bahkan nggak akan pernah bisa."
"Lex, please."
"Sejauh ini, gue selalu ngasih waktu buat lo sendiri. Buat lo mikir tentang apa yang lo alami. Sekarang, gue cuma minta satu hal," ada jeda beberapa detik sebelum Alex melanjutkan perkataannya. "Jangan pernah bohong sama gue, Kak. Dan jangan pernah sekali-kali lo bohongi perasaan lo sendiri."
Chelsea meringis pelan mendengar ucapan adiknya barusan. Berharap dalam hati agar tak mendapat pertanyaan dari Alex, malah kini ia terpojok sendiri atas perkataan bocah laki-laki itu. Sialan memang.
"Lex, otak gue nggak mampu buat mikir berat sepagi ini."
"Nggak ada alasan lain yang lebih logis?"
"Oke. Fine. Pulang sekolah, jemput gue. Gue bakal kasih jawaban atas pertanyaan lo selama ini," pada akhirnya, Chelsea hanya bisa mengalah dan pasrah jika berhadapan dengan Alex. Bocah SMP yang memiliki pemikiran di luar nalar.
°°°
Chelsea pikir setelah lepas dari Alex, ia akan terbebas dengan segala pertanyaan mengenai kesenduannya hari ini, tapi Chelsea salah.
Bahkan saat ini, mulut Marsha tak henti-hentinya menanyakan kondisi Chelsea yang tampak lesu, sendu, dengan mata yang tampak sayu. Berkali-kali juga Chelsea membiarkan tangan besar Marsha menjelajahi wajahnya. Dari mulai menempelkan punggung tangannya ke dahi Chelsea, memencet hidung, menusuk-nusuk pipi dengan jari telunjuknya, dan sekarang ini terlihat Marsha tengah memainkan rambut Chelsea yang tergerai.
Dengan kepala yang bertumpu pada kedua tangannya, Chelsea membiarkan Marsha begitu saja.
"Chelsea, cerita dong," bujuk Marsha dengan tampang putus asanya karena semenjak tadi Chelsea hanya memilih bungkam.
"Chelsea. Bener nih nggak mau cerita? Nanti nyesel, loh."
"Chels ...."
"Kalo lo nggak cerita, nanti bisa jadi tekanan loh, Chels. Terus bisa jadi stress deh. Lo emangnya mau stres sebelum waktunya?"
Dahi Chelsea berkerut begitu saja mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sahabatnya itu. Stres sebelum waktunya? Memangnya stres punya tenggang waktu, ya? Ya Tuhan, rasa-rasanya Chelsea ingin tertawa untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side
FanfictionKatakanlah dia kaku, atau bahkan beku. Binar mata yang dulu terang benderang, kini redup seiring waktu berjalan. Senyum yang dulu pernah merekah, kini tak pernah lagi singgah. Hanya karena masa lalu, dia jadi begitu. Seolah takdir tak pernah berh...