Sepuluh

107 10 0
                                    

Lagi dan lagi aku terbangun diruangan berdinding putih pucat ini, kepalaku terasa berdenyut saat aku memaksakan cahaya masuk menuju mataku. Dengan cepat sebuah tangan halus memegang erat tanganku, seakan memberikanku kekuatan melalui hangat tangannya.

"Reen" ucapnya lirih. Oh,itu suara jessica.

"Apa aku pingsan lagi?" Dia mengangguk kemudian memandangiku dengan tatapan iba. Percayalah, aku paling benci dikasihani.

"Reen, kemana saja kau seharian ini? Aku mencoba menelponmu, tapi tidak bisa. Dan saat aku menyusul ke apartemenmu, ternyata kau sudah tak sadarkan diri" ucapnya lagi.

"Maafkan aku, seharian ini aku pergi dengan alex"

Jessica tersenyum, mungkin dia mengerti jika aku sedang dengan Alex, aku tidak bisa diganggu.

Tak lama dokter Alinski masuk dan tersenyum ramah kepadaku. "Reen, bagaimana keadaanmu? Apakah sudah tidak pusing lagi?"

"Masih sedikit pusing dokter"

Dokter alinski tersenyum iba melihatku, aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Mungkin dia sedang merahasiakan sesuatu dariku.

"Reen, secepatnya kau harus melakukan kemoterapi, kondisi tubuhmu sudah sangat buruk, bahkan dalam satu minggu ini kau sudah pingsan 2 kali"

Tenggorokanku tercekat, mulutku sukses menganga. Bagaimana bisa aku melakukan kemoterapi? Itu sangat ber-efek samping juga untuk tubuhku.

"Aku tahu Reen kau mengkhawatirkan efek samping kemoterapi, tapi Reen jika tidak, kanker diotakmu akan terus menerus membesar, bahkan sebentar lagi akan masuk ke stadium 3" lanjut dokter alinski

Ya Tuhan, stadium 3? Apakah tidak ada jalan lain untuk sembuh? Tubuhku gemetar hebat menahan tangis, tanganku terus bercucuran keringat. Bumi seakan berputar cepat pada porosnya, meng-asingkan ku jauh ke planet mars. Meninggalkanku bersama kesepian dan kesunyian yang kuderita.
Untuk saat ini saja, aku ingin merasa egois, aku ingin menyalahkan takdir yang tak kunjung membuatku bahagia, menyalahkan keadaan yang tak berpihak baik pada diriku.

Dan tak terasa mulutku telah mengeluarkan cairan kental berwarna merah, sontak aku menutup mulutku untuk tidak lagi mengeluarkan darah.

"Astaga, Reen! Kau muntah darah" pekik jessica histeris. Tapi aku menghiraukannya karna mulutku tertutup oleh telapak tanganku.

Kulihat dokter Alinski juga langsung berjalan ke arahku dan memijat tengkukku beberapa kali. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan, hingga sampai beberapa menit, darah itu pun sudah tidak keluar lagi.

"Kau lihat, Reen? Sekarang Kau muntah darah. Terpaksa kau harus melakukan kemoterapi sore ini juga" ucap dokter Alinski tegas. Dan aku hanya bisa mengangguk pasrah sebagai jawaban.

*****
Setelah melakukan kemoterapi, sehelai demi sehelai rambutku mulai berjatuhan, rasa mual dan pusing pun sudah tidak bisa ditahan lagi, aku terus mengerang kesakitan. Hidupku sudah ku serahkan kepada sang pencipta. Aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang teramat dalam dan menyakitkan ini. Biarlah orang menyebutku sebagai orang yang mudah menyerah tapi sesungguhnya, mereka belum pernah merasakan sakit yang teramat dalam seperti yang aku rasakan.

Alex? Lidahku tiba-tiba saja mengucapkan nama laki-laki tampan nan baik hati itu.

Oh, Tuhan. Jujur saja hatiku sakit bila mengingatnya. Haruskah aku menyerah jika ada seseorang yang sedang menunggu jawabanku?
Egoiskah aku jika aku meninggalkannya tanpa kepastian?

Kini bukan ragaku saja yang terasa sakit tapi hatiku juga sangat terasa sakit.

Tanganku terulur mengambil obat-obatan yang diberikan dokter alinski meja dekat tempat aku berbaring.

ReenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang