"They are here!"
Kutatap wajah merah Monique yang berkeringat. "Lo serius?"
"Dead serious," kata Monique sambil terengah-engah. Dia menyeka keringat di keningnya dan menata kembali poninya yang agak berantakan. "Gue sama sekali nggak nyangka mereka akan benar-benar datang, Jo! Tapi—"
Aku refleks melompat berdiri. "Di mana mereka sekarang?"
"Di lobi," kata Monique. "Nah, karena dadakan, gue nggak tahu apa yang harus—"
Aku tak mempercayai kata-kata Monique barusan. Tapi mereka nggak membalas undangan itu! Kusambar jasku dan secepat kilat berlari menuju lobi depan. Mendengar berita itu, berbagai rasa berbaur menjadi satu dalam dadaku. Monique mengejarku dan memohon supaya aku berhati-hati ("Nanti jas lo kusut, Jo!") tapi aku terlalu antusias. Aku nyaris pingsan.
Lobi depan sudah penuh dengan para undangan. Begitu melihatku, Bella dan geng pagar ayu-nya mendelik kaget.
"JO!" hardik Bella sambil mengayun-ayunkan bunga tangannya. "Lo nggak boleh ke sini! Belum waktunya!"
"Iya, gue tahu, Bel. Tapi kata Monique—"
Bella mengangguk paham dan cepat-cepat menyeretku ke koridor sebelum terlihat orang lain. "Mereka ada di kamar pertama. Merwin masih berantakan, katanya dia langsung dari bandara kemari."
"Raka juga?"
"Iya." Bella menarik-narik kemejaku. "Mereka berdua. Gue nggak berharap Ben—"
Mereka betul-betul datang! Aku melesat ke kamar pertama yang letaknya di ujung koridor itu. Setidaknya dua lebih baik daripada nggak sama sekali.
Kudorong pintu kamar itu hingga terbuka. Seorang pria yang berdiri di samping tempat tidur melompat kaget. Dia berpaling, tatapannya jatuh padaku.
"Here comes the groom!"
Suara Raka yang lantang memenuhi kamar. Raka kelihatan jauh lebih kurus sekarang. Rambutnya yang dulu tebal kini mulai menipis. Tapi itulah dia, sahabatku. Aku langsung menghambur ke arahnya dan memeluknya erat-erat.
"Ini serius elo, Ka? Lo betulan datang?"
"Yee... kan yang ngundang elo, Jo!"
Seorang pria gemuk muncul dari kamar mandi. Perut buncitnya mencuat keluar dari belahan kemeja putihnya yang belum terkancing. "Ka, kayaknya kemeja gue kekecilan, deh. Coba tukar sama punya lo. Barangkali ukurannya...."
Pria terhenti dan mengangkat wajahnya. Aku tersenyum lebar padanya.
"NO WAY! Ini beneran elo, Win?"
"Hello, brother!" Merwin membuka lengannya yang kini bergelambir karena lemak dan langsung memeluk memelukku. Dia membenamkan wajahnya di bahuku dan menahan kepalaku dengan kuat.
Merwin mulai sesengukan. Aku belum pernah melihatnya seperti ini. "Anjir, lo nangis, Win?"
"Gila lo berdua, bener-bener gila!" Raka bergabung dan kami bertiga berangkulan dengan erat. "Nggak ada yang balas pesan gue! Telepon nggak diangkat! Gue pikir kalian batal datang! Dan tiba-tiba aja kalian muncul di sini! Gue nggak lagi mimpi, kan?"
"Nggak mungkinlah kita nggak datang, Jo," kata Raka sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Well, kebetulan gue lagi ada urusan bisnis di sini. Jadi sekalianlah," kata Merwin, dengan sedikit kecuekan yang pernah menjadi ciri khasnya.
"Ah, padahal dia yang paling excited tahu Jo," kata Raka. "Merwin udah pesan tiket dari jauh-jauh hari, bahkan sampai ngajak berangkat bareng!"
Aku tertawa. Kedua sahabatku itu juga.
"Eh, Jo," panggil Raka. "Kata si cewek yang megang clipboard tadi...."
"Namanya Monique, Ka," sahutku. "Dia sepupunya Ella."
"Masih single nggak, Jo?" celetuk Merwin. "Manis, tuh. Pantatnya bagus."
Ah, rupanya dia belum berubah dari dulu.
"Hei, fokus Win! Fokus!" Raka mengacungkan kedua jarinya di mata Merwin. Pria gemuk itu hanya terkekeh jahil. "Jadi si Monique itu bilang katanya lo udah punya best man?"
"Gue tersinggung, nih," Merwin menyodok rusukku. "Bukannya gue yang harusnya jadi best man lo?"
"Nggak mungkin elo lah, Win!" Raka terkikik. Tangannya menggelitik perut buncit Merwin. "Jas-nya aja udah nggak ada yang muat!"
Kami tertawa lagi. Aku masih tidak percaya pada penampilan Merwin sekarang. Berapa beratnya sekarang? Sulit membayangkan bahwa dulu, Merwin-lah satu-satunya yang sukses memiliki perut six-pack di antara kami berempat. Melihat kemeja yang sudah tak bisa dikancingkan ini, mungkin sekarang bobot Merwin seratus kilo.
"Gue yakin pasti Monique punya jas ukuran XXL," kataku menenangkan. "Nah, soal best man, memang kalian bertiga yang akan jadi best man-nya!"
"Bertiga?" Merwin berkedip-kedip. "Apa lo... ngundang si Ben juga?"
Aku mengangguk mantap. "Iya. Tapi dia belum kasih jawaban."
Merwin dan Raka beradu pandang sekilas. "Mungkin dia terlambat," kata Merwin. "Dari dulu dia memang nggak pernah on time."
"Atau nggak datang sama sekali," sambung Raka datar.
"Gue benar-benar berharap dia datang," kataku optimis. Setelah semua yang terjadi, Raka dan Merwin punya alasan yang kuat menduga Ben kemungkinan besar tidak akan muncul. Tapi aku tetap ingin Ben hadir di hari spesial ini.
Pintu kamar diketuk. Monique muncul. Sekarang gadis itu sudah lebih rapi dari sebelumnya. Dia tersenyum sumringah. "Are you guys ready?"
Ketiga pria itu mengangkat jempol.
"Okay, gentlemen. Let's roll!"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACHELORS [TAMAT]
Teen FictionJojo, Merwin, Ben dan Raka pertama kali bertemu saat SMA. Jojo, dulunya cowok kuper semasa SMA, kini bekerja sebagai desainer grafis. Tapi dia nggak puas dengan pekerjaannya dan belum pula menemukan cinta. Merwin - tipe achiever sejati yang kebetul...