Dua Puluh Enam

331 42 0
                                    


Waktu di Surabaya, aku beranggapan sudah tahu segala seluk-beluk kehidupan kota metropolitan sejati. Tidak ada hal lain di kota besar yang sanggup membuatku terkejut. Tapi ternyata aku salah.

Sesudah menyelesaikan koas di Surabaya, aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta tepat setahun yang lalu. Kebanyakan orang pasti berpendapat Jakarta adalah kota yang sumpek dan dipenuhi orang-orang yang tidak ramah, tapi tidak bagiku. Jakarta menyajikan hal-hal yang menantang kehidupan cintaku. Aku pernah beberapa kali memergoki pasangan gay yang terang-terangan berpegangan tangan di tempat umum. Pemandangan semacam itu mustahil terjadi di Surabaya! Mungkin di Jakarta, aku bisa menemukan cinta sejati.

Aku bergabung dengan tim dokter umum di sebuah rumah sakit di kawasan Kelapa Gading. Rumah sakit ini lebih besar dibandingkan yang ada di Surabaya, dan para stafnya lebih serius dan ambisius. Setiap orang mirip Suster Anna di sini. Dan pasiennya, minta ampun deh. Kami nyaris tak bisa beristirahat lebih dari lima menit.

Aku sudah mencoba beberapa orang; Bayu dan Jordy, keduanya dokter magang. Aku langsung tahu Jordy termasuk tipe gay discreet dari tingkahnya yang suka melontarkan lelucon-lelucon homofobia. Bayu punya sifat pendiam yang agak mirip Adrian sehingga aku tergoda.Dia termasuk golongan newbie yang belum pernah berhubungan, tapi langsung mengiyakan setiap tawaran untuk melakukannya seperti elang menyambar anak ayam.

Aku mencari karena masih belum menemukan pria yang membuatku nyaman. Perpisahan orangtuaku sewaktu lulus SMA memberanikanku untuk mengambil tindakan; aku sudah bergumul terlalu lama dalam ketidaknyamanan keluargaku yang tidak akur. Sudah cukup lama, tapi bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Jojo, Merwin dan Ben memang membantu, tapi itu tidak cukup buatku. Belakangan aku mengerti bahwa yang kudambakan bukanlah kenyamanan semata, tapi cinta; yang sejati dari hati, bukan yang semu dan malu-malu. Aku mau sesuatu yang lebih permanen.

Dalam pencarianku, aku menemukan Gilang. Pria itu sudah kutetapkan menjadi target selanjutnya. Aku mulai memperhatikan kehadirannya karena dia selalu mondar-mandir di rumah sakit ini tanpa mengenakan jas dokter atau seragam perawat. Tubuhnya tinggi dan ideal, tidak tegap dan berotot seperti Adrian. Dia memakai kacamata berbingkai tebal mirip seperti punya Jojo, rambutnya tebal dan berombak disisir menyamping ala kekinian. Gilang selalu mengenakan dua jenis kemeja, antara batik beragam motif atau kotak-kotak. Ini bisa berarti dua hal: selera fashion yang payah atau kesibukan tingkat dewa. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahun, satu lagi nilai plus bagiku. Untuk hubungan serius, aku memang mencari yang matang dan dewasa. Gerak-geriknya yang misterius menggelitik rasa ingin tahuku. Seolah dia menyembunyikan sesuatu yang menuntut untuk disingkap. Olehku.

Aku sudah berkenalan dengan Gilang. Ternyata, dia anak direktur rumah sakit ini. Nilai tambah yang kedua. Lucunya, ternyata dia seorang fashion designer dan pemilik lini busana merek GIO yang cukup terkenal. GIO itu adalah akronim nama lengkapnya: Gilang Indra Oktavian. Begitu tahu soal apa yang dia kerjakan, instingku langsung meneriakan tiga huruf: G, A dan Y. Kami selalu bertukar sapa saat saling berpapasan di koridor rumah sakit tapi percakapan kami tak pernah melebihi tiga puluh kata.

Untungnya, hari ini aku punya kesempatan bertemu Gilang. Ya, langsung ke apartemennya! Sejak lama aku sudah curiga bahwa kami tinggal di daerah yang sama karena aku sering memergoki Volkswagen Scirocco merah milik Gilang muncul di sekitar apartemenku. Ternyata, kami satu kompleks apartemen! Tower kami bahkan berseberangan! Sore tadi sebelum pulang Suster Erika meminta bantuanku untuk mengantarkan iPad milik Gilang yang tertinggal di kantor ayahnya, Dokter Arya. Pak Noval memberitahu perawat itu bahwa aku tinggal di daerah Kebun Jeruk juga. Tawaran itu langsung kuterima. Ini yang namanya mimpi jadi kenyataan.

THE BACHELORS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang