Sebelas

347 45 1
                                    


"Sebentar. Angkat telepon dulu," kataku. Di layar ponselku muncul tulisan: "Nico".

Si keparat itu. 

Kulempar kembali ponsel itu ke atas meja.

"Kok nggak diangkat?" protes Stella. "Angkat aja 'gih!"

"Nggak penting. Serius, itu bukan siapa-siapa."

Stella menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya lalu menatapku sambil mencibir. "Angkat dulu teleponnya. Nanti malah ganggu kita."

Yang benar saja...

Kusambar ponsel yang masih berdering itu dengan geram. "Halo?"

"Win..." Sebuah suara serak terdengar dari seberang sana. "Di mana lo?"

Ada hening sejenak yang menjemukan. Aku bergerak menuju balkon kamar dan mengintip dari balik tirai. Sudah subuh.

"Kantor," jawabku malas.

"Nggak pulang?"

"Nggak."

"Bank datang nagih lagi. Minta pembayaran."

"Oh."

"Lo bisa nggak transferin—"

"Nggak," tolakku segera. "Gue lagi bokek, Nic."

"Kita udah terlambat seminggu Win. Kalau terlambat lagi, bisa dieksekusi—"

"Nggak!" ulangku, lebih tegas dari sebelumnya. Nico meneleponku jam lima pagi hanya untuk meminta uang? Dia pikir aku mesin ATM? "Bukan gue yang ngutang ratusan juta di bank gara-gara kalah taruhan. Gue udah bilang berkali-kali, bokap bukan lagi urusan gue. Dia ngusir gue dari rumah, dan sekarang minta duit? Lagian kenapa nggak lo aja yang urus dia?"

"Dengar dulu..." Nico mencoba lebih tenang. "Gue udah bayar setengahnya. Dua setengah juta udah dibayar pakai pensiun Mama bulan ini. Tinggal lima juta lagi."

Lima juta, sepuluh juta, seratus juta, apa hubungannya denganku? Lima tahun lalu, akulah satu-satunya yang berani menentang kebiasaan minum ayahku. Kami bertengkar hebat dan berakhir dengan diusirnya aku dari rumah. Setelah itu, lusinan orang datang silih berganti ke rumah kami, menagih utang-utang yang tidak pernah kami ketahui sebelumnya. Kami  tak mengira selama bertahun-tahun ayahku telah berutang kesana-kemari demi membiayai keluarga kami, karena dia telah didepak dari pekerjaannya di kepolisian. Ibuku akhirnya memutuskan untuk menggadai rumah untuk melunasi semua utang itu.

Ayahku adalah kepala keluarga. Dia yang dengan sadar mengabaikan tanggung jawabnya itu. Aku sudah tulus mengongkosi Mama tiap bulan, tapi aku tidak sudi berkorban lebih banyak dari itu. I have my own life too. "Gue nggak bisa Nic."

"Merwin..." Sebuah suara lain kini menyahut. "Ini Mama. Bisa pinjam lima juta dulu? Nanti Mama ganti."

"Nggak bisa, Ma..." Aku tahu semua ini hanya taktik Nico agar aku luluh. Kakakku memang brengsek. Dia sampai menjadikan Mama amunisi untuk membujukku begini. "Kenapa nggak pinjam sama Andika aja dulu?" Andika adalah kakakku yang tertua dan bekerja sebagai nahkoda kapal. Penghasilannya lumayan.

"Andika lagi di Jepang, belum berlabuh sampai minggu depan."

"Ma, sori, aku betul-betul nggak bisa. Besok aku harus ke Dubai dan—"

"Win," Nico kembali mengambil alih. Aku betul-betul benci pembicaraan telepon yang campur aduk macam begini. "Lo nggak bisa batalin liburan lo dulu, apa? Kita—"

THE BACHELORS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang