Aku berguling ke sisi tempat tidur yang lain dan mencoba memejamkan mata. Telepon itu masih berdering keras-keras.
Brengsek!
Aku melompat dari tempat tidur. Hanya ada satu tujuan di kepalaku. Menghancurkan telepon itu dan menghantam junior manapun yang sedang berada di ruang rekreasi, karena telah membiarkan benda bangsat itu berdering-dering tanpa henti sehingga merusak tidur siangku.
Aku berderap menuju ruang rekreasi secepat kaki gemukku membawa. Suasana asrama sore itu sepi. Aku berlari lurus menuju si telepon. Tidak ada seorang pun di ruang rekreasi. Aku memaki lagi, kali ini sekeras yang aku bisa. Siapa juga orang tolol yang menelepon Sabtu sore seperti ini ke asrama, di mana semua orang jelas-jelas sedang menikmati libur akhir pekan?
"Halo? S'pa nih?"
"Halo, halo!" Seseorang di seberang sana membalas dengan panik. "Ini siapa?"
"Anjing. Ini elo, Win?"
"Ben? Pak Chris mana?"
"Nggak tahu!" jawabku singkat. Aku sedang tidak ingin mengobrol dengan siapa pun saat ini, termasuk Merwin.
"Lo nggak lihat Pak Chris?"
"Nggak."
"Ada siapa lagi di situ?"
"Nggak tahu! Lo kenapa sih, Win? Gila, lo telepon dari tadi, berisik tahu!"
"Ben," Suara Merwin mulai berkeresak. Sepertinya dia menelpon dari ponsel. "Lo kesini deh. Ke wisma. Sekarang. Gue di depan wisma Pak Budi."
Tidak ada satu halpun di dunia ini yang dapat mengacaukan jadwal tidur siangku. Aku meraih kabel telepon asrama itu dan berniat mencabutnya. Biar Merwin urus masalahnya sendiri.
"Ben, gue benar-benar serius! Jangan cabut kabel teleponnya! Raka tadi ditelepon sama Pak Budi dan disuruh ke wisma. Gue temanin Raka kemari. Dia masuk ke dalam wisma dan nggak udah satu jam nggak keluar-keluar!"
Aku tersentak. Pikiranku melayang ke satu hal. "Wisma Pak Budi, kata lo?"
"Iya. Buruan ke sini! Ini soal Pak Budi, Ben! Gue tunggu di belakang pagar bonsai!"
"Oke. Gue ke sana sekarang!"
Aku menjeblak pintu asrama hingga terbanting membuka lalu berlari cepat-cepat ke area wisma guru di belakang gedung asrama. Pak Budi. Nama itu menghantui para siswa lelaki di St. X. Guru yang satu itu terkenal di kalangan para siswa karena suka meraba-raba. Ada istilah untuk itu tapi aku tidak ingat. Sesuatu yang dimulai dengan huruf P... entahlah.
Aku tiba di wisma dalam lima menit dan langsung menyusup ke balik pagar bonsai di depan wisma. Merwin sedang meringkuk disitu, seperti seorang prajurit yang melindungi diri dari serangan meriam. Tangannya mencengkeram ponsel dengan gemetar.
"Raka di dalam sana, Win?"
Merwin hanya mengangguk. Dia pucat pasi.
"Ada siapa lagi di dalam?"
"Gue nggak tahu, tapi mobil Pak Budi nggak ada. Pasti dibawa sama istri dan anak-anaknya keluar."
"Jadi..." Aku ngeri sekali membayangkan ini. "Raka cuma sendirian sama Pak Budi di dalam sana?"
Merwin mengangguk, tangannya gemetar. "Ben, gimana kalau Raka..."
"Iya, gue tahu maksud lo. Kita harus menolong Raka! Lo kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Gue nelepon ke asrama berkali-kali, nggak ada yang angkat!"
Aku mencelus. Seharusnya aku segera menjawab panggilan itu. "Oke, sekarang kita harus masuk ke dalam dan menjemput Raka keluar. Tapi gimana caranya?"
Merwin menelan ludah dan mengangkat tangan kirinya. Dia mengenggam sebuah batu yang cukup besar. Dia menyerahkan batu itu padaku. Seketika itu juga aku paham rencana di dalam kepalanya.
"Lo gila, Win?"
"Lo nggak bisa lompat pagar di belakang wisma itu Ben. Tapi gue bisa."
Aku mencebik sambil mengutuk genetik Merwin yang memberinya tubuh sempurna. Dia benar. Akulah si underdog dalam misi ini. "Jadi gue yang lempar batunya, terus pas si Pak Budi keluar, lo nyelinap masuk lewat halaman belakang. Begitu?"
Merwin mengangguk sambil mencengkeram pundakku. "Lo bawa hape kan? Nanti gue miskol."
Aku menelan ludah. Aku belum mengatakan bersedia, tapi sudah Merwin bangkit, melompati pagar bonsai itu seluwes seekor cheetah, lalu menghilang di antara himpitan tembok wisma Pak Budi dan Bu Dian, menuju halaman belakang.
Aku menjatuhkan diri ke rumput dan mengerang. Bagaimana mungkin Merwin mempercayakan tugas ini padaku? Pak Budi pasti akan langsung memergokiku. Aku tak akan bisa lari dengan cukup cepat. Tapi bayangan tentang Raka diperlakukan secara tidak senonoh oleh si guru bejat di dalam wisma itu membuatku bergidik.
Ponsel di saku celana pendekku bergetar. Untung saja ponsel ini tercebur ke dalam kolam dua hari yang lalu sehingga pengeras suaranya rusak. Kuputus panggilan itu. Pertanda dari Merwin.
Aku bangkit berdiri dan mengambil ancang-ancang. Kutarik napas dalam-dalam dan kulemparkan sebongkah batu itu kuat-kuat, tepat ke arah kaca jendela depan wisma Pak Budi.
Begitu mendengar bunyi kaca yang berderak hancur berkeping-keping aku segera mengambil langkah seribu, terbirit-birit lari meninggalkan tempat itu sambil berdoa sungguh-sungguh dalam hati semoga kedua sahabatku baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BACHELORS [TAMAT]
Teen FictionJojo, Merwin, Ben dan Raka pertama kali bertemu saat SMA. Jojo, dulunya cowok kuper semasa SMA, kini bekerja sebagai desainer grafis. Tapi dia nggak puas dengan pekerjaannya dan belum pula menemukan cinta. Merwin - tipe achiever sejati yang kebetul...