Tiga Puluh Satu

307 37 1
                                    


Ella menunjukku dan tertawa lebar. Aku mengangkat jempol padanya. Mae melirikku dan menggeleng pelan. Tidak ada dansa. Dia meneguk gelas wine-nya yang ketiga.

Baiklah kalau begitu.

Musik berirama cepat memenuhi taman itu. Meja-meja sudah disingkirkan ke pinggir, kanopi sudah dipasang, dan dalam sekejap taman itu kini berubah menjadi lantai dansa yang menggoda. Jojo masih meloncat-loncat dengan Ella ke sana-kemari, mereka berdua kelihatan seperti sepasang merpati di tengah-tengah selusin pasangan lainnya yang ikut menari. Aku tidak tahu Jojo bisa menari selincah itu. Mungkin kelas yoga yang diikutinya dulu akhirnya membawa hasil positif.

Meski sudah lama berlalu, aku tetap ingin memberitahu Jojo soal Nina, tentang siapa gadis itu sebetulnya. Aku ingin memperjelas masalah itu. Tapi begitu melihat kebahagiaan yang memancar keluar dari wajah Jojo, kuurungkan niat itu. Bukan malam ini.

Rio sedang makan kue pengantin bersama Erika, putri kecil berwajah manis yang diadopsi oleh Raka dan laki-laki yang kini menjadi pasangannya: Gilang. Wajah kedua bocah itu belepotan krim kue. Raka yang sedang mengobrol dengan Ethan—yang kini sudah sepenuhnya tampil sebagai seorang wanita—tertawa melihat tingkah keduanya. Gilang mengambil tisu dan mencoba membersihkan wajah anak-anak itu, tetapi mereka malah tertawa-tawa dan mulai berlari ke meja-meja dan bersembunyi di balik taplak yang panjang. Sepertinya Rio dan Erika bisa berteman baik. Aku mungkin akan kesulitan jika dia mulai bertanya soal hubungan ayah dan "ibu" Erika, tapi semoga saja saat itu tak pernah datang.

"Lo disuruh dansa, tuh!" Merwin menepuk bahuku. "Lihat, Jojo ngajak elo!"

Kali ini Jojo yang mengisyaratkanku untuk tampil. Kuusap perutku, berpura-pura masih kekenyangan akibat makan tadi. Padahal aku tidak makan apa-apa. Aku tidak bisa makan. Pesta ini membuatku risih. Aku hampir tidak pernah keluar rumah. Kamarku telah menjadi satu-satunya mercusuar yang memberiku rasa tenang dan aman. Jojo tidak tahu betapa sulitnya aku mengumpulkan tekad untuk menghadiri pesta pernikahannya ini.

Merwin duduk di kursi di sebelahku. Kancing kemejanya sudah terbuka sampai di dada, jasnya tergantung di bahu kanan, tapi dia masih kelihatan waras. Mae bangkit dan menghampiri Raka dan gerombolan kecilnya yang mulai bikin repot.

"Lo ketemu di mana?" Merwin memulai pembicaraan.

"Apa?"

Dia mengangkat gelas anggur dan mencondongkannya ke arah Mae.

"Di Bangkok," jawabku singkat. "Dia kuliah tari di sana."

Merwin manggut-manggut. "Dia oke."

Aku terkekeh. "Kata Raka sekarang lo jadi petani, Win?"

"Yep," sahutnya. "Anak lo umurnya sekarang kan empat tahun. Berarti lo married..."

"Dua ribu enam belas," jawabku. Tidak, Merwin tidak akan melanjutkan topik ini. Aku harus menyetopnya. "Gimana bisnis lo sekarang? Lo kelihatan lebih happy."

"Bagus," balas Merwin, masih sama pendeknya. "Lo nggak ngasih tahu siapa-siapa soal pernikahan lo? Maksud gue, kalaupun lo nggak mau ngundang kita-kita, setidaknya lo bisa ngundang teman-teman St. X yang."

 "Gue nggak mau ngerepotin kalian. Kita nikah di Bangkok. Pestanya sederhana banget. Yang datang hanya kenalan gue, sebagian besar keluarga Mae."

"Gue mau datang. Sayangnya gue nggak tahu."

Merwin tidak akan menyiksaku dengan rasa bersalah. "Gue nggak kepikiran."

Merwin meneguk anggurnya lagi, kelihatan kecewa.

THE BACHELORS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang