Tiga Puluh

294 41 2
                                    


Sejauh ini semuanya tampak baik-baik saja.

Aku mengamati Monique masih mondar-mandir sambil memegang clipboard. Dia kelihatan lebih tenang sekarang, dibandingkan sebelum kami berangkat ke gereja untuk pemberkatan. Jas yang disiapkan untuk Merwin agak sempit, tapi masih muat dipakainya. Raka membawa jasnya sendiri, yang ternyata mirip dengan yang dikenakan dengan partner-nya, Gilang. Kami sudah mengenal Gilang karena Raka sudah mengenalkannya pada kami. Jas itu punya sulaman motif batik dari benang emas yang sangat glamor.

Acara di gereja berlangsung khidmat. Selain ibu mertua baruku yang menangis berlebihan, semuanya bisa sesuai rencana. Penata rias kami sudah mewanti-wanti Ella agar tidak menangis, karena air mata adalah musuh terbesar riasan wajah. Calon istriku itu berhasil menahan diri. Matanya tampak berkaca-kaca saat kami bersujud meminta maaf di depan kedua orangtua masing-masing, tetapi dia tidak menangis. Aku bisa merasakan tatapan mengancam dari si penata rias yang menancap di punggung kami. Om Robert yang menggantikan posisi almarhum Papi mampu berperan dengan baik. Beliau memang bisa diandalkan dalam acara seperti ini, apalagi mengingat ini keempat kalinya dia menjadi ayah dalam upacara pernikahan; tiga kali untuk anaknya sendiri dan hari ini untukku.

Sesi foto-foto bersama di depan gereja tidak terlalu lama. Alasannya karena tamu undangan yang kami batasi hanya lima puluh orang, mengingat sebagian temanku adalah teman Ella juga. Selain itu tidak semuanya hadir di acara pemberkatan, yang lain baru akan datang saat pesta di taman.

"Ben belum datang?" Ella berbisik padaku dalam perjalanan menuju taman yang letaknya di belakang gereja.

"Aku belum lihat dia," jawabku. Sejak prosesi dimulai, aku sudah mencari-cari Ben di antara para tamu, tapi dia belum juga kelihatan.

"Win, si Ben belum datang ya?" tanyaku pada Merwin.

Merwin berjinjit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Dari pengamatan gue, dia memang belum muncul Jo. Apa lo mau gue tanyain ke si Monique?"

Ella meremas lenganku dan menggeleng kecil.

"Jangan, Win," cegahku. "Nanti si Monique tambah panik." Sebagai ketua panitia penyelenggara pesta, Monique telah bekerja dengan sangat baik sehingga acara ini bisa berjalan dengan lancar. Hanya satu kekurangannya—dan bagiku ini cukup krusial: gadis itu terlalu cepat menjadi panik.

"Ben pasti datang," kata Raka, mencoba menenangkanku. Gilang bertanya padanya soal siapa itu. Ben dan Raka menjelaskan pada pria itu soal hubungan kami.

"Dia nggak konfirmasi ke Monique, kan?" tanya Ella.

Aku mengangguk mengiyakan. Bisa jadi Ben tidak datang sama sekali. Dari Facebook kulihat dia sudah membaca pesanku, hanya saja aku tidak tahu apa dia tertarik untuk datang atau tidak.

Hari sudah senja, sebentar lagi akan gelap. Kami akhirnya sampai. Taman itu didekorasi dengan nuansa serba putih dan minimalis; mulai dari bunga hingga peralatan makannya. Entah dari mana Monique menyiapkan semua ini, tapi hasilnya menakjubkan.

Lampu-lampu mulai dinyalakan, menambah keajaiban tempat resepsi pernikahan kami. Remasan Ella di lenganku menguat, menandakan dia juga terpukau. Bella, Prisil, Raka, dan Merwin yang bertugas sebagai pengapit pengantin sudah bersiap di sisi kiri dan kanan jalan yang membelah taman itu, menuju sebuah panggung kecil yang cantik. Pengeras suara mulai memutar lagu jaz "You Belong To Me," yang dinyanyikan Annie Lennox.

Raka melotot kepadaku dan mengedik.

Oh, apa aku harus berjalan sekarang?

Senyum Ella menipis, pertanda dia tidak senang. Aku langsung menarik tangannya dan mulai menapaki jalan menuju panggung. Seorang fotografer mondar-mandir dengan sibuk, cahaya lampu kilatnya menari-nari di sekeliling taman, seolah ikut bergembira dengan pernikahanku. Ella menebar senyumnya yang menawan serta melambai kepada para undangan. Aku memutuskan untuk mengikutinya.

THE BACHELORS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang