Empat Belas

323 44 1
                                    


Pesan itu terkirim tepat ketika Merwin mematikan mesin Honda HRV-nya di parkiran. Perasaanku mulai tenang.

"Gimana Jo?" tanya Merwin.

"Nggak apa-apa, katanya dia nunggu aja."

"Benar," Merwin mengamini. "Lagian lo parah banget sih bisa lupa kalau mau nge-date!"

"Bukan nge-date. Cuma dinner bareng." Aku betul-betul lupa kalau hari ini sudah mengajaknya makan malam. Nindy ternyata suka masakan Jepang. Karena saking bersemangat akan menjemput Raka dan pacar barunya malam ini di bandara, aku malah melupakan janjiku pada Nindy.

"Jam berapa pesawatnya landing?" Merwin membuka pintu mobil, bersiap keluar.

"Eh, tunggu Win. Lo tunggu di mobil aja. Biar gue yang ngejemput Raka."

Merwin berhenti dan mengernyit. "Maksud lo?"

Kuamati Merwin dengan teliti. Dia kelihatan serius. "Bukan begitu, Win. Masa lo lupa kejadian waktu itu di Terminal 3?"

"Kejadian apa sih?"

Apa Merwin betul-betul lupa? "Waktu itu lo sempat ribut sama petugas bandara karena lo berniat masuk ke area check-in padahal lo nggak punya tiket..."

"Oh, yang itu," jawab Merwin santai. Reaksinya mengherankanku. "Bukan nggak punya tiket Jo. Tiketnya di sekretaris gue dan dia lupa. Terus paspor gue ternyata keselip di ransel yang waktu itu lo pinjam buat jalan-jalan ke Jogja."

Aku tak pernah bertanya pada sekretaris Merwin soal itu. Aku jadi ragu.

"Waktu itu lo mau ke Roma."

"Yes. Buat ketemu Claudia."

Aku diam saja. Lalu selanjutnya apa? Kuamati Merwin membuka pintu mobil sekali lagi dan melompat keluar. Aku mengikutinya, sambil berdoa dalam hati supaya Merwin tidak berulah lagi. Sahabatku itu seperti granat. Jika terkena guncangan kecil saja, dia akan meledak.

"Win, dagu lo nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa."

Dagu Merwin sobek. Menurut ceritanya, dia berkelahi dengan kenek Kopaja yang menyalib mobilnya tadi siang. Kebenaran ceritanya amat kuragukan. Sahabatku itu pernah mabuk dan terpeleset di parkiran hingga lengannya terpuntir. Merwin membiarkan luka itu menganga di dagunya, tanpa mengobatinya sama sekali. Mungkin dia menganggap luka itu keren.

Kami tiba tepat waktu. Jadwal di papan informasi mengabarkan bahwa pesawat yang ditumpangi Raka sudah mendarat lima menit yang lalu. Ini artinya Raka sudah berada di gedung terminal.

Kami menunggu di depan pintu keluar. Serombongan penumpang keluar dari pintu itu, tampak letih dan mengantuk. Tapi tak ada Raka di antara meraka. Kuawasi Merwin dengan sigap lewat sudut mataku, mengamati reaksinya. Dia kelihatan baik-baik saja dan sejujurnya, cukup garang dengan luka di dagunya itu.

Sepuluh menit berlalu.

"HOI!"

Aku terlonjak akibat kemplangan dadakan di pundakku itu. Merwin terbahak. Raka berdiri di situ dalam setelan kemeja yang menurutku sangat flamboyan, ditemani sesosok tinggi berotot yang... aku tidak tahu siapa pria itu.

"Jadi ini Adrian," kata Raka. Dia pasti menyadari perubahan raut wajahku. "Adrian, ini Jojo dan Merwin. Dua-duanya..."

"Sahabat sejati lo?" sambung Merwin.

THE BACHELORS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang