Melted 9

806 44 0
                                    


PART 9

Shilla berjalan gontai memasuki angkot Bang Boris.

"Eh, Zhilla. Kenapa muka kau murung begitu? Macam orang putus cinta," komentar Bang Boris dengan logat Bataknya. Shilla menarik kedua ujung bibirnya, tersenyum tipis.

"Aku nggak papa kok Bang. Lagian aku kan jomblo, huhuhu." Jawab Shilla sambil pura-pura menangis. Bang Boris agak bergidik ngeri melihat tampang Shilla kini.

"Zudahlah, jangan sok sok mellow lah kau. Tampang kau tak enak kali dilihat. Nanti tak ada yang mau naik angkotku lah." Cibir Bang Boris, membuat Shilla mengerucutkan bibir.

"eh, ngomong-ngomong mana kawan kau? Si Ify sama Alvin?" tanya bang Boris heran. Shilla mengangkat sebelah alisnya.

"Kepo kali kau Bang," balas Shilla dengan nada sok-sok Batak. Bang Boris mengibaskan handuk kecilnya di muka Shilla. Shilla terkikik geli sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Udahlah bang. Buruan jalan, keburu sore nih," protes Shilla. Bang Boris menggeleng.

"Aku antar kau sendirian. Kau pikir ini taksi, Zhilla?" Shilla manyun lagi.

"Apa Ify dan Alvin pacaran, Zhill? Jadi, kau sekarang ditinggalkan pulang sendiri," tambah Bang Boris membuat Shilla makin manyun.

"Siapa bilang aku pacaran dengan Ify, bang? Kau kan tahu juga aku ni suka Shilla," suara itu... Alvin.

"Ah, yang benar?" Bang Boris tampak tak percaya.

"Jangan percaya, bang. Alvin emang suka gombal-gombal nggak jelas. Nggak usah didengerin," oceh Shilla. Bang Boris hanya mengangguk-angguk lalu masuk ke angkotnya.

"Penumpangnya dua, nggak apa-apa nih jalan?" tanya Alvin ragu. Bang Boris menggeleng.

"Tak apa lah. Kalian kan pacaran," sahut Bang Boris asal membuat muka Shilla dan Alvin sama merahnya.

[]

Sivia memulai harinya seperti biasa. Mengucilkan diri dari persahabatan masa SMA. Ia cuma tidak ingin sakit lagi. Ia mengingat masa lalunya. Rasa bersalahnya itu muncul lagi. Harusnya ia saja yang terkucil, tapi ia malah menyeret Juniel. Ah, Ya Tuhan! Keringat dingin membasahi dahi Sivia, rasa takut dan rasa bersalah itu mencekamnya lagi.

"Sivia, you okay?" tanya juniel panik.

"Sivia, I've told you before. Don't be sorry." Juniel mengelus puncak kepala Sivia. Ia tahu, gadis itu pasti tak sengaja mengingat masa lalunya.

"Sivia." Lirih Juniel lagi. Tapi gadis berambut pendek itu tetap diam. Malah ia rasa gadis itu diam-diam menangis.

***

Kisah klasik itu tak begitu indah. Bukan masa kecil yang selalu ia rindukan, justru sangat ingin ia hilangkan.

Sivia memainkan Barbienya dengan riang. Itu Barbie yang istimewa baginya, bagaimana tidak? Itu hadiah karena ia mendapat ranking satu lagi. Gadis itu berdialog dengan Barbienya seolah mainan itu benar-benar hidup. Tanpa ia sadari, ada gadis cilik lain yang memperhatikannya dari kejauhan.

"Apa aku boleh ikut main?" tanya gadis cilik itu sopan. Sivia sejenak berpaling dari Barbienya memandang ragu pada gadis itu. Lalu ia mengangguk.

MeltedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang