Sekarang, setelah Jauza meminta Damon untuk bicara dengannya, Damon mengajak Jauza pergi ke suatu tempat. Katanya satu-satunya tempat paling istimewa di—kastil—tempat tinggalnya. Lorong demi lorong, belokan demi belokan, 'hufh... ternyata tempatnya jauh juga, kapan sampainya?' Keluh Jauza dalam hatinya.
"Sebentar lagi sampai," ucap Damon secara tiba-tiba, seperti tahu apa yang ada difikiran Jauza.
Jauza menatap Damon penuh dengan kewaspadaan. 'Oh tentu saja, diakan bisa memasuki fikiran seseorang.' "Hei! Jangan memasuki fikiranku tanpa izin dariku." Peringat Jauza.
"Memangnya siapa yang perlu izin darimu?" Walaupun tidak terdengar seperti ledekan, tetap saja Jauza tahu jika Damon sedang meledeknya.
"Hufh, sudahlah itu tidak penting." Jauza mengalah, dia merasa ini bukan waktunya untuk membucarakan hal sepele seperti tadi. "Jadi, seberapa jauh lagi?"
"Sedikit lagi, hanya tinggal satu belokan lagi di depan sana kemudian di akhir sana akan ada pintu." Jawab Damon.
Memang benar setelah satu belokan kearah kanan di ujung sana ada pintu, tidak terlalu besar dan itu terlihat seperti pintu biasa tapi terasa sangat istimewa. Damon membukanya, kemudian dia mempersilahkan Jauza masuk lebih dulu setelah itu barulah dia masuk dan menutup pintu kembali.
Jauza melihat sekelilingnya dengan pandangan terpana—tempat yang sangat indah—meskipun memang kurang cahaya, walaupun diatas sana tidak memakai atap tapi tetap saja. Dinding-dinding batu ini dipenuhi dengan tanaman rambat. Ditengah-tengah ruangan ada pohon mawar yang sudah tumbuh dengan sangat besar, bunga-bunga mawarnyapun terihat sangat segar dan tumbuh dengan baik.
"Pohon mawar ini sudah hidup selama berapa tahun? Pohon mawar ini besar sekali."
Damon memetik salah satu bunga mawar lalu memberikannya kepada Jauza dan diterima dengan senang hati. "Entahlah aku tidak tahu, yang pasti pohon mawar ini sudah ada sebelum aku lahir." Jauza mengangguk mendengarnya, "dan ini pohon satu-satunya yang berbunga disini selain bunga lili merah," tambah Damon.
"Jadi, bisa kita mulai?" Tanya Jauza dengan hati-hati.
Damon mengangguk tapi tidak mengeluarkan satu patah katapun, dia malah berjalan begitu saja melewati Jauza. "Hei kau mau kemana?"
"Ikuti saja aku."
.....,,.....
"Bagaimana, apa ada kabar dari Jauza?"
"Tidak ada."
"Hufh... begitu ya? Aku sangat khawatir padanya."
"Aku juga, tapi sekarang aku sudah tidak terlalu mengkhawatirkannya. Aku percaya padanya, dia pasti bisa."
"Aku juga," Zeno menepuk pundak Arzachel dengan bersahat. "Wah ini sebuah kemajuan, Aquila bilang kau selalu bersikap tidak sabaran semenjak Jauza pergi. Sekarang kau jadi lebih tenang, baguslah." Zeno tersenyum tulus untuk Arzachel.
"Terimakasih, aku bisa sabar karena pada akhirnya aku sadar jikalau Jauza tidak bisa melakukannya dia tidak akan ada disini. Mungkin saja orang lain yang akan muncul." Arzachel membalas senyuman Zeno dengan sama tulusnya. "Oh iya, sudah lama kita tidak sedekat ini. Dulu sebelum kamu keluar kerajaan kita sering berkuda bersama."
"Iya aku masih ingat, dan bagaimana dengan penyamaranmu itu. Aku sudah lama tidak mendengar pahlawan keren yang sangat baik hati tidak beraksi. Sepertinya obrolan tentang itu sudah mereda dikalangan masyarakat."
"Kau juga tahu, disini kita memiliki banyak masalah jadi aku tidak sempat untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti dulu." Kepala Arzachel tertunduk sejenak sambail mengambil nafas segar sebanyak-banyaknya. "Aku sangat rindu saat-saat dimana aku bisa bebas. Kalau bisa aku ingin hidup seperti orang biasa saja, tidak perlu mengurusi urusan-urusan kerajaan yang melelahkan dan tidak perlu menghadapi kejadian-kejadian tidak terduga seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASSASSIN
Fantasy"Kau selalalu meremehkanku. Kalau kau kesini, kenapa tidak sekalian saja kau yang melakukannya Onyx ?" Kata gadis itu sinis. "Itu tugasmu, kenapa aku harus melakukannya? Kau tau, keluarga Redfang adalah pembunuh murni dan tidak terkalahkan. Aku hany...