Aku dan Perasaanku
Perihnya yang kurasa
Saatku tak bisa memiliki senyummu
Senyum yang selalu melintas dengan indahnya
Namun selalu pergi dan berlaluAku bagaikan malam yang tak berbintang
Bagai malam yang tak bercahaya
Langit lebar membentang
Namun ku tak sanggup meneranginyaJika kau tahu perasaanku
Akankah kau akan mengerti ?
Aku hanya diam dan membisu
Yang selamanya akan tetap begini(Kania Chairunnisa)
Di atas tempat tidur, aku membaca salah satu puisi yang kutulis di diary-ku. Puisi ungkapan hatiku untuk Iqbal. Aku sangat suka membuat puisi. Sudah puluhan bahkan mungkin sudah sampai seratus lebih puisi yang kutuliskan.
Terkadang kubuka dan kubaca kembali puisi-puisi yang kusukai. Aku selalu bersemangat saat membaca puisi tentang ayah, ibu, dan kedua adikku. Namun saat membaca puisi tentang Iqbal, saat itu pula aku merasa sedih. Rasa yang kupendam sejak lama sampai sekarang belum juga kuakui kepada siapa pun, terlebih lagi kepada Iqbal sendiri.
Satu tetes bening menitik dari salah satu pelupuk mataku, lalu jatuh ke lembaran diary-ku.
Sebenarnya sempat timbul keinginan untuk mengungkapkannya, tapi aku memikirkan apa reaksinya nanti setelah tahu perasaanku. Aku takut Iqbal akan membenciku?
Aah…aku belum siap jika harus dibenci oleh seseorang yang sangat kuharapkan.
“Assalamualaikum, Kania."
"Asyik, itu suara Bella!" seruku di dalam hati.
Bella datang bersama teman-teman kampusku. Kuhitung ada dua belas orang. Bella memelukku lalu memegang keningku dengan telapak tangannya.
“Kan, bagaimana keadaanmu?” tanya Erga. Teman-teman lain menatapku.
“Alhamdulillah sudah baik. Kabar kamu gimana, Ga? Teman-teman?" tanyaku sembari tersenyum menatap satu per satu temanku.
“Kami juga baik,” jawab Erga yang disambut anggukan kepala oleh semuanya.
Novie mendekati tempat tidurku. “Saat Bella bilang kalau kamu diopname, kami khawatir dengan kondisi kamu, Kania."
"Terima kasih ya semua,"
“Tubuhmu sekarang lebih kurus Kania, apa rumah sakit gak ngasih kamu makan?” tanya Taufik bercanda.
“Dikasih dong, tapi makanannya hambar jadi aku hanya makan sedikit.”
“Ya udah, makan ini aja gih. Kami bawain melon kesukaanmu nih. Dimakan ya, entar kusuapin deh.” sambung Fitri sambil mengangkat melon yang sudah dipotong-potong.
"Ah, makasih ya!" seruku kegirangan.
“Say, Iqbal dan Clara sebentar lagi sampai. Mereka masih di parkiran.” jelas Bella yang membuatku tertegun.
Deg! Ucapan Bella membuatku tiba-tiba tidak bersemangat. Kenapa mereka datang bersama? Bukankah mereka sudah putus?
Eh, aku harus bagaimana jika Iqbal sudah sampai di sini nanti? Kalau saja Iqbal datang sendiri, tentu aku bahagia.
“Kania, bagaimana keadaanmu? Sudah sehat 'kan? Iqbal memberitahuku kalau kamu sedang dirawat di rumah sakit, jadi kuajak dia untuk menjengukmu...." terang Clara begitu tiba di ruang rawatku.
“Sst...Sayang, “ Iqbal berbisik ke Clara agar Clara tidak melanjutkan kalimatnya.
Aku cemburu. Cemburu dengan kemesraan mereka. Tapi buat apa sih Kania kamu cemburu. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu tak berhak untuk cemburu. Ingat itu. Kenyataan ini haruslah kamu hadapi, inilah risiko mencintai, Kani. Aku bergumam dalam hatiku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY DAYS
Teen FictionAku harus menghadapi sebuah kenyataan buruk di dalam hidupku setelah kuketahui bahwa penyakit kanker hati bersarang di tubuhku. Penyakit inilah yang membuat hari-hari indahku berubah kelam. Belum lagi aku harus menghadapi kenyataan jika orang tua da...