Di mana Temanku, Penyimpan Rahasiaku?

3.7K 155 5
                                    

Selesai beres-beres rumah, aku teringat sesuatu. Ah, aku lupa! Seisi rumah sudah kukelilingi, tapi aku tidak menemukannya. Aduh, bagaimana kalau ditemukan orang lain. Bisa-bisa rahasiaku terbongkar.

Aku berusaha untuk mengingat kembali di mana kuletakkan dia terakhir kalinya. Semalam diary-ku itu kuletakkan di atas meja kamarku. Herannya pagi ini dia sudah lenyap dari sana. Sungguh aku sangat cemas sekarang.

Bagaimana tidak, isi diary itu semua tentang perasaanku pada Iqbal yang tak ada satu pun orang lain mengetahuinya. Apalagi di dalam diary itu juga aku menuliskan cerita keseharianku dalam berjuang untuk tetap bertahan, walau penyakitku ini terus menghantui kehidupanku.

Kunci diary-ku sudah kugenggam. Semoga dia hanya terjatuh atau terselip dan tak ada orang yang menemukannya. Aku duduk di kursi karena merasa lelah. Kepalaku pusing dan mulai terasa lagi perih di bagian hatiku.

Ternyata aku lupa makan obat karena sibuk mencari 'teman'ku yang kini entah di mana. Aku langsung menuju ke kamar, mengambil obatku, lalu menelannya. Alhamdulillah, perih di bagian hatiku berangsur hilang namun pusing di kepala masih terasa. Kubaringkan tubuhku di atas kasur, memejamkan mata sambil merapal doa semampuku.

Aku terbangun ketika mendengar suara Mia dan Ridho lagi bercanda dengan suara yang besar. Ternyata mereka lagi bermain games di laptopku sambil berteriak kegirangan.

“Semangat banget nih adik-adikku, suara kalian mengalahkan suara azan di masjid loh,” candaku pada mereka.

“Eh, Mbak Kania sudah bangun. Maaf ya Mbak kami gak bilang-bilang dulu pinjam laptopnya, soalnya tadi Mbak Kania tidur,” jelas Mia merasa bersalah.

“Gak apa-apa kok. Ayo, kita shalat ashar dulu, ntar mainnya dilanjutkan,” balasku.

Mereka menganggukkan kepala.

***

Aku mencari rok hitamku dalam lemari. Sore ini sekitar pukul lima, Bella akan menjemputku untuk jalan-jalan menggunakan motor barunya. Rencana Bella mau mengajakku ke Benteng Kuto Besak-salah satu tempat wisata di kotaku tercinta ini.

Kesejukan angin yang berembus, ombak kecil yang beriak di Sungai Musi, dan Jembatan Ampera yang berdiri kokoh, semuanya telah kubayangkan.  Apalagi bersama Bella, tentunya kami akan asyik sekali bersantai sambil berbagi cerita hingga matahari mulai terbenam.

Terlihat benda berwarna pink menyembul dari balik salah satu bajuku. Ternyata di sini diary yang ku cari dari pagi tadi. Alhamdulillah, akhirnya bisa kutemukan. Si Pink, teman curhatku, penjaga rahasiaku itu kupeluk dan kutimang-timang dengan girang.

“Wah ramai banget di sini, Bel.” kataku pada Bella setelah kami sampai di Benteng Kuto Besak.

Mataku menyapu di sekelilingku- melihat banyak orang dengan berbagai macam kegiatan mereka.

“Ya iyalah, Kan. Ini malam minggu tau. Tuh lihat, yang ke sini itu pada ngajakin pasangannya!“ ujar Bella sambil menarik tanganku mengajak duduk di pinggiran menghadap Sungai Musi.

Kupandangi dengan saksama. Beberapa ada yang sudah berubah karena sekitar dua bulanan aku tak pernah kesini. BKB-singkatan dari Benteng Kuto Besak, saat ini lebih bersih.

Dari sini, aku bisa melihat Sungai Musi dan Jembatan Ampera dengan jelas . Perahu yang disebut ”ketek” banyak berada di pinggiran Sungai Musi menunggu penumpang yang ingin menjelajahi Sungai Musi atau ingin berkunjung ke Pulau Kemaro.

“Kan, kenapa ngelamun?” Bella menepuk pundakku.

“Aku lagi nikmatin angin, Bel. Sejuk ya.” jawabku sekenanya.

Sebenarnya aku lagi memikirkan sesuatu. Aku ingin memberitahukan ini pada Bella, sahabat yang paling kusayangi. Inilah saat yang tepat kurasa.

“Bella, aku ingin memberitahu sesuatu. Tapi, janji ya kamu tak akan sedih mendengarnya.”

“Apa sih? Kenapa pakai janji segala? Kamu mau terjun ke Sungai Musi ya. Silakan! Aku gak sedih kok. Hahaha, ” ucap Kania bercanda.

Aku hanya menggeleng dengan mimik wajah serius. Mata Bella menatapku heran.

“Maaf deh. Aku bercanda. Ada apa emangnya? cerita aja, Kan.”

“Aku sebenarnya menderita kanker hati stadium akhir, Bel. Maaf aku pernah bohong bilang ke kamu kalau sakit aku itu gejala kanker hati stadium awal."

Bella menatap lekat padaku.

"Setiap hari kerjaanku menghitung sisa waktuku. Setiap pagi menjelang, saat aku bangun dari tidurku, seolah aku harus menyiapkan perban untuk sebuah lukaku, Bel. Aku divonis dokter hanya bisa bertahan hidup satu bulan jika kondisi kesehatan hatiku tak membaik. Aku tahu Bel, hidup dan mati di tangan Allah. Hanya Dia yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Tapi aku tak bisa menepiskan perasaan khawatirku pada vonis sang dokter."

Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan.

“Kan, kenapa kamu baru cerita sekarang?" Bella memelukku. Kurasakan tetesan air mata Bella di tengkukku. Dia pun menangis.

Bella melepaskan pelukannya. Dengan cepat dihapusnya air mata yang membasahi pipinya.

"Kamu yang tabah. Kania yang aku kenal adalah seorang wanita kuat! Aku tahu itu. Kamu pasti sembuh, Sahabatku. Vonis dokter itu tidak benar! Seorang Kania tak akan kalah dengan penyakit!” Bella menyemangatiku dengan suaranya yang bergetar.

“Bel, kamu udah janji gak akan sedih tapi kenapa sekarang kamu menangis?" Bella hanya menggelengkan kepala dan memelukku lagi. Erat sekali. Apa aku akan segera berpisah dengan sahabat terbaikku ini?

***

Malam ini, aku menuliskan puisi dan kejadian hari ini dalam diary-ku. Setelah itu kubuka laptopku untuk melanjutkan ceritaku di hari ke-11. Ya, aku menuliskan apa yang kualami sejak vonis dokter tentang usia hidupku.

“Goodbye My Days” judul novel yang berisi kisah nyataku. Novel ini hanya untukku, sekadar sebagai sebuah hiburan karena aku suka menulis. Sekali lagi kukatakan kalau aku tak ingin ada seorang pun yang tahu tentang perasaanku pada Iqbal. Aku tak ingin yang lain tahu tentang penderitaanku. Aku juga tak ingin yang lain tahu kalau orang tuaku sekarang bukanlah orang tua kandungku.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang