Hari ke-16 (Penderitaan Adikku, Mia)

3.5K 137 2
                                    

Bahagianya pagi ini. Tahu kenapa? Bella dan teman-temanku datang menjenguk. Tapi yang membuat aku lebih bahagia, ternyata Arief juga datang dan tidak bersama Clara seperti biasanya. Aku bisa melirik dia diam-diam. Makin cakep dan manis saja cowok ini, kata hati kecilku.
“Sepertinya kamu hobi ya selalu masuk rumah sakit. Enak?” pernyataan Arief tiba-tiba. Aku tak tahu itu merupakan candaan atau malah ejekan.
“Idih Arief, Kania masuk rumah sakit itu bukan hobi. Keadaan yang memaksa dia harus dirawat disini lagi.” jawab Bella membelaku.
“Kata Kania cuma gejala kanker yang gak parah. Tapi kenapa jadi bolak-balik rumah sakit?” tanya Arief penuh selidik dengan nada dingin.
“Iya Rief, Cuma gejala saja. Gejalanya yang berulang, hehe…” balasku bercanda.
“Penyakit itu bukan candaan, gak da yang lucu kok. Lain kali harus benar-benar jaga kesehatan!” Arief bicara dengan nada yang terkesan marah. Aku jadi menyesal telah bicara seperti tadi. Heran kenapa bisa sikap Arief seperti itu.
“Sudah-sudah! Kok malah jadi marah-marahan seperti ini. Lebih baik kita bahas ujian kompre yang tinggal dua hari lagi. Setuju?” ujar Fitri menengahi kami.
Aku baru teringat jika besok lusa harus mengikuti ujian kompre. Aku belum sama sekali belajar. Malam ini saja aku akan minta tolong Mia atau Ridho membawa bahan-bahan ujian dan akan ku pelajari mulai malam nanti.
“Waduh, aku lupa loh, Fit kalau lusa entar kita ujian kompre. Belum sama sekali belajar.” kataku dengan cemas.
“Tak perlu khawatir, Kan. Dirimu itu mahasiswi yang cerdas. Tanpa belajar, aku yakin kamu bisa.” kata Bella menanggapi pernyataanku.
“Setuju banget dengan Bella. Kalau seperti kami ini nah baru butuh belajar dulu sebelum ujian.” lanjut Fitri.
“Kita berdoa saja biar lusa kita semua sukses ujian kompre dan lulus dengan nilai minimal B. Amiin.” Aga yang dari tadi diam sekarang angkat bicara.
Arief, Taufik, Anggoro, Sari, Rozni, Kiki, Novita, Fitri, Bella dan aku juga bersama-sama menanggapi doa Aga.
“Amiin…”
Beberapa saat kemudian, ibu memasuki kamarku tergesa-gesa. Tersenyum dengan tema-temanku dan kemudian mendekatiku.
“Kania, Mia kecelakaan. Sekarang dia lagi diperiksa. Ibu tak tahu harus bagaimana. Ibu melihat Mia dibawa ke rumah sakit ini dengan badan penuh darah.” ibu bercerita sambil menangis.
Bagai merasakan disiram air panas saat aku mengetahui kabar tentang Mia, adikku. Ya Allah, musibah ini sangat memukul diriku. Aku takut terjadi apa-apa pada adikku tersayang. Tolonglah dia Ya Allah, aku memohon pada-Mu.
***
Sudah pukul setengah 4 dan sebentar lagi azan shalat ashar. Aku sudah ambil air wudhu sendiri di kamar mandi. Biasanya aku ditemani, tapi saat ini kamar aku sepi. Ayah, ibu, Ridho dan tante Aisyah sedang melihat keadaan Mia. Mereka belum juga datang kesini meberi kabar padaku. Aku akan segera shalat dan mendoakan untuk kebaikan Mia yang saat ini aku yakin pasti lagi menderita karena kecelakaan yang menimpa dirinya.
“Ya Allah, Ya Tuhanku. Pemilik jiwa dan ragaku. Segala puji bagi-Mu. Hanya kepada-Mu hamba meminta dan berserah diri. Sebenarnya hamba malu harus terus-terusan meminta pada-Mu Ya Allah. Sudah terlalu banyak hal yang hamba minta. Kali ini hamba hanya minta untuk kesembuhan Mia. hamba sangat menyayanginya. Hamba mohon pada-Mu, tolonglah Mia, selamatkan Mia Ya Allah. Biarkan hamba saja yang merasakan sakit. Mia jangan Ya Allah. hamba rela jika hamba tidak bisa sembuh, yang penting tidak terjadi apa-apa dengan adikku. Amiin Ya Robbal Alamiin.” doaku dengan berlinang airmata.
Sekarang sudah pukul 5 sore, Aku yang lagi duduk di kursi menghadap jendela yang bisa melihat keadaan di luar dan bisa melihat hamparan langit. Awan mulai banyak beriringan di langit sana. Cuaca sedikit mendung. Apa ini ada pertanda tak baik? Semoga tidak ada kaitannya dengan keadaan Mia. Sampai sekarang aku belum dapat kabar apa-apa, belum ada yang mendatangiku. Aku cemas dan khawatir. Dengan langkah yang sangat pelan aku kembali ke tempat tidurku karena merasakan hatiku yang mulai terasa pedih lagi. Kepala sangat pusing. Aku ingat kata dokter Rusdi. Jika aku terlalu banyak pikiran, inilah yang kan terjadi padaku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tenang.
Ibu dan Ridho datang. Aku langsung duduk dari dan menanyakan tentang keadaan Mia. Raut wajah ibu menggambarkan kalau dia lagi begitu sedih. Ridho pun terlihat seperti habis menangis. Dia kembali keluar setelah mengambil sesuatu di lemari.
“Bagaimana keadaan Mia, Bu? Apa yang terjadi pada Mia, dia gak apa-apa kan?
“Tadi Mia habis dioperasi. Maaf ibu baru datang melihatmu. Kamu sudah makan, Nak?”
“Udah, Bu. Mia bagaimana keadaannya?” aku kembali bertanya pada ibu.
Ibu duduk mendekatiku dan membelai wajahku. Aku rasakan tangannya yang hangat. Airmatanya mengalir lagi. Dengan suara tertahan ibu menceritakan sepulang dari kampus, Mia dan teman-temannya akan menyebrang jalan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai anak SMA langsung menabrak. Mobil itu jalannya terlalu cepat dan tak sempat untuk mengerem saat mia melintas di depannya. Mia pun jatuh dan seketika pingsan, wajahnya membentur aspal. Kaki dan tangannya penuh luka. Telinga dan matanya mengeluarkan darah. Sungguh tragis kejadian yang menimpa adikku. Alhamdulillsh,ibu menjelaskan kalau kondisi Mia sudah baik dan sudah sadar sekarang. Tapi dia kehilangan fungsi kedua matanya untuk melihat. Dengan kata lain, Mia mengalami buta akibat kecelakaan yang menimpa dirinya.
Tangisku pecah. Ibu memelukku erat-erat menenangkan diriku.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang