Hari kedua dalam keadaan koma. Aku belum sadarkan diri, masih terbaring dengan selang infus di hidung dan pergelangan tanganku. Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau aku akan segera sadar. Orang-orang di sekitarku, selalu setia menjaga dan mendoakanku. Terutama kedua orangtuaku, mereka tak kenal lelah selalu berada di sisiku. Begitu pun dengan Arief, aku tak menyangka ternyata dia begitu perhatian padaku. Sikapnya yang begitu membuat rasa cinta ini makin besar padanya.
Sesaat aku merasakan badanku melayang, terbawa angin dan aku tiba di suatu tempat yang asing. Tempat yang sebelumnya belum pernah aku temui. Seperti berada di dalam ruangan kosong yang sangat luas. Tak ada benda apa pun di sini, yang terlihat hanyalah satu ruangan yang begitu luas tak ada ujungnya. Aku berlari mencari jalan keluar, berteriak memanggil orang-orang yang ingin ku mintai pertolongan membebaskan aku dari sini.
“Ayaaaaaaahhh…!”
“Ibuuuuuuuuuu…!”
“Miaaaaaaaaaaa…!”
“Ridhoooooooo…!”
Tak ada yang menyahut panggilanku. Aku mencoba memanggil lagi. Semoga kali ini ada yang mendengarku.
“Bellaaaaaaaaaa…!”
“Ariiiiiiiiiieeefff…!”
Mereka berdua pun tak ada yang mendengar panggilanku. Apakah aku akan berada selamanya di sini. Aku merasa takut. Aku terduduk di lantai dan menundukkan wajahku, air mata menetes perlahan, cepat-cepat ku hapus karena aku sudah berjanji untuk tidak menangis dalam kondisi apa pun. Aku yakin dengan pertolongan Allah aku bisa keluar dari tempat ini. Setelah aku menyelesaikan doaku, tiba-tiba tubuhku kembali terbang melayang.
Kini aku berada di sebuah tempat seperti padang rumput yang juga sangat luas. Tidak ada tumbuhan lain seperti bunga atau pohon, melainkan hanya rerumputan. Terik matahari yang cukup panas menerpa wajahku. Aku berlari mencari tempat yang agak teduh tak terkena terik matahari. Aku duduk beralaskan rumput-rumput nan hijau. Aku mencoba kembali memanggil nama orang-orang yang ku kenal. Tapi sama saja seperti yang tadi, mereka tak ada yang membalas dan mendengar panggilanku. Aku duduk termenung, sebenarnya apa yang terjadi padaku saat ini. Tak ada rasa sakit yang ku rasakan walau sejak tadi aku banyak bergerak bahkan berlari. Aku meraba perut dan hatiku, ku tekan perlahan. Namun memang benar aku tak merasakan sakit sedikitpun. Apakah sekarang aku sudah sembuh? Hore! Aku sangat bahagia. Tapi, aku terdiam sejenak setelah aku berpikir lagi alangkah dengan cepatnya aku sembuh. Apa ini malah sebaliknya, aku sudah dipanggil Sang Pencipta? Sedari tadi tak ada seorang pun yang aku temui di sini. Apa dugaanku yang terakhir ini benar?
Aku memutuskan untuk berjalan menelusuri padang rumput yang amat luas ini. Siapa tahu aku akan mendapatkan petunjuk tentang keberadaanku sekarang. Kurang lebih satu jam aku berjalan dan mulai kelelahan, aku berhenti dan duduk sebentar untuk istirahat. Sepanjang perjalananku hanya rerumputan hijau yang aku lihat. Tak ada apapun selain itu yang dapat memberiku suatu petunjuk. Dari kejauhan di sebelah Timur, aku melihat sesuatu dan mendengarkan suara. Cukup keras hingga aku memutuskan untuk bangkit dari dudukku dan melihat lebih dekat apa yang terjadi di sana. Aku melihat seorang gadis manis seumuran dengan Mia adikku. Matanya juga buta dan dia sedang dituntun oleh kakak perempuan yang seumuran denganku. Mereka sedang bercakap-cakap sambil berjala beriringan dengan langkah yang cepat.
“Kakak, aku sangat ingin bisa melihat lagi. Apa benar kakak jadi memberikan mata kakak untuk aku?”
“Tentu, Dik. Kakak akan segera memberikan mata kakak. Kita harus cepat-cepat menemui kakek yang bisa memindahkan mata kakak ke kamu.”
“Makasih ya, Kak.”
Gadis yang seusia denganku itu langsung tersenyum bahagia melihat pancaran kebahagiaan dari raut wajah adiknya. Sesaat aku tercengag karena tiba-tiba muncul seorang kakek dengan pakaian serba putih di hadapan mereka. Telapak tangan kakek yang renta itu di hadapkan masing-masing pada dua gadis tadi. Tiba-tiba gadis yang seusia denganku tergeletak tak berdaya, jatuh di rerumputan hijau. Sang adik yang matanya sudah bisa melihat menangis melihat kakaknya.
“Kakakmu sudah pergi jauh. Itu adalah perjanjiannya bahwa dia merelakan nyawanya demi kesembuhan matamu. Doakan kakakmu ya!” kata kakek yang tiba-tiba langsung menghilang. Kedua gadis tadi juga menghilang. Aku terheran menyaksikan kejadian itu. Sangat tak bisa ku mengerti apa arti dari semua ini. Kembali aku melangkahkan kakiku menuju arah Timur. Meneruskan perjalananku dengan pikiran bingung berkecamuk dalam benakku. Sesekali aku berlari dan saat mulai terasa capek aku hanya berjalan perlahan. Rasanya sudah sangat jauk kakiku melangkah. Tapi, yang terlihat masih saja rerumputan hijau. Syukur sekarang udaranya mulai terasa sejuk. Angin semilir menerpa wajahku dan menerbangkan rambutku. Aku menatap langit yang biru dengan awan putih yang begitu indah dipandang. Aku tersenyum dan berkata, “Selamat datang awan putih. Semoga kau mau menemani kesendirianku di sini.”
Saat sedang asyik memandangi langit di atas sana, aku mendengar suara lagi dari arah Barat. Kali ini sangat jelas terlihat ada dua kelompok wanita yang sama-sama sangat cantik dan menawan seperti bidadari. Kelompok yang sebelah kiriku adalah kumpulan wanita dengan rambutnya yang panjang dan indah sedang bersedih dan menangis. Kelompok wanita sebelah kananku merupakan kumpulan wanita yang begitu menawan dengan jilbab yang melekat pada diri mereka masing-masing. Kelompok ini sangat berbahagia, tak ada kesedihan di raut wajah mereka. Aku penasaran dan mulai mendekati kelompok yang sedang menangis pilu.
“Maaf sebelumnya. Aku mau tanya kenapa kalian terlihat sangat bersedih? Padahal kalian sangat cantik sayang jika harus menangis.” tanyaku.
“Kami baru saja diberitahu jika kami tak boleh ikut mereka masuk ke dalam surga karena kami belum memakai jilbab seperti mereka. Kami sudah berusaha mencari jilbab itu, tapi tak kami temukan hingga sekarang,hiks…” balas salah satu wanita itu padaku sambil menunjuk kelompok wanita berjilbab yang sedang bercanda bahagia.
Aku tertunduk sebentar memikirkan sesuatu yang lagi-lagi membingungkan aku. Saat mendongakkan kembali wajahku, kedua kelompok wanita tadi telah menghilang. Aku makin tidak mengerti dengan semua kejadian ini. Dengan langkah gontai ku ayunkan kakiku untuk kembali berjalan mencoba menemukan jalan keluar dari padang rumput yang sangat luas ini. Sesampainya tepat di belahan tanah rumput aku berhenti. Aku mengamati belahan yang sepertinya memisahkan antara daerah padang rumput di sini dan padang rumput di sana. Sedang asyik-asyiknya menebarkan pandanganku ke padang rumput di sana, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku pelan. Aku menoleh dan sedikit terkejut melihat kakek yang pernah ku lihat bersama dua orang gadis yang sebaya denganku dan Mia.
“Cu, kenapa kau bisa kemari?” tanyanya sambil mengajakku untuk duduk dulu.
“Aku juga tak tahu, Kek. Sebenarnya aku sedang sakit dan di opname…” aku menceritakan tentang kehidupanku pada sang kakek termasuk tentang penyakitku. Kata-kata yang keluar dari mulutku mengalir lancar seolah tak ada beban saat aku bercerita termasuk soal Arief dan perasaanku padanya. Sungguh heran kenapa aku begitu terbuka pada kakek ini.
Sang kakek mengangguk-angguk mendengar penuturanku. Lalu dia mulai membuka suara, “Cu, sebenarnya sekarang kamu lagi berada di alam bawah sadarmu. Kamu sedang mengalami hal-hal yang sebenarnya telah kamu pikirkan sebelumnya. Ini merupakan jalan untukmu mengambil suatu keputusan. Setelah kamu tersadar dari koma, kamu akan mengerti dengan semua ini. Kakek hanya berpesan, setelah kamu kembali sebaiknya kamu mengambil keputusan sesuai kata hatimu. Kebaikan-kebaikan yang selama ini kamu lakukan akan dibalas Allah dengan segala pahala dan rahmat-Nya. Asal kamu menjadi orang yang telah memenuhi permintaan-Nya dan telah sempurna ibadahmu sesuai perintah Allah.”
Kakek terdiam sejenak dan melanjutkan, “Lakukan yang terbaik, Cu. Kamu sudah menjadi anak yang baik dan akan segera menemui kebahagianmu yang abadi. Jadilah wanita yang menjadi bagian dari kelompok sebelah kananmu. Kakek hanya bisa memberi nasihat seperti itu, selanjutnya hanya kamu yang bisa menentukan sendiri jalanmu. Sadarlah sekarang! Lakukanlah hal yang selagi kamu mampu untuk melakukannya! Sampai berjumpa lagi,”
“Kakeeeekkk…!” teriakku memanggil kakek yang tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Seketika itu badanku kembali terasa ringan dan melayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY DAYS
Teen FictionAku harus menghadapi sebuah kenyataan buruk di dalam hidupku setelah kuketahui bahwa penyakit kanker hati bersarang di tubuhku. Penyakit inilah yang membuat hari-hari indahku berubah kelam. Belum lagi aku harus menghadapi kenyataan jika orang tua da...