Suasana ceria di kampus membuatku sedikit bisa melupakan kesedihanku. Aku tak bisa menahan tawa ketika melihat tingkah kocak Erga dan Fikri. Belum lagi menyaksikan perdebatan antara Novie dan Fitri. Aku heran, pasti ada saja yang diributkan oleh kedua gadis 'ajaib' ini. Ajaib? Iya. Coba kalian bayangkan setiap bertemu, mereka berdua pasti saling ejek. Ujung-ujungnya Bella yang akan berteriak, lalu mereka pun akan diam.
"Lihat! Erga bisa niruin gaya Pak Imam yang jalannya kayak perempuan itu loh." ujar Fikri antusias Tangannya menarik lengan Erga agar berdiri.
"Harus dipraktekin di sini?" protes Erga, tapi dia tetap mempraktekkan cara jalan Pak Imam yang lucu.
Serentak kami pun tertawa.
Tawaku terhenti ketika kulihat Iqbal dan teman-temannya mendekati kami.
"Kenapa kalian pada ketawa, Bro?" tanya Rian bingung sembari menyenggol lengan Fikri.
"Kalau ada yang neyenengin, ajak-ajak dong!" lanjut Iqbal yang langsung mengambil tempat duduk di sebelahku.
Aduh! Aku jadi gugup.
"Kita lagi nontonin Erga niruin gaya jalan dosen favorit lo, Bal!" jawab Fikri bercanda.
Iqbal keheranan. "Siapa?"
Dengan kompak semuanya menjawab. "Pak Imam!" Lalu mereka tertawa.
Benarkah Pak Imam dosen favorit Iqbal? Aku bertanya dalam hati.
"Info dari mana? Dosen favoritku Pak Angga!"
"Terus kenapa lo add FB Pak Imam diam-diam kemarin?" tukas Rian.
"Itu ...."
Belum selesai kudengar Iqbal membela diri, aku langsung masuk ke kelas. Perutku mulai sakit lagi. Kutarik napas dalam-dalam dan kemudian kuembuskan perlahan. Aku pasti bisa menahan sakit ini karena sudah biasa kualami. Tak lebih dari lima menit biasanya akan hilang sendiri.
Beberapa menit saat aku sudah di dalam kelas, aku dikejutkan oleh kedatangan Iqbal menemuiku. Dia tersenyum lalu menggeser kursi ke samping kursiku.
"Kan, aku bisa minta tolong gak?"
Aku bingung harus menjawab apa. Tentu. Apa pun itu, aku pasti mau menolong lelaki yang kusayangi, jawabku dalam hati.
Aku mengangguk. Kini di bagian hatiku mulai terasa sakit juga. Namun menatap wajah Iqbal, rasa sakit ini seolah terlupakan.
"Em, begini. Misalnya nanti Clara nemuin kamu dan nanya-nanya tentang aku, tolong dijawab aja gak tau,"
"Oh, tentu. Emang aku gak tau apa-apa tentang kamu, Bal."
"Eh, iya juga ya. Tapi pokoknya walau pun kamu tau, misalnya aku lagi ada di mana, jangan dikasih tau. Oke?"
"Oke deh,"
"Makasih, Kania."
"Ya,"
Iqbal membawa langkahnya pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Ya Tuhan, aku rasanya tak percaya jika barusan Iqbal mengajakku bicara. Diam-diam kucubit tanganku. Ah, ini bukan mimpi. Hore!
"Tapi tunggu dulu, kenapa Iqbal bilang begitu? Kenapa harus ke aku? Bisa saja 'kan titip pesannya ke teman-teman dekatnya. Clara lebih mengenal teman-teman Iqbal, jadi pasti nanyanya ke teman-teman dekat Iqbal dong." ujarku bicara sendiri.
***
Kalian tahu tidak, hubungan Iqbal dan Clara ternyata sudah putus. Lebih kurang dua minggu dari perkenalanku dengan Clara waktu itu. Tapi jangan pernah berpikir aku bahagia dengan putusnya hubungan mereka. Sebab aku turut prihatin dengan kondisi Iqbal. Selepas putus dengan Clara, ia menjadi lebih pendiam dan murung. Aku tahu semuanya dari cerita Erga.
Kuambil buku harianku di dalam tas dan menuliskan sesuatu di sana.
Ya, aku merasa bahagia bisa bicara dengan seseorang yang istimewa bagiku. Semoga di hari-hari selanjutnya, aku bisa sering bicara dengannya.
Tuhan, berikan aku kesempatan untuk menyayanginya dan suatu saat rasa ini bisa kusampaikan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY DAYS
Novela JuvenilAku harus menghadapi sebuah kenyataan buruk di dalam hidupku setelah kuketahui bahwa penyakit kanker hati bersarang di tubuhku. Penyakit inilah yang membuat hari-hari indahku berubah kelam. Belum lagi aku harus menghadapi kenyataan jika orang tua da...