Pelajaran Berharga di Rumah Sakit

3.9K 183 2
                                    

Aku menelusuri jalan-jalan di rumah sakit sendirian. Sebenarnya aku ingin mengajak Bella atau Mia. Tapi aku masih belum siap apabila mereka mengetahui tentang penyakitku.

Sesampai di tempat pusat informasi, aku langsung bertanya kepada salah satu perawat yang lagi berjaga di sana.

“Selamat siang, Mbak. Ruang dokter Rusdi di mana ya?"

“Paling ujung lurus saja, lalu belok kiri.” jawab perawat itu ramah sambil menunjuk salah satu lorong di rumah sakit ini.

“Terima kasih.” kataku sambil memberi senyuman.

Sesampainya di ruangan dokter yang pernah menolongku waktu di klinik kampus beberapa hari yang lalu, aku langsung masuk dan menemui dokter Rusdi.

“Apa kabar, Kania? Sendirian ya?”

Alhamdulillah baik, Dok. Iya, Kania sendirian.”

“Jadi kamu tetap tidak akan memberitahu orang tuamu tentang penyakit yang kamu derita?”

Aku hanya mengangguk dan dokter Rusdi hanya tersenyum.

Dia mulai menasihatiku dan menceritakan tentang pasien-pasien kanker hati yang pernah ditolongnya. Ada yang berhasil ada juga yang tidak.

“Jadi kita akan melakukan pengobatan kemotrapi, Kania. Untuk  mengurangi efek toksis atau peracunan dari kemotrapi itu sendiri harus mengkonsumsi suplementasi vitamin B3 atau niasin.”

“Iya, Dokter."

***

Setelah keluar dari ruangan dokter Rusdi, aku belum berniat untuk pulang. Jadi kuputuskan untuk mengelilingi rumah sakit. Ternyata di halaman belakang rumah sakit yang hijau ini banyak berdiri pohon cemara dan bunga-bunga mawar kesukaanku.

Di sini juga banyak pasien yang sedang ditemani keluarga sambil berbincang-bincang. Aku tertarik dengan salah satu pasien perempuan yang kira-kira lebih muda beberapa tahun dariku. Dia terlihat sedang melamun sendirian. Aku mendekatinya.

“Hai, kenapa sendirian?“ sapaku padanya.

“Eh iya nih. Hari ini keluargaku tidak bisa ke sini.” katanya dengan senyum kaku.

“Oh gitu. Nama kamu siapa? Aku Kania. Kalau boleh, aku mau kok nemeni kamu di sini sebentar.” ujarku mengulurkan tangan pada gadis di depanku.

“Namaku Salsabila, Kak. Panggil saja Salsa. Aku senang sekali Kakak mau nemeni aku, jadinya aku punya teman ngobrol.” Raut wajah Salsa langsung terlihat ceria.

Ternyata Salsa dirawat di sini karena menderita kanker otak. Salsa bercerita padaku jika mama dan papanya terkadang seharian tidak menjenguknya seperti hari ini. Mereka sibuk mengurusi bisnis dan perusahaan. Hal itulah yang membuat Salsa terkadang murung dan sedih.

Kasihan sekali, harusnya di saat dia sakit begini orang tuanya berada di sampingnya dan memberi semangat hidup buat Salsa.

“Walau orang tua Salsa tidak terlalu perhatian, Salsa masih punya Allah, Kak. Salsa yakin Dia pasti akan menyembuhkan Salsa. Asal Salsa sabar dan jangan menyerah dengan sakit ini.”

Aku kagum dengan semangat dan ketabahan Salsa. Dia bisa seperti itu menghadapi penyakitnya. Berarti aku juga harus bisa seperti dia.

Sampai sore aku berada di rumah sakit menemani Salsa. Banyak hal yang kami bahas. Sampai aku pun terbuka untuk menceritakan penyakitku pada Salsa.

“Menurut Salsa sebaiknya Kakak ceritakan saja pada orang tua dan keluarga kalau Kakak sakit kanker hati. Dengan begitu pasti Kakak akan merasa lebih ringan menghadapi masalah ini.”

Benar juga kata Salsa, menyimpan rahasia ini membuat pikiranku bertambah banyak. Baiklah, setelah ini aku akan jujur pada ayah dan ibu tentang penyakitku.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang