Hari ke-22 (Menjadi Korban Penculikan)

3.3K 115 0
                                    

Mia menangis, itu yang ku lihat saat aku mendekatinya. Ada apa dengan adikku ini, menangis bagi dirinya adalah hal yang sangat langka dia lakukan. Dari Mia lah aku belajar menjadi wanita yang tegar, tidak terlalu sering menangis. Pasti kali ini ada hal yang sangat menyedihkan untuk dia hingga tak segan-segan mengeluarkan air matanya.
“Operasi mata Mia dibatalkan, Mbak. Pendonornya menarik kembali matanya yang direncanakan akan didonorkan untukku. Hiks hiks,” jelas Mia saat aku bertanya kenapa dia menangis.
“Sabar ya adikku sayang. Allah mungkin akan memberikan ganti yang lebih baik. Jangan lupa selalu berdoa dan tawakal saja ya. Mbak yakin Allah pasti akan menolong Mia.”
Mia memelukku. Dia masih menangis dan menenggelamkan wajahnya yang merah ke balik rambutku. Aku membelai kepala dan rambut panjangnya serta mencium keningnya memberikan keyakinan kalau kesembuhan itu pasti akan datang. Walau aku sendiri tak yakin apakah kesembuhan juga akan datang padaku. Sampai saat ini aku harus tetap di rawat di rumah sakit meski sudah merasa sehat. Belum boleh pulang karena kata dokter, sewaktu-waktu penyakitku akan kambuh lagi. Jika tidak segera ditangani ketika kambuh, akan berakibat fatal. Aku dan orangtuaku menurut saja, setuju jika aku tetap di rawat disini. Tapi entah sampai kapan aku tak tahu.
***
Sehabis shalat zuhur, aku duduk-duduk di sofa sambil menonton televisi. Tidak ada acara yang menarik buatku. Karena bosan, aku memutuskan untuk online saja. Beberapa menit kemudian aku sudah asyik menjelajahi internet. Mulai dari membaca berita di www.detik.com, membuka email, gosip para artis di www.kapanlagi.com, mendownload lagu di www.stafaband.com, dan tak lupa membuka akun facebookku. Dinding penuh dengan ucapan dan pesan dari semua temanku. Bahagia banyak yang mendoakan kesembuhanku. Semoga doa dari banyak orang dapat dikabulkan.
Handphoneku berbunyi, langsung aku terima panggilan yang ternyata dari Arief.
“Hallo Kan, lagi ngapain?”
“Lagi online aja, kamu?”
“Lagi gak ngapa-ngapain. Aku kesana sekarang boleh gak?”
“Boleh, Rief. Aku tunggu ya!”
Ah, senangnya Arief akan kesini sebentar lagi. Aku sisir rambutku yang agak berantakan, lalu ku ikat dengan pita pink. Wajahku sedikit pucat dan tubuhku terlihat begitu kurus. Inilah fisikku sekarang. Tidak ada perubahan untuk menjadi lebih baik dari ini. Sedih juga, tapi aku harus jalani. Semoga semua yang aku hadapi ini aka ada akhirnya.
Aku sambut kedatangan Arief dengan senyumku yang ku buat semanis mungkin. Bukan bermaksud apa-apa namun hanya ingin agar Arief tidak terlalu melihat sisi suram di wajah pucatku. Seperti biasa, dibalasnya dengan senyuman yang begitu manis buatku. Subhanallah, Engkau ciptakan makhluk yang indah dan baik seperti ini Ya Allah. Aku jadi melamun sesaat dan tersadar saat tangan Arief dikibas-kibaskan di depan wajahku.
“Bengong aja liat aku yang cakep ini. Oh iya, pasti kamu kesepian sendirian disini. Untung kamu punya teman seperti aku yang mengerti akan kesendirianmu yang hampa. Hehe…”
“Idih… Geer’an deh. Iya-iya, aku kesepian karena keluargaku masih beraktivitas. Makasih, Rief.”
“Makasih untuk apa?”
“Ya, karena kamu udah mau kesini.”
Arief tersenyum menanggapi ucapanku.
***
Aku dan Arief berada di belakang rumah sakit, agak sepi karena masih siang. Biasanya kalau sore tempat ini banyak didatangi orang karena tempatnya sejuk dan banyak rerumputan juga berdekatan dengan kantin. Kami duduk di kursi yang tidak terkena sinar matahari, biar tidak kepanasan. Arief bercerita banyak tentang apa yang akan dia lakukan setelah lulus kuliah ini. Ternyata dia sudah disuruh papanya menjadi direktur salah satu perusahaannya di Jakarta. Kami akan berjauhan setelah lulus kuliah nanti, karena aku akan tetap di Palembang dan bekerja di perusahaan yang telah menerimaku.
“Kalau kamu tetap di Palembang ya, Kania. Hebat deh kamu bisa lulus diterima kerja dan menjadi manajer lagi . Perusahaan tempatmu akan bekerja itu termasuk salah satu partner kerja perusahaan papaku. Suatu saat kita akan bertemu juga ketika ada rapat atau agenda bulanan. Pasti kamu dan aku jadi terlihat dewasa dengan pakaian kantoran kita masing-masing.”
“Iya, Rief. Aku udah gak sabar menjadi wanita karier. Pasti asyik dan menantang. Bisa bekerja dan mendapatkan hasil atas pengorbanan kita selama tiga setengah tahun di bangku kuliah. Kamu akan di panggil Pak Arief dan aku Bu Kania. Hehe…”
Kami tertawa membayangkan imajinasi tentang pekerjaan kami nanti. Sungguh indah jika benar-benar terjadi. Aku makin bertekad untuk tetap hidup dan berusaha melawan penyakitku. Tante Aisyah pernah bilang jika aku sebaiknya mengurus dan menjadi direktur di perusahaan almarhum ayah kandungku di Bandung. Karena terikat kontrak dengan perusahaan yang sudah menerimaku itu, maka aku akan bekerja disana dulu selama satu tahun, baru setelah itu aku akan terbang ke Bandung mengajak ayah, ibu, Mia dan Ridho untuk bersama-sama tinggal disana.
“Kan, aku beli minum dulu ya di kantin ujung sana. Kamu jangan kemana-mana, tunggu disini aja.”
“Iya, Rief. Awas kalau lama aku akan menghilang.” kataku bercanda dan dibalas Arief dengan tertawa.
Iseng-iseng aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah kanan untuk melihat kolam kecil. Ternyata ada ikannya walau tak banyak. Agak heran saat aku melirik ke belakang seperti ada orang yang memperhatikanku. Saat aku menoleh tiba-tiba orang itu menghilang. Kembali aku mengamati ikan-ikan di kolam ini. Tak ssmpat berteriak lagi, mulutku lagsung dibekap dari belakang oleh seseorang. Seketika aku pingsan oleh mencium obat bius.
***
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tanganku. Aku terheran-heran kenapa bisa berada disini dan diikat seperti ini. Tempat asing dengan debu dimana-mana dan bau basah tanah. Kepalaku jadi terasa sangat pusing dan berat, tubuhku juga menjadi kuning kembali, perut dan hati terasa tidak enakan. Aku ingin berbaring, aku ingin minum., aku ingin keluar dari sini.
Datang lima orang lelaki yang berwajah seram dan satu orang wanita setengah baya dengan baju ketat dan sedang menghisap rokok.
“Kerja yang bagus. Sekarang kalian keluar saja. Saya ingin bicara berdua dengan anak ini,” kata wanita itu kepada kelima lelaki yang langsung menurut untuk segera keluar.
“Hai cantik. Nama kamu Kania kan? Anak tunggal Rachmat dan Nisa yang telah mampus itu!”
Aku hanya diam mendengar kata-kata wanita itu.
“Saya sangat beruntung mendapatkan informasi ternyata mereka memiliki anak. Kamu akan saya jadikan alasan untuk memeras harta kekayaan orangtuamu yang sekarang masih di tangan Aisyah. Hahaha…!”
Aku tetap diam dan merasa takut dengan wanita ini. Ternyata aku diculik dan mereka ini akan meminta uang tebusan 50 Miliar pada tante Aisyah. Wanita jahat ini mungkin sudah kehilangan akal, begitu tega melakukan tindakan jahat seperti ini.
“Kamu setuju kan jika harta yang akan diwariskan padamu saya Cuma minta 50 Miliar?”
“Tidak! Itu tak akan tetjadi. Tante Aisyah tak akan memberikan uang sebanyak itu padamu,” aku menjawab dengan kesal.
“Terserah, jika uang itu tidak diberikan maka nyawamu akan hilang anak manis. Ini ada sedikit hadiah percobaan untukmu,” wanita itu menggoreskan ujung pisaunya yang sangat tajam ke pipi kananku. Seketika pipiku langsung perih tergores pisaunya, darah sedikit keluar mengalir di pipiku.
“Aaawww… Hentikan, ku mohon!” kataku.
“Saya bisa bertindak lebih dari ini jika uang itu tidak segera ditransfer ke rekeningku!” kata wanita itu berteriak.
“Jangan sakiti Kania! Tolong lepaskan dia. Aku akan segera mentransfernya, Gita.” kata tante Aisyah yang dari tadi ternyata ditelepon wanita jahat itu.
Aku tak bisa berpikir lagi, perutku mulai terasa mual dan ingin muntah. Tak ku dengar lagi percakapan antara wanita penculik itu dengan tante Aisyah. Perlahan-lahan penglihatanku kabur, langsung tergeletak tak sadarkan diri setelah kembali ku muntahkan darah dari mulutku.
“Halo, Anak itu muntah darah segar yang cukup banyak dan sekarang pingsan. Dia kenapa?” kata wanita yang bernama Gita pada tante Aisyah.
“Tolong segera lepaskan dia dan bawa ke rumah sakit! Kalau tidak dia bisa sangat gawat. Aku mohon padamu Gita, aku berjanji tidak akan melaporkan kamu ke polisi da mentransfer uang itu sekarang juga.” tante Aisyah memohon pada Gita.
“Kamu saja yang kesini setelah uang itu ditransfer. Aku akan meninggalkan keponakanmu disini. Jangan lupa setelah ditransfer, beritahu aku! Aku akan mengeceknya dulu benar-benar masuk atau tidak. Kalau sudah baru pintu akan aku buka dan kamu boleh membawa Kania pergi, dan ingat jangan coba-coba lagsung kesini dengan membawa polisi. Kania akan aku bunuh jika kamu berani melanggarnya!” seru Gita dengan emosi sambil menyebutkan sebuah alamat, kemudian telepon langsung diputus.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang