Epilog

5.8K 201 26
                                    

Dua bulan kemudian…
Tulisan harian di diaryku telah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Catatan Hati Kania”. Selain itu, novel “Goodbye My Days” yang aku tulis di laptop ikut diterbitkan. Mia memenuhi permintaanku yang pernah menyuruhnya untuk membaca tulisanku, jika menurutnya bagus aku memintanya untuk mengajukan kepada penerbit. Akhirnya impianku menjadi penulis telah tercapai, meski aku sendiri sudah tak ada lagi di dunia. Dua buku itu menjadi Best Seller terjual lebih dari satu juta dalam kurun waktu lebih kurang dua bulan. Tak hanya sampai disitu, tulisanku juga diterbitkan lewat internet dengan pembaca yang hampir mencapai 10 juta orang dari seluruh Negara. Sangat tak disangka peminat tulisanku begitu banyak, sampai-sampai berdiri komunitas khusus penggemarku.
Kini Ridho sudah bersekolah di Bandung begitu pun dengan Mia yang juga pindah kampus di sana. Dikarenakan keluargaku sekarang telah menempati rumah peninggalan orang tua kandungku di Bandung. Rumah seharga 10 Miliar itu memberikan kebahagiaan pada Ayah, ibu, Mia dan Ridho karena mereka akhirnya bisa mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dibandingkan rumah biasa kami dulu di Palembang. Rumah di Palembang telah dibangun menjadi masjid sesuai keinginanku dan diberi nama Masjid Chairunnisa. Setengah warisan untukku telah diberikan pada panti asuhan dan orang yang membutuhkan. Setengahnya lagi sebagai modal ayah dan ibu untuk membuka usaha. Mia yang sekarang sudah bisa melihat karena memakai mataku, sedikit-sedikit membantu pekerjaan di kantor perusahaan orang tua kandungku bersama tante Aisyah.
Hari ini adalah hari jumpa pers para penggemar tulisanku sekaligus acara syukuran atas kesuksesanku menjadi penulis. Pukul tujuh pagi semua keluargaku beserta tante Aisyah sudah berangkat menuju Palembang untuk menghadiri acara yang akan diselenggarakan di Novotel, salah satu hotel mewah di Palembang. Ide pembentukan acara ini berawal dari Arief yang menelepon Mia seminggu yang lalu membicarakan tentang kesuksesan bukuku. Setelah didiskusikan lewat online bersama para komunitas penggemarku, ternyata mereka mau membantu mengurus acara, terutama mereka yang ada di Palembang. Tak ku sangka, saat aku sudah pergi pun masih banyak orang yang peduli terhadapku. Aku yang sudah berada jauh dari dunia sungguh merasakan kebahagiaan.
***
Mobil Ayah dan mobil tante Aisyah telah memasuki halaman Novotel. Terlihat spanduk besar yang tertulis namaku beserta fotoku yang sedang tersenyum. Spanduk itu berada di mana-mana sepanjang halaman depan dan area ruangan tempat berlangsungnya acara ini. Saat ayah dan ibu masuk ke dalam, mereka diserbu oleh wartawan dan fotografer. Ayah yang tetap santai dan ibu yang sedikit kebingungan menjawab pertanyaan wartawan dengan singkat dan tak lupa memasang senyuman seindah mungkin. Kemudian Mia dan Ridho serta tante Aisyah juga ikut-ikutan dikelilingi wartawan dan fotografer untuk diwawancarai..
Wajah bangga kedua orang tua dan adikku begitu jelas terlihat. Sempat ku lihat ibu menitikkan air matanya kala menatap fotoku di spanduk yang terpasang di depan ruangan yang sangat besar. Telah ada sekitar seribu orang yang hadir untuk mengikuti acara ini. Di bagian luar ruangan disusun ribuan bukuku yang akan diberikan secara gratis bagi orang-orang yang hadir. Sampul buku yang semuanya berwarna pink itu melambangkan kelembutan dan warna kesukaanku.
“Arief, terima kasih kamu telah berperan besar atas kesuksesan acara ini pesertanya banyak di luar dugaan Ibu,” kata ibu pada Arief yang berpakaian sangat rapi dengan jas warna hitam.
“Sama-sama, Bu. Arief lakukan ini sebagai bentuk rasa sayang Arief pada Kania. Semoga dia tahu jika Arief selama ini telah menyayanginya,” ujar Arief sungguh-sungguh.
Ibu tersenyum menatap Arief. Tatapan ibu berpaling pada Mia yang ternyata lagi menangis terharu.
“Bu, mbak Kania pasti bahagia jika mengetahui kalau dia telah sukses menjadi penulis. Apalagi mendengar ucapan Kak Arief tadi,” kata Mia sambil melirik ibu dan Arief bergantian.
“Tentu Kania tahu dan ia akan sangat bahagia di sana,” balas ayah seraya menatap ribuan orang yang lagi duduk di kursi masing-masing menunggu acara dimulai.
Bella dan teman-teman kuliahku telah hadir juga. Mereka menyalami ayah dan ibuku. Bella memeluk ibu dan menangis.
“Bu, Bella kangen Kania. Dia pasti melihat acara ini. Melihat semua orang yang mencintai dan dicintainya berkumpul untuk merayakan kesuksesannya.” kata Bella sambil berusaha menghapus air mata harunya.
“Pasti itu, Nak. Yuk, semuanya kita duduk. Acara akan segera dimulai!” kata ibu seraya mengusap lembut air mata Bella.
Tepuk tangan riuh mengiringi pembukaan acara. Suasana hening sejenak tatkala pembacaan ayat suci Al Quran untuk mengawali acara. Acara selanjutnya adalah pemutaran video yang berisi foto-foto dan prestasiku semasa hidup, entah darimana dan siapa yang mengambil fotoku tersebut. Kemudian diteruskan dengan pembahasan isi diaryku yaitu buku “Catatan Hati Kania”. Mulai dari masalah dalam kuliah, masalah perekonomian keluarga, masalah diriku yang bukan anak kandung, masalah perasaan cintaku pada Arief dan yang paling banyak ku tulis, masalah perjuangan hidup melawan kanker. Pada saat acara pembahasan isi diaryku inilah yang membuat para peserta menangis terisak. Ditambah karena Mia lah yang menjadi pembicara untuk membahas bukuku. Tentu dia sangat merasakan bagaimana hidupku hingga ia berhasil membacakan buku ”Catatan Hati Kania” dengan sepenuh hati yang membawa para peserta larut dalam setiap kejadian yang ku tulis.
Kurang lebih dua jam pembahasan bukuku, sampailah pada acara penutupan yaitu pemberian kata-kata terakhir untukku dari orang-orang terdekat. Pembawa acara memanggil ayah dan ibu sebagai orang pertama untuk memberikan kata-kata kenangan terakhir. Ayah dan ibu maju ke depan, semua mata melihat ke arah mereka berdua yang terlihat sangat serasi dengan pakaian senada dan memasang senyum ramah walau mata mereka agak sembab karena tadi sempat menangis.
“Kania Chairunnisa, anak angkat kami yang sangat-sangat kami sayangi. Sosok anak yang cerdas, manis, penurut, baik hati dan suka menolong, serta rajin beribadah. Gadis yang sempurna di mata kami dan membuat hidup kami berarti. Anak yang selalu membanggakan orang tua dan keluarganya serta selalu tabah dalam menghadapi masalah dan suka memendam perasaan. Saya sebagai ayah angkatnya, sudah menganggap Kania menjadi anak kandung saya. Sebenarnya sangat disesali kenapa Kania menderita penyakit yang merenggut nyawanya sehingga ia pergi begitu cepat di usia yang masih muda. Namun semua kembali pada-Nya yang menciptakan Kania juga berhak untuk mengambil Kania kembali. Kania, ayah sangat menyayangimu sampai kapan pun dan ketahuilah kamu telah membuat ayah menjadi ayah yang paling bangga pada anaknya. Ayah yakin kamu bahagia di sana.”
Air mata ayah menitik. Ayah tersenyum bangga menatap ribuan mata yang memperhatikannya. Ibu melanjutkan, “Kania, anak yang benar-benar manis. Baik dari fisik, sikap dan hati. Seperti yang telah dibilang ayah, Kania adalah anak yang sempurna di mata kami. Sungguh membuat bangga dan kami begitu mencintainya. Teringat saat Kania harus menderita karena kanker hatinya, selalu muntah darah dari mulut dan berkali-kali pingsan. Pedih menghadapi kenyataan ini. Namun ini semua adalah rencana terindah dari Allah untuk anak kami, Kania. Gadis yang luar biasa kebanggaan kita semua telah meninggalkan kenangan manis sampai saat ini pun ketika dia telah tiada. Kania, ibu mencintaimu. Berbahagialah kamu di sana, Nak. Ibu selalu mendoakanmu.”
Ayah dan ibu kembali ke tempat duduk semula. Pembawa acara memanggil Mia untuk memberikan kata-kata kenangan selanjutnya. Mia berjalan ke depan, dia menyunggingkan senyum bahagia pada semua orang yang kini menatapnya.
“Mbak Kania, seorang kakak yang memberikan teladan pada adik-adiknya, aku dan Ridho. Meski bukanlah saudara kandung, aku mencintainya lebih dari saudara kandung. Seorang kakak yang rela berkorban demi keluarga maupun orang lain, wanita yang sangat tabah, selalu berusaha membuat bahagia dan mempunyai cinta yang suci pada seseorang. Setiap hari ia selalu memberikan sebagian uang jajannya untuk sedekah, selalu mengerjakan pekerjaan rumah tanpa mengeluh meski aku dan Ridho tidak membantunya. Selalu tersenyum walau sedang merasakan kepedihan dan penderitaan. Mbak Kania juga wanita yang soleha. Terkadang aku merasakan iri kenapa Mbak Kania mempunyai teman yang sangat banyak dibandingkan diriku. Ia juga disukai semua orang. Namun akhirnya aku sadar, Mbak Kania memang pantas disukai semua orang karena sifat dan sikapnya memang patut untuk disukai. Tentu kita semua disini telah membaca tulisan harian kakakku. Kalian pasti mengerti kenapa aku bisa begitu bangga pada Mbak Kania. Bisa kalian lihat sendiri di mataku. Sebelumnya mataku buta karena mengalami kecelakaan dan ini mata Mbak Kania,” kata Mia sambil menunjuk sesaat pada matanya. “Tak dapat ku bayangkan jika hidupku selanjutnya akan tetap dengan kegelapan jika Mbak Kania tidak memberikan matanya untukku. Di akhir hidupnya, Mbak Kania masih sempat memberikan hal berharga untukku. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kebaikan hati Mbak Kania. Hanya Allah yang dapat membalas semuanya berupa surge-Nya untuk Mbak Kania. Amiin ya robbal alamiin.”
Selanjutnya Bella, sahabat terdekatku yang mendapat giliran memberikan kata-kata kenangan buatku. Dia maju ke depan sambil mengajak Clara. Iya Clara, dia telah bebas dari penjara tepat pada saat aku selesai dimakamkan. Polisi membaca catatanku di diary yang menuliskan jika keinginanku ingin melepaskan jeratan hukum pada Clara.
“Aku adalah sahabat dekat Kania, sosok teladan yang membanggakan. Menjadi sahabatnya merupakan anugrah yang terindah buatku. Saat kami berdua menangis bersama juga tertawa bersama masih terekam kuat dalam memori otakku. Dia sahabat terbaik selama hidupku. Entah setelah ini apakah aku bisa mendapat sahabat seperti dia lagi. Kania belum pernah sekalipun melakukan hal yang namanya pacaran seperti anak muda saat ini. Itulah yang membuatku kagum padanya. Bukan dia tak pernah jatuh cinta, namun dia menyimpan rasa cintanya yang besar dan begitu suci tersebut demi tidak menyakiti temannya sendiri. Dia adalah manusia setengah malaikat menurutku. Sikapnya yang selalu baik pada setiap orang membuatnya tak pernah dibenci sedikit pun. Bahkan orang yang benci dengannya pun berbalik menjadi suka dan bangga padanya. Di sampingku adalah orang yang pernah membenci Kania namun rasa bencinya telah berubah menjadi rasa sayang dan bangga pada diri seorang Kania. Kania, aku akan selalu menjadi sahabatmu walau kini kita telah berpisah. Aku sangat menyayangimu. Semoga kamu berbahagia di surga. Amiin. Dengarkanlah pengakuan Clara saat ini, Kania! Mungkin ini akan membuatmu lebih bahagia lagi,”
Clara menarik nafas sejenak. Matanya yang teduh menatap sendu pada pasangan mata yang memperhatikannya saat ini. Clara sangat gugup, tapi dia harus berbicara di sini dan saat ini juga. Perlahan mulut Clara mulai mengeluarkan kata-kata, ”Hari ini aku akan mengatakan kejujuran di hadapan kalian semua. Aku merasa menjadi manusia paling jahat karena pernah berniat membunuh Kania. Kania, maafkan aku! Sungguh aku benar-benar khilaf, mata hatiku telah tertutup oleh rasa cemburuku saat kamu dekat dengan cowok yang akan bertunangan denganku. Gara-gara cowok itu ternyata menyimpan rasa cinta padamu, aku jadi gelap mata dan ingin menyingkirkanmu.” Clara kembali menarik nafas. Suaranya bergetar dan terlihat akan menangis. Sebisa mungkin dia menahan air matanya. Dia melanjutkan, “Namun Allah memang menolongmu, usahaku yang ingin membunuhmu tak berhasil malah aku ketahuan dan masuk penjara. Oleh karena memang hatimu seputih kapas, kamu tetap baik padaku. Kamu membebaskanku tepat di mana hari kematianmu. Aku begitu bangga padamu, Kania! Aku menyayangimu sampai kapan pun. Aku selalu berdoa demi kebahagiaanmu di sana,”
Air mata Clara bercucuran dan Bella menuntunnya kembali ke tempat duduk seraya menenangkan Clara yang menangis karena penyesalannya yang mendalam. Pembawa acara  memanggil salah satu penggemar bukuku yang berhasil sembuh dari sakitnya karena termotivasi setelah membaca buku “Catatan Hati Kania”. Seorang anak perempuan bernama Mutia yang masih duduk di bangku SMA langsung maju ke depan dengan langkah yang lincah.
“Terima kasih sekali Mutia ucapkan pada Kak Kania yang sekarang mungkin telah berada di surga. Membaca tulisan harian kakak di dalam buku ini memberikan semangat untuk tetap hidup bagi Mutia,” ujar Mutia semangat dengan suara lantang seraya mengacungkan buku “Catatan Hati Kania” sambil diayun-ayunkan perlahan. “Mutia pernah menderita kanker darah yang masih stadium awal sejak 4 bulan yang lalu. Namun karena vonis dokter yang menyatakan Mutia terkena kanker darah membuat Mutia menjadi malas melakukan apa pun.. Seolah-olah Mutia merasa dunia Mutia akan berakhir, karena sepengetahuan Mutia penderita kanker itu sangat tipis kemungkinan buat sembuh. Hari-hari Mutia dipenuhi bayangan akan kematian. Mutia menjadi anak pemurung dan sensitif yang membuat papa dan mama begitu khawatir. Hingga dua minggu yang lalu mama menyuruh Mutia membaca buku Kak Kania. Sampai menangis tersedu-sedu Mutia membaca buku itu. Sungguh sangat luar biasa perjalanan hidup Kak Kania yang menderita kanker hati stadium akhir namun masih bisa semangat dan melakukan kebaikan. Walau dalam keadaan yang menderita, Kak Kania tetap tersenyum, tetap bersyukur dan masih melakukan kegiatan dengan semangat. Mutia merasa malu saat membaca buku ini. Kak Kania yang memang tak ada harapan hidup saja masih semangat, kenapa Mutia yang masih bisa tertolong malah terlalu pesimis. Maka mulai saat itu, Mutia berubah dan sampai pada hari ini Mutia dinyatakan telah sembuh. Mutia dan orang tua Mutia mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada Kak Kania. Mutia bangga pada Kak Kania.” Ribuan orang memberikan tepuk tangan meriah dan antusias setelah berakhirnya cerita dari Mutia.
“Begitu mengharukan cerita dari adik kita, Mutia. Benar-benar memberikan manfaat yang berarti dari sebuah tulisan Kania. Sebenarnya kata-kata dari Mutia tadi merupakan penutup, namun ada satu orang lagi yang ingin menyampaikan kata-katanya untuk Kania. Dia bernama Arief, tentu kita semua tahu siapa Arief kan? Dialah laki-laki yang paling banyak diceritakan dalam diary dan novel Kania. Apa kata-kata yang akan diberikan Arief pada Kania? Kita dengarkan sekarang. Kepada saudara Arief kami persilahkan untuk ke depan!” kata pembawa acara dengan suara yang antusias.
“Aku laki-laki yang paling bahagia di dunia ini. Bisa mencintai dan dicintai oleh wanita seperti kamu, Kania. Suatu karunia ternyata kamu memiliki rasa cinta dan sayang untukku. Sungguh aku tak percaya saat Mia mengatakan jika kamu mencintaiku telah lebih dari satu tahun ini. Tatkala aku membaca diary dan novelmu yang semuanya mengisahkan rasa cintamu padaku, aku menangis Kania. Seorang Arief yang jarang menangis kalau bukan untuk hal yang paling pantas untuk ditangisi, bisa menangis membaca tulisanmu. Aku terlambat mengetahui isi hatimu. Andai saja aku tahu lebih awal mungkin kita akan merasakan suatu kebahagiaan karena penyatuan cinta kita. Ya, sebenarnya aku juga jatuh cinta padamu, Kania.” Arief berhenti sejenak, mengusap matanya yang memerah menahan tangis. Dia melanjutkan, “Sejak aku menjengukmu di rumah sakit saat pertama kali kamu diopname, aku langsung merasa jatuh cinta padamu, entah kenapa. Tapi aku berusaha menyembunyikan perasaanku karena aku takut kamu akan terganggu jika tahu aku mencintaimu. Aku merasa minder untuk mencintaimu karena takut dirimu tak membalas perasaanku. Apalagi kamu tahu kalau aku sudah punya pacar. Kamu gadis yang begitu baik dan cerdas hingga bisa menjadi mahasiswi dengan lulusan IPK tertinggi di kampus kita. Semua dalam dirimu membuat aku kagum, Kania. Benar-benar sebuah kejutan saat aku tahu ternyata kamu memiliki rasa yang sama denganku. Dalam diary dan novelmu kamu mencintaiku hanya di dalam hati. Kita sama ya, sama-sama menyembunyikan perasaan demi kebaikan. Kamu tak berani mengungkapkan atau hanya sekedar memberi tanda saja, karena kamu juga merasa minder kepadaku. Apalagi pacarku dulu terang-terangan melarangmu mendekatiku. Aku sungguh menyesal Kania, karena semua terlambat. Namun ini semua adalah takdir-Nya, tentu akan menjadi hal yang paling baik bagi kita semua. Itu saja hal yang ingin aku sampaikan padamu. Semoga kata-kataku ini bisa sampai padamu. Sekali lagi aku katakan, aku mencintaimu Kania. Aku akan selalu berdoa agar kelak kita dapat berjumpa kembali jika waktu itu telah tiba. Amiin Ya Rabb.”
Kembali terdengar tepuk tangan riuh mengakhiri kata-kata dari Arief. Banyak yang tercengang dengan apa yang telah disampaikan Arief tadi tentang perasaannya padaku. Ayah, ibu, tante Aisyah, Mia, Ridho, Bella, Fitri, Novita, Sari, Rozni, Kiki, Aga, Taufik, Anggoro, Mustar, Salsa, dokter Rusdi, Pak Burhan, teman-temanku, dosen-dosenku dan semua orang yang hadir pada acara hari ini mengembangkan senyuman yang merekah. Akhir acara ini bukan merupakan akhir mereka mengenangku namun merupakan awal untuk menyimpan kenanganku di hati mereka masing-masing.
Benar, Rief. Kata-katamu telah sampai padaku di sini. Aku sangat bahagia mendengarnya. Harapanku jika kamu juga memiliki rasa yang sama denganku, ternyata benar-benar terjadi. Terima kasih karena kamu mengizinkan aku untuk masuk ke dalam hatimu. Aku akan menunggu saat itu, saat kita dapat kembali berjumpa.

THE END

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang