Hari ke-29 (Detik-Detik Akhir Hidupku)

4.3K 155 0
                                    

Badanku pagi ini terasa sangat lemah lebih dari kelemahan yang aku rasakan kemarin. Perlahan ku coba untuk duduk. Pinggiran ranjang serba putih ini ke pegang erat-erat untuk menopang badanku. Sedikit dipaksa akhirnya aku bisa duduk. Perlahan baskom berisi air bersih yang memang telah disiapkan ku raih dan ku geser pelan-pelan agar lebih mendekat. Segar sekali saat air ini membasahi mukaku. Selesai berwudhu, ku kenakan mukena putih dengan renda berwarna pink. Fajar seperti ini aku kembali menghadap Sang Ilahi. Memohon dan meminta ampunan pada-Nya serta mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya atas semua nikmat yang dilimpahkan untuk diriku.
Sehabis menunaikan shalat subuh, aku membuka handphone. Ternyata ada satu pesan masuk. Dengan seksama ku baca isi pesan tersebut.
Hr ini kmu hrz dtg wisuda ya, kmu hrz bs dtg, kmu hrz kuat..spirit ! ^_^
Sender : Arief
Senyumku mengembang membaca sms dari Arief. Semangatku bertambah untuk bisa datang wisuda hari ini.
***
Tepat pukul 9 pagi, aku telah siap dengan memakai pakaian wisuda. Walau harus menggunakan kursi roda untuk membantuku berjalan, tak mengurangi semangatku hari ini untuk pergi ke kampus. Mia memberikan cermin padaku. Lama diriku mematut di depan cermin memandangi wajah pucat yang sekarang sudah tertutup dengan balutan jilbab. Aku terlihat lebih cantik walau sedikit pucat, kataku dalam hati. Mia dan ibu yang dari tadi membantuku memakai pakaian dan mengambilkan keperluanku tersenyum riang sambil memandangiku.
“Kamu cantik sekali, Kania. Ibu sangat suka dengan penampilanmu sekarang yang telah berjilbab.” puji ibu.
“Walau Mia tak bisa melihat kecantikan mbak sekarang. Mia yakin kok kalau mbak memang cantik. Mia juga ingin memakai jilbab,” kata Mia serius.
Aku tersenyum senang. Beberapa menit kemudian setelah semua keperluanku selesai dipersiapkan, ibu dan Mia juga sudah rapi. Tante Aisyah, ayah dan Ridho masuk dengan senyum mengembang menghampiriku.
“Subhanallah. Kamu cantik sekali, kania!” ucap tante Aisyah berdecak kagum memandangiku yang telah duduk di kursi roda dengan pakaian wisudaku.
“Anak siapa dulu? Anak ayah,” jawab ayah sambil tertawa senang.
“Mbak siapa dulu donk? Mbak Ridho,” jawab Ridho tak mau kalah.
Kami tertawa mendengar perkataan ayah dan Ridho. Mereka ternyata sudah rapi juga dengan pakaian kemeja yang berwarna senada. Tante Aisyah pun terlihat rapi dan cantik dengan gamisnya berwarna krem. Mereka semua, orang yang aku sayangi dan aku cintai akan turut menyemangatiku dengan kehadiran mereka di acara wisudaku yang akan mulai satu jam lagi. Kami segera menuju ke mobil tante Aisyah karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit.
***
Sesampainya di auditorium kampus, tempat akan berlangsungnya acara wisuda, kami berkeliling mencari kursi yang masih kosong. Dengan jumlah orang yang lebih dari seribu ini cukup sulit menemukan tempat yang kosong.
“Kita duduk di sana saja masih ada yang kosong!” teriak Ridho menunjuk ke arah tengah sebelah kanan.
Kursi rodaku didorong perlahan oleh Ridho, ayah dan ibu berjalan di samping kananku. Mia dan tante Aisyah berjalan di belakang kami. Cukup banyak mata yang mengawasiku karena aku memakai kursi roda ini. Mungkin dalam benak mereka timbul banyak pertanyaan atas keadaanku ini. Aku hanya tersenyum. Setelah kami semua duduk di kursi, mataku menyapu seisi gedung besar ini,bertanya dalam hati di mana keberadaan Bella dan teman-temanku yang lain. Aku tak berhasil menemukan mereka karena ramainya orang di dalam ruangan yang sangat besar ini. Handphoneku bergetar. Pesan dari Bella yang berisi jika dia melihatku. Ternyata dia duduk di belakang berdekatan dengan Fitri, Rozni dan Novita.
Aku alihkan pandanganku ke belakang selesai membalas pesan dari Bella. Aku menemukan Bella melambai-lambaikan tangan. Begitu juga teman-temanku yang lain. Ternyata mereka kebanyakan duduk di belakang. Namun dari tadi aku belum menemukan sosok Arief. Aku rindu padanya, padahal baru semalam aku tak bertemu dengannya karena dia pulang dari rumah sakit untuk mempersiapkan wisudanya hari ini. Kembali ku rogoh handphone dalam tas dan mengetik sms untuk Arief menanyakan di mana dia sekarang. Tiga menit kemudian baru dibalasnya, Dia ada di tempat duduk lantai atas  bagian tengah sebelah kiri, yang berarti dia ada di lantai atas tempat aku duduk sekarang. Aku mendongakkan kepala dan melirik sedikit mencari Arief, benar sekali. Dia ada di sana. Tapi dia tak melihatku karena lagi mengobrol dengan seseorang.
Sebentar lagi akan diumumkan nama-nama mahasiswa yang berhasil lulus dengan IPK di atas 3,5 dan harus maju ke depan untuk pemberian selamat dan tanda kelulusan khusus dari rektor kampus. Sangat aku nantikan saat-saat itu. Aku bisa berdiri di depan walau dengan kursi roda ini yang disaksikan banyak orang dan keluargaku. Aku bisa lulus dengan sangat memuaskan menyandang predikat dengan pujian. Apalagi dengar-dengar bagi mahasiswa yang lulus dengan IPK tertinggi dari seluruh fakultas dalam wisuda kali ini, akan dipanggil untuk memberikan kata sambutan juga wawancara dengan rektor dan wartawan yang hadir pada hari ini untuk meliput acara wisuda dari universitas kebanggaan di kotaku.
Tepat pukul 11 siang, para mahasiswa yang lulus dengan IPK di atas 3,5 dipanggil untuk maju ke depan. Aku bingung bagaimana aku ke depan sendirian aku tak cukup kuat mendorong sendiri kursi roda ini. Bella dan teman-teman akrabku tidak ada yang maju untuk dimintai tolong karena memang IPK mereka di bawah 3,5. Tanpa ku sadari ternyata Arief sudah ada di sampingku.
“Ayo Kania, aku bantu dorong ke depan ya.” katanya dengan senyuman ramah.
“Terima kasih nak Arief udah membantu Kania, tadi kami sempat kebingungan, untung nak Arief datang.” ujar ibu senang.
Aku menganggukkan kepala pada Arief tanda setuju. Dia mendorong kursi roda secara perlahan sambil mengatakan sesuatu yang membuat aku jadi salah tingkah.
“Kamu cantik Kania, apalagi setelah memakai jilbab seperti sekarang ini,”
“Hehe.. Makasih, Rief atas pujiannya.”
Tiba di depan aku menangis terharu merasakan kebahagiaan besar saat ini. Melihat orang tua dan keluargaku yang sedang memandangiku juga ikut menangis karena terharu. Diiringi lagu-lagu yang penuh keharuan makin menambah khidmat puncak acara kelulusan semua mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya dengan sukses.
“Sama seperti wisuda sebelum-sebelumnya, kami juga akan memanggil satu orang mahasiswa yang mendapatkan IPK tertinggi dalam wisuda kali ini. Bagi namanya yang dipanggil harap duduk di sofa samping rektor kita!” kata pembawa acara sambil menunjuk pada salah satu sofa yang kosong.
“Kali ini yang mendapatkan IPK tertinggi berhasil diraih oleh mahasisw dari Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dengan IPK 3,94 atas nama Kania Chairunnisa. Kepada nama yang kami panggil harap ke depan bersama kedua orang tuanya,” lanjut si pembawa acara.
Aku sangat terkejut mendengar perkataan pembawa acara sampai mulutku ternganga. Dengan bangganya ayah yang mendorongku dengan kursi roda ini dan ibu yang berjalan mendampingiku. Semua mata tertuju pada diriku. Sebagian pasti sudah mengenaliku karena aku cukup dikenal di kalangan kampus sejak menjadi pembicara dalam seminar ekonomi yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa satu kampus. Bagaikan mimpi aku dan orang tuaku berada di tengah-tengah ribuan orang yang tengah menyaksikan kami. Jelas terlihat kebanggaan dalam mata ayah dan ibuku atas prestasi yang membawa mereka jadi pusat perhatian seluruh orang dalam ruangan ini.
“Kita mulai berbincang-bincang dengan Kania ya. Bagaimana perasaan anda saat ini yang dinyatakan sebagai lulusan mahasiswa dengan IPK tertinggi?” sang pembawa acara menanyaiku.
“Subhanallah, saya sangat kaget karena tak menyangka sebelumnya. Rasa bahagia tentu saya rasakan dan saya sangat bersyukur pada Allah atas karunia ini,” jawabku tak lepas dengan senyuman. Tiba-tiba mulai  ku rasakan sedikit perih dan lama kelamaan makin perih. Namun aku harus bertahan sampai acara ini selesai.
“Bapak dan Ibu, bagaimana perasaan anda atas prestasi anak anda yang membanggakan ini? Selain itu anak Bapak dan Ibu juga sering mendapat juara karya tulis dan prestasi lainnya selama di kampus ini. Apa yang Bapak dan Ibu lakukan untuk  membuat Kania menjadi anak dengan segudang prestasi?”
“Kami sangatlah bangga pada Kania. Dia memang anak yang rajin, baik juga penurut. Kami tak melakukan apa-apa selain hanya memberikan motivasi dan doa pada anak kami ini,” jawab ibu sambil memegang erat tanganku. Memberikan kekuatan padaku untuk bertahan.
“Kembali pada Kania, apa kunci sukses anda hingga bisa meraih banyak prestasi? Siapa tahu teman-teman disini dapat menirunya, hehe…,” tanya pembawa acara lagi sambil bercanda.
“Kunci sukses ya? Emm… Sebenarnya saya sendiri tidak punya kunci sukses khusus. Sama seperti yang dilakukan kebanyakan orang, saya selalu tekun dan rajin. Mungkin yang membedakannya karena saya bersyukur atas apa yang telah saya dapatkan. Artinya begini, saya selalu bersyukur apapun hasil dari usaha yang telah saya lakukan, baik itu memuaskan atau tidak. Saya menyadari bahwa dengan bersyukur maka Allah akan memberikan suatu kenikmatan yang lebih banyak lagi. Bersyukur dalam hal apapun, termasuk dalam hal kehidupan. Kehidupan kita yang singkat ini pasti suatu saat akan berakhir. Dengan bersyukur atas kenikmatan hidup yang diberikan Allah SWT pada kita maka hidup kita akan menjadi berkah. Keberkahan hidup inilah yang menjadikan kesuksesan kita di dunia maupun di akhirat. Jadi kesimpulannya banyak-banyak bersyukur merupakan salah satu kunci sukses saya,” aku memberikan penjelasan dengan seantusias mungkin walau sakit di perut dan hatiku kian bertambah. Terasa lemas dan lemah badan ini. Rasanya duduk pun aku tak sanggup. Dari sini, mataku menangkap sosok Arief yang sedang serius mendengarkan kata-kataku sambil memandangiku dengan pandangan penuh arti. Aku melemparkan sedikit senyuman, ia pun membalasnya dengan senyuman dan kepalan tangan yang diangkat seolah ingin mengucapkan kata-kata “Semangat!”
Aku mengangguk pada Arief. Iya, aku pasti semangat apalagi jika diperhatikan oleh Arief. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan padaku. Seorang mahasiswi dari fakultas kedokteran yang berhasil dipilih panitia untuk bertanya padaku.
“Kania, sebelumnya saya tak mendengar jika Anda sakit atau kecelakaan. Tapi kenapa saat ini Anda duduk dan berjalan menggunakan kursi roda? Saya termasuk anggota majalah kampus, sampai saat ini tak ada berita dari Anda Padahal beberapa bulan yang lalu Anda masih menjadi topik hangat sebagai mahasiswi yang patut diteladani karena memiliki segudang pretasi. Tolong dijelaskan ya, terima kasih.”
Dengan menarik nafas yang mulai terasa agak sesak karena kepedihan yang ku rasakan, aku mencoba menjawab dengan perlahan, “Terima kasih juga atas pertanyaannya. Saya duduk di kursi roda ini ceritanya cukup panjang. Saya menderita suatu penyakit yang sepertinya belum bisa saya jelaskan sekarang. Tapi penyakitnya tidak parah kok. Uhuk uhuk…” suaraku tersendat-sendat dan aku terbatuk-batuk secara tiba-tiba. Wajahku makin pucat yang membuat ayah dan ibu serta orang-orang yang melihatku jadi khawatir.
“Penyakit saya akan segera sem...,’’ sebelum menyelesaikan kalimatku, secara tiba-tiba mulutku mengeluarkan darah yang membuat panik semua orang. Badanku langsung ambruk dan kembali tak sadarkan diri. Ayah segera membopong diriku dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tante Aisyah, Mia, Ridho, Bella, Arief dan semua teman-temanku menyusul ayah.
***
Aku kembali berada di ruang ICU ini lengkap dengan segala peralatan pembantu agar aku tetap bertahan hidup.  Semua cemas menunggu diriku di luar, karena dokter Rusdi beserta suster yang menangani demi keselamatanku tidak memperbolehkan siapa pun untuk masuk dulu. Dokter Rusdi terlihat cemas dan gugup menghadapiku yang tergolek tak berdaya. Dipegangnya pergelangan tanganku merasakan denyut nadi yang sangat lemah. Berkali-kali selang infuse yang dipasangkan pada hidungku dilepas dan dipasang lagi oleh suster. Dokter Rusdi menyuntikkan jarum yang berisi cairan di lenganku. Berharap akan membuatku lebih baik namun hasilnya tetap nihil. Jantungku juga semakin lemah,
“Dok, pasien sudah sulit untuk bernafas. Kita harus bagaimana?”
“Kita sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi,” jawab dokter Rusdi pasrah. Dia keluar ruangan dengan wajah muram.
Dokter Rusdi menemui ayah dan ibuku untuk mengajak mereka ke dalam ruangan prakteknya.
“Dalam beberapa jam lagi, hati pasien sudah kehilangan fungsi. Racun dan sampah lain sudah terlalu banyak menumpuk dalam darah pasien. Hatinya sudah terlalu banyak berisi cairan sudah hampir membesar sebesar bola kaki,” ujar dokter Rusdi memberi penjelasan pada ayah dan ibu yang dengan cemas menanti perkataan dokter Rusdi selanjutnya.
“Kami meminta maaf khususnya saya sendiri, saya tak bisa berbuat apa-apa lagi.” kata dokter Rusdi terbata-bata, air matanya menetes keluar yang langsung dihapusnya dengan tangan.
“Maksud dokter? Kania tak bisa tertolong lagi?” tanya ayah dengan suara bergetar.
“Mungkin hanya malam ini saja jantung Kania masih berdenyut dan dia masih bisa hidup. Besok pagi itu semua akan berakhir karena racun yang menumpuk di hati telah beredar sampai ke jantung. Sepanjang pengalaman dan pengetahuan saya dalam menangani pasien kanker hati seperti itu. Namun saya berharap dugaan saya keliru untuk kali ini. Allah lah yang bisa menolong dan memutuskan apa yang terbaik bagi putri bapak dan ibu.”
Ayah dan ibu menangis mendengar semua penjelasan dokter. Sampai mereka telah keluar dari ruangan dokter Rusdi, semua yang telah menunggu terheran melihat ayah dan ibuku keluar dengan berlinang airmata.
“Apa yang terjadi Mbak?” tanya tante Aisyah cemas.
“Kania… Kania akan meninggal, racun sudah bertumpuk di hatinya. Hatinya akan segera kehilangan fungsi, Aisyah.” jawab ibu yang langsung memeluk tante Aisyah.
Semua tercengang mendengarkan perkataan ibuku. Mia tak bisa menyembunyikan sedihnya dan menangis, lari dalam pelukan tante Aisyah dan ibuku. Ridho adikku yang terlihat paling tabah biasanya, sekarang dia tak segan-segan juga menangis dalam pelukan ayahku. Bella, Fitri dan teman-temanku yang ada disana hanya bisa terdiam dan tertunduk. Arief berlari dengan kencang entah kemana setelah mendengar perkataan ibuku tadi.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang