Hari ke-14 (Orangtua Kandungku Telah Tiada)

3.6K 145 1
                                    

Aku buka jendela kamarku, udara masih begitu segar dan sejuk. Ku hirup dalam-dalam udara pagi ini, sambil bersyukur Allah masih memberikan nikmatnya kepadaku. Sehabis shalat subuh dan membaca Al Quran, aku memang terbiasa duduk-duduk di dekat jendela dan menikmati udara pagi. Rasanya aku mendapat energi baru hanya menghirup udara pagi yang segar. Sejenak aku termenung, mengingat mimpiku semalam. Aku melihat seorang wanita dan seorang pria sama-sama berpakaian serba putih dalam mimpiku itu. Mereka melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Herannya, wajah mereka tidak terlihat. Hanya yang jelas aku mendengar mereka mengucapkan “Selamat tinggal anakku. Kami akan menunggumu. Sebentar lagi kita pasti akan bertemu.”
Sudahlah daripada aku memikirkan mimpi itu terus, lebih baik memasak sarapan saja dan mencuci pikirku. Beranjak dari kursi dan menutup kembali jendela kamarku. Ku lihat ternyata Mia sudah tidur lagi. Aku keluar dari kamar, melirik ke kamar Ridho yang ternyata sudah kembali tertidur juga. Aku melangkah ke ruang tengah dan melihat ayah lagi menyusun dagangannya di atas meja. Ibu lagi menonton ceramah di televisi.
“Ayah, ibu. Mau makan apa pagi ini?” tanyaku.
“Ayah sih terserah Kania saja. Masak apa saja pasti ayah makan, masakan anak ayah ini selalu enak kok.” jawab ayah yang membuat aku jadi geer.
“Ibu juga nurut ayah deh. Ibu akui anak ibu ini memang masaknya enak-enak, kan bakatnya menurun dari ibunya.” kata ibu tersenyum dengan percaya diri.
Aku tertawa mendengar mereka bicara seperti itu. Segera aku melangkah ke dapur dan mengambil nasi putih serta bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Mie, telur dan bahan-bahan untuk memasak omelet juga ku siapkan. Kerupuk udang yang belum digoreng ku ambil secukupnya.
“Aduuuhhh….” teriakku  saat terpeleset mengambil air di kamar mandi.
“Kania, kamu kenapa sayang?” tanya ibu yang sudah menyusul ke dapur mendengar teriakanku.
“Kania terpeleset, Bu. Tadi mau mencuci peralatan masak. Mungkin karena licin jadi Kania terjatuh.”
Aku memegangi perutku, saat terjatuh tadi perut dan hatiku ikut sakit. Apa karena jatuhnya terlalu keras ya. Aku menahan perih di bagian hatiku saat ini. Namun aku tak ingin ibu tahu kalau aku merasaka sakit seperti ini.
“Ya udah, ibu antar ke kamar ya. Kamu istirahat saja. Biar ibu yang mencuci peralatan masak yang kotor. Masaknya sudah selesai kan?”
***
“Ini yang namanya Kania, Syah.” kata ibu memperkenalkan aku pada tamunya.
“Cantik sekali mirip Elysa masih remaja dulu.” kata tamu ibu sambil mengamatiku.
“Kania, tante ini namanya Aisyah. Dia datang dari Bandung. Sengaja kesini ingin bicara sesuatu yang sangat penting sekaligus ingin ketemu kamu, Nak.” kata ibu menjelaskan.
Aku menyalami tangan tante Aisyah. Tiba-tiba dia memelukku erat dan terlihat air matanya menetes. Sebenarnya ada apa, aku menjadi bingung. Tante Aisyah meminta izin pada ibuku untuk mengajak aku pergi sebentar. Aku menurut saja dan ikut naik ke Mercy tante Aisyah. Ternyata dia kaya sehingga mampu memiliki mobil mewah ini. Atas saranku, tante Aisyah mau ke danau buatan di sekitaran komplek perumahan OPI Jakabaring untuk mengobrol disana. Selain bisa menikmati pemandangan danau yang cantik, udara disana pasti sejuk dan buat betah ngobrol sore hari ini. Aku memesan dua jagung bakar pedas dan dua kelapa muda.
“Di Bandung juga ada kelapa muda seperti ini loh, Kan. Tante suka meminumnya, selain enak bisa untuk menjaga kesehatan.”
Tante Aisyah mulai mengajakku bicara. Wajahnya ayu dan lembut makin cantik dengan jilbabnya. Ada kemiripan diantara kami. Tapi kenapa bisa begitu ya, sebenarnya apa hubungan diriku dengan tante Aisyah.
“Kania, kamu sudah tahu kan kalau kamu bukan anak kandung ayah dan ibumu sekarang?” tanya tante Aisyah pelan-pelan takut menyinggungku.
“Iya tante.” aku tersenyum saja untuk menghilangkan perasaanku yang mulai cemas.
“Tante akan menceritakan semuanya sekarang, Kania. Tentang orang tua kandungmu dan siapa tante.”
Aku menunggu dengan perasaan yang makin cemas. Tanganku sudah meremas-remas ujung bajuku. Aku deg-deg an.
“Ibu kandungmu bernama Chairunnisa dan ayahmu Rachmat. Terpaksa ibumu menitipkanmu ke ibumu sekarang karena kamu harus diselamatkan. Ibumu akan menyusul ayahmu yang kala itu lagi di Singapura mengikuti pengadilan. Ayahmu dituduh menggelapkan uang perusahaan sebanyak 10 Triliun. Orang yang memfitnahnya adalah saingannya sendiri. Dia juga mengancam akan melakukan hal buruk padamu Kania. Ibumu yang kebingungan tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan kamu dulu. Setelah urusan selesai di Singapura ibumu berjanji akan menjemputmu kembali. Setelah 3 hari proses pemeriksaan, ternyata ayahmu terbukti benar dan orang yang memfitnah sudah ditangkap. Namun di perjalanan pulang. Pesawat yang dinaiki kedua orang tuamu tiba-tiba meledak. Semua penumpang tidak ada yang selamat termasuk ayah dan ibumu. Oleh karena itu, orang tuamu tak akan pernah menjemputmu untuk membawa dirimu pulang bersama mereka. Karena mereka telah tiada,Kania. Maafkan mereka ya sayang, terutama Nisa ibumu yang telah menitipkanmu pada orang lain. Nisa adalah kakak tante. Kania adalah keponakan tante. Tante sangat bahagia bisa bertemu kamu. Tante harap kamu dapat menerima ini semua dengan tabah.”
Aku seakan tak percaya ini semua. Semua penjelasan dari tante Aisyah. Kenapa jalan hidup aku dan orang tua kandungku seperti ini. Aku menangis dalam pelukan tante Aisyah. Dia yang juga menangis berusaha terlihat tegar. Kepalaku tiba-tiba pusing. Perutku mual, darah segar keluar lagi dari mulutku dan aku pingsan.
“Kania… Kamu kenapa? Kania, bangun!” teriak tante Aisyah.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang