Hari ke-15 (Sakit Ini Melemahkanku)

3.8K 149 4
                                    

Hal yang sangat tak ku inginkan adalah ketika aku membuka mata dan ternyata aku berada di rumah sakit lagi. Aku baru sadar pagi ini dari pingsanku. Ayah dan ibu melihatku telah siuman langsung memelukku. Wajah mereka tersirat kesedihan yang mendalam. Tak berapa lama kemudian tante Aisyah masuk. Aku tersenyum padanya. Dia juga langsung memelukku.
“Maafkan tante, Kania. Tante tidak tahu kalau kamu terkena kanker hati stadium lanjut. Tante begitu cemas dan khawatir ketika kemarin kamu muntah darah yang cukup banyak dan lagsung pingsan. Maafkan tante.” tante Aisyah berkata terbata-bata.
“Gak apa-apa tante, udah biasa kok Kania seperti ini.” kataku menenangkan tante Aisyah yang seakan ingin menangis lagi.
Sakit sekali terasa di hatiku. Aku memegang perutku dan merasakan ada yang berbeda ,saat teraba di bagian tertentu, ku rasakan sakit yang sedikit perih. Wajahku yang meringis kesakitan, membuat ibu dan ayah serta tante Kania khawatir.
“Kamu kenapa sayang? Sakit ya, dimananya?” tanya ibu cemas.
“Hati Kania perih, Bu. Perut Kania juga rasanya sakit dan mual.” jawabku menahan sakit ini.
Ayah langsung menghubungi suster lewat alat pemanggil di kamar ini. Dokter Rusdi datang memeriksaku. Wajahnya tampak sedikit cemas. Alat yang ditempelkan di dekat hatiku itu membuat raut wajah dokter Rusdi berubah saat mengamati apa yang ditunjukkan alat itu.
“Bapak, ibu, hati Kania semakin membesar. Saya akan berusaha mencari obat yang menghambat pertumbuhan hatinya.” kata dokter pada orang tuaku.
“Kania harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu banyak berpikir yang bisa membuat hati tertekan ya!” pesan dokter Rusdi padaku.
Wajah ayah dan ibu serta tante Aisyah menggambarkan kesedihan mendengar penjelasan dokter tadi. Aku pun agak takut dan cemas. Sampai sebesar apakah hatiku ini akan bertahan. Apa umurku sebentar lagi Ya Allah?
***
Aku memandang langit siang ini dari jendela kamar rumah sakit yang kebetulan berada dekat tempat ku berbaring. Langit cerah kebiruan, awan putih yang bertebaran begitu banyak. Ingin aku berjalan keluar. Namun aku belum boleh beranjak dari tempat tidur. Tanganku yang terasa perih karena sudah berkali-kali di suntik jarum untuk memasang selang infus agak kaku untuk digerakkan. Aku berusaha untuk bangun saja dan duduk. Alhamdulillah bisa. Perutku lebih sedikit membesar lagi setelah ku perhatikan. Warna kulitku juga kembali menguning. Seingatku kemarin sudah tak menguning lagi. Sudahlah, semua ini takdirku. Aku hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi padaku selanjutnya, yang penting aku harus melakukan yang terbaik selagi aku masih punya kesempatan.
Dari balik pintu Mia dan Ridho menongolkan kepala mereka dan tersenyum ceria. Mereka baru datang menjengukku. Ridho yang masih dengan seragam SMA nya dan Mia yang membawa buku kuliahnya menunjukkan jika mereka langsung kesini belum pulang ke rumah.
“Mbak, Mia bawakan hp dan diary mbak nih. Gimana keadaan mbak sekarang?” kata Mia
“Alhamdulillah baik, Dek. Makasih ya.” jawabku.
“Mbak Kania, kenapa masuk rumah sakit lagi? Kapan mbak benar-benar akan sembuh?” tanya Ridho yang membuatku sedih mendengarnya.
“Mbak akan segera sembuh. Ridho doain mbak ya.” aku menjawab pertanyaannya dengan suara yang terlihat ceria.
Bosan yang aku rasakan sekarang. Ingin sekali melakukan sesuatu dan bergerak bebas. Tapi, masih dilarang dengan alasan aku baru saja dirawat jadi belum boleh beranjak dari tempat tidur. Kamar rumah sakit yang ku tempati kali ini memang sangat nyaman. Ada sofa lengkap dengan meja dan lemari besar. Ada televisi, kulkas mini dan AC. Kamar yang wangi dan tidak bau obat seperti kamar-kamar yang pernah ku tempati kemarin-kemarin. Tentu biaya kamar ini sangat mahal.
Aku mengingat perkataan ibu beberapa jam yang lalu, semua biaya rumah sakit dan perawatan kali ini tante Aisyah yang menanggungnya. Hal yang buatku tak percaya ternyata semua itu diambil dari harta warisanku. Aku mendapat warisan dari orang tua kandungku yang sangat kaya. Perusahaan-perusahaan masih dikelola tante Aisyah dan keluarganya. Tapi itu semua atas namaku. Aku tak percaya kalau ternyata aku pewaris tunggal harta kekayaan orang tua kandungku. Aku harus bagaimana menanggapi kenyataan ini. Aku harus bahagia atau malah bersedih. Mungkin dua-duanya. Bahagia karena harta itu dapat membantu orang lain nanti dan bersedih apa aku sanggup memelihara harta itu dan membawanya ke jalan yang lurus sesuai perintah-Nya. Semoga aku sanggup Ya Allah menerima titipan dari-Mu ini.
***
Terbangun dari tidurku malam ini karena aku merasa ada sesuatu yang terasa mau keluar dari mulutku. Cepat-cepat ku raih kantong plastik yang berada di meja samping. Untuk yang kesekian kalinya aku memuntahkan darah segar lagi. Kepalaku terasa berat. Aku menangis tanpa bersuara sambil memegangi bagian hatiku yang seakan berdenyut-denyut. Setiap detik mengundang sakit yang amat perih. Tubuhku berkeringat dingin. Ingin membangunkan ibuku yang lagi tertidur pulas di sofa. Tapi aku tak tega membangunkannya. Hanya terus berdoa meminta pada Allah yang bisa ku lakukan agar rasa sakit ini dapat segera hilang.
“Ya Allah. Hamba-Mu merasakan sakit yang amat perih saat ini. Hamba meminta pertolongan-Mu, hilangkan rasa sakit ini ya Allah. Hamba begitu lemah dan tak tahu harus bagaimana saat ini. Hamba yakin ini adalah ujian dari-Mu dan hamba pasti mampu menghadapinya. Engkaulah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Engkau juga Maha Penyembuh berbagai penyakit. Amiin Ya  Rabb.” doaku dalam hati.

GOODBYE MY DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang