[3] Skinship?

28.1K 1.7K 55
                                    

Flashback


"Lo emang harus pulang duluan, Sha. Lagian juga kelas kita nggak ada guru karena Pak Dirman nggak datang ke sekolah hari ini, jadi nggak apa-apa kalau lo izin pulang dulan."

Shasa menghela napas panjang. Terduduk lesu di salah satu bangsal di UKS sekolah. Belum lama ini darah rendahnya kambuh. Shasa masih ingat bahwa seharian ini dirinya belum memberikan asupan makanan berat untuk tubuhnya yang kurus. Ditambah hari ini kelasnya ada pelajaran olahraga yang semakin menguras tenaganya yang tidak seberapa. Pada akhirnya, menjelang mata pelajaran akhir tubuhnya tumbang begitu saja hingga membuat teman-temannya langsung panik.

"Nih, diminum lagi tehnya," Salma memanglah orang yang merawat Shasa dengan telaten hari ini. Mengingat Salma mengikuti ekstrakulikuler PMR, dialah yang bergerak cepat tadi. Bahkan rela membelikan makanan untuk bisa mengganjal perut Shasa. "Eh, iya, Siti! Bikinin surat izin ke guru piket buat Shasa, gih!"

"Oke!" Siti yang ikut menemani Shasa langsung beranjak keluar ruangan.

"Maaf, ya, gue udah bikin kalian repot," ringis Shasa merasa tidak enak.

"Jangan dipikirin. Siapa sih, yang nggak panik lihat lo jatuh pingsan kayak tadi?" sahut Yuni dengan wajah cemasnya. "Baru kali ini, loh, kita nanganin lo yang udah nggak sadarkan diri kayak tadi. Bahkan anak-anak cowok juga ikutan panik!"

"Maaf. Gue emang sering banget ngerepotin..."

"Duh, Shasa, jangan minta maaf! Kita ngerti, kok, lo juga pasti nggak mengharapkan ini. Kita justru khawatir sama lo." Dea yang tak lain adalah teman sebangku Shasa mulai tidak senang akan sikap temannya itu. Ia merangkul pundak Shasa pengertian. "Kalau ada apa-apa, bilang ke kita terutama gue. Hal kayak gini nggak bisa disepelekan, Sha. Kalau lo maksain diri, itu bisa fatal di lo-nya juga."

Mereka yang ada di ruangan itu mengangguk membenarkan ucapan Dea.

"Jadi jangan sungkan-sungkan minta tolong, Sha. Jangan karena lo merasa nggak mau ngerepotin, lo justru nyembunyiin yang malah bikin lo tambah sakit," timpal Salma.

Tentunya Shasa merasa terenyuh dengan perhatian sungguh-sungguh dari mereka. Rela menemaninya di sini bahkan merawatnya. Tubuhnya yang kurus ini memang kerap kali drop akibat dari kegiatan sekolahnya yang teramat padat. Setidaknya dalam satu bulan dia pasti akan merasakan sekali maupun dua kali masuk UKS. Merupakan hal yang memalukan baginya, menjadi orang bersistem imun lemah seperti dirinya sangatlah tidak nyaman. Tapi Shasa bersyukur karena teman-temannya mau mengerti akan kondisinya dan bersedia membantu.

Atensi mereka teralihkan kala seseorang datang, meski wajahnya tampak berkeringat mengingat habis berlari dari lantai teratas tempat kelas mereka berada, ekspresinya justru tampak sumringah dengan senyum mengembang penuh arti.

"Eh, Shasa udah dibuatin surat izin?" Dian berkata di sela-sela deru napasnya yang berat akibat berlari-lari.

"Lagi dibikin sama Siti. Gimana? Ada yang mau?" Salma menyahut lebih dulu.

Dian baru saja menjawab dengan anggukan ketika mata mereka kemudian melebar melihat siapa yang sudah berdiri di belakang gadis itu. Detik kemudian mereka beralih memeriksa Shasa yang ternyata terdiam dengan raut tidak percaya di tempat.

Melihat lelaki itu datang dengan memikul tasnya, mengacungkan tas lain di tangannya yang diyakini milik Shasa, menjatuhkan tatapan tak terbacanya ke dalam ruangan itu, tepatnya pada Shasa.

"Gue yang antar Shasa pulang," ujar Adiran dengan pasti.


&&&

(un)Expected 21stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang