Prolog

39.1K 1.9K 27
                                    

"Jadi, Shasa, lo suka sama Adiran atau enggak?"

Gadis yang diberi pertanyaan telak itu mendadak kaku di tempat duduknya. Membiarkan dirinya menjadi tontonan dari mata teman-temannya yang sudah mulai mengumbar senyum jahil bahkan ada yang mulai menyorakinya.

Saat ini dirinya memang sedang berkumpul dengan teman-teman sekelas di teras rumah milik temannya yang bernama Rani. Duduk bersila membentuk lingkaran besar di mana di tengah lingkaran terdapat botol sirup yang sudah kosong berhenti dengan bagian mulutnya berhenti menghadap Shasa seolah menunjuk dirinya. Di hari yang sudah gelap namun tidak ada yang mau beranjak pulang mengingat ini merupakan hari terakhir sebelum mereka akan tercerai-berai di semester baru nanti, Shasa terpaksa mengikuti permainan yang akrab disebut Truth or Dare, meski kebanyakan dari mereka lebih memilih Truth ketimbang Dare.

"Kenapa sih, pertanyaannya harus itu?" Shasa mengajukan protesnya. Pipinya mulai merona, untung saja kondisi teras bercahayakan lampu temaram hingga tidak ada yang menyadari reaksinya itu.

"Jawab, lah! Kan lo sendiri yang minta Truth."

"Mumpung Adirannya lagi di depan lo, jadi jawab aja!"

Nah, itu dia masalahnya. Objek pertanyaan yang diajukan oleh Dian memang ada di antara mereka, duduk berseberangan dengan Shasa yang sudah malu bukan main. Matanya terus saja bergerak gelisah tidak berani menghadap ke depan di mana lelaki itu ada di sana.

"Tinggal jawab iya atau enggak, Sha. Nggak susah kok," ujar Dian, si pengaju pertanyaan kini mengulum senyum penuh arti.

Shasa mulai ketar-ketir. Diam-diam dirinya berdebar-debar menanggapi hal ini. Selama ini, pertanyaan semacam itulah yang dia harapkan tidak akan ditujukan padanya. Karena Shasa tidak mungkin menjawab dengan jujur. Mau ditaruh di mana wajahnya nanti? Apalagi lelaki itu ada di hadapannya, mungkin juga menunggu jawabannya. Jika dia menjawab, bukankah itu berarti Shasa sudah mempermalukan dirinya sendiri?

Karena Shasa tidak yakin lelaki itu juga memiliki rasa yang sama dengannya.

"Enggak. Gue nggak suka sama Adiran."

Saat itu juga, Shasa menyesal akan jawabannya. Hanya demi menyelamatkan harga diri, Shasa justru membohongi teman-temannya, terutama Adiran, juga dirinya sendiri.

"Kalau Adiran sendiri suka sama Shasa?"

Mereka semakin heboh ketika Dian justru mengajukan pertanyaan pada lelaki itu. Shasa bahkan harus melotot karena teman sekelasnya yang terkenal pintar di bidang hitung-menghitung itu bertanya tanpa menghiraukan peraturan permainan. Bukankah itu namanya melanggar peraturan karena sudah mengajukan pertanyaan kepada yang seharusnya belum mendapatkan giliran?

Tapi di sisi lain, dengan bodohnya Shasa menunggu lelaki itu membuka mulut demi merespon pertanyaan Dian. Meski dia berusaha untuk tidak menatap lelaki itu terang-terangan, diam-diam telinganya bersiaga demi mendengar suara berat yang entah sejak kapan menjadi suara kesukaannya itu mengalun.

Namun, Shasa terpaksa merasakan batinnya mencelos ketika Adiran akhirnya menjawab. Memangnya, apa yang Shasa harapkan dari jawaban lelaki itu mengenai dirinya? Tidak mungkin sekali Adiran menjawab seperti yang ada di bayang-bayangnya.

"Biasa aja."

edited 17/01/05

(un)Expected 21stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang