[9] Too Much...

16.5K 1.4K 34
                                    

Kening di balik poni Shasa mulai menunjukkan reaksi. Pupil di balik kelopaknya bergerak, mencoba membuka perlahan-lahan dan membiasakan diri. Untuk beberapa saat Shasa hanya bisa terpana melihat di mana dirinya sekarang, sudah duduk di dalam mobil, terikat dengan sabuk pengaman dan di depan sana adalah pemandangan jalan raya yang ramai.

Bukankah sebelumnya Shasa masih berdiri di depan gedung bersama Adiran? Kenapa ... sejak kapan Shasa berada di sini?

Shasa mendesis pelan, seperti ada yang berdenyut keras di dalam kepalanya hanya karena sedang berusaha mengingat-ingat. Ternyata menarik perhatian seseorang di sebelahnya yang tengah fokus mengemudikan setirnya.

"Mendingan?"

Shasa menoleh pelan, justru memudahkan Adiran untuk menggunakan tangan bebasnya menyingkap anak-anak rambut Shasa, menyentuh keningnya dengan punggung tangan yang malah membuat Shasa merasa nyaman.

"Kenapa lo nggak bilang kalau capek?" Adiran beralih memegang persneling, menumbuk fokusnya ke depan lagi.

"Gue nggak merasa capek," suara Shasa terdengar serak. "Terkadang memang begitu," lanjutnya setelah mengatur napas, rasanya masih berat sekali.

"Jadi selama ini lo masih suka begitu?"

Shasa tidak mengangguk maupun menggeleng, tetapi keterdiaman Shasa cukup bagi Adiran untuk menarik kesimpulan.

"Apa gunanya terapi kalau dari lo sendiri belum bisa atur diri, Sha? Kebiasaan begadang lo aja belum juga hilang. Percuma kalau lo masih suka nyiksa badan sendiri kayak gitu. Lo masih bisa kambuh kapan aja kayak tadi."

Shasa hanya berani melirik Adiran di balik poninya yang sudah memanjang. Menggigit bibir bawah diam-diam, sedikit tersindir akan teguran Adiran yang tiba-tiba menjadi peka terhadapnya. Mengingat memang semalam Shasa tidak bisa tidur—gara-gara memikirkan lelaki itu—ditambah belum mendapat asupan karbohidrat sejak pagi tadi.

"Kapan terakhir kali lo makan?"

Nah, baru juga diomongin.

"Kemarin?"

"Apa?!"

Shasa terlonjak kaget mendengar seruan tiba-tiba dari Adiran. Langsung berubah ngeri ketika melihat lelaki itu menoleh padanya untuk beberapa sekon dengan pelototan tajam sebelum kembali menyorot ke depan.

"Kemarin? Lo kira itu perut robot yang nggak perlu dikasih makan?"

"Gue nggak merasa lapar."

"Itu mulut lo. Tapi perut lo yang kelaparan, Sha. Kenapa sih, dari dulu lo susah banget buat makan? Badan lo itu kurus jadi nggak ada lagi alasan buat lo melakukan semacam diet!"

Kenapa hanya karena mendengar Shasa belum makan, Adiran jadi marah-marah seperti ini, sih? Sudah cukup Shasa melihat Adiran marah seperti di depan gedung tadi sampai Shasa hilang kesadaran, ditambah lagi dengan yang ini, seperti bukan gayanya Adiran sekali.

"Gue nggak nafsu makan," tapi Shasa masih saja meladeni dengan membuat dalih.

"Terus aja bilang nggak nafsu. Selama lo sama gue, semua alasan lo nggak bakal mempan buat gue, Sha."

Lalu Adiran memainkan setirnya, membelokkan kendaraan ini ke jalanan lain yang baru Shasa sadari bahwa lelaki itu membawa mereka ke sebuah restoran cepat saji. Untuk yang ini Shasa tidaklah bodoh akan apa tujuan lelaki itu membawanya kemari. Hanya saja, apa mungkin Adiran akan memaksanya untuk makan?

Shasa hanya bisa menurut ketika Adiran menyuruhnya untuk turun begitu mobil ini terparkir manis di pelataran. Melepas sabuk pengaman tanpa minat lalu membuka pintu yang langsung menemukan keberadaan Adiran yang ternyata langsung membantunya turun dari dalam.

(un)Expected 21stTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang