Niall Horan - Part 1

180 10 1
                                    


Kepalaku terasa mau pecah, seperti yang kurasakan hampir setiap hari pada beberapa minggu belakangan ini, tapi kurasa malam ini yang paling parah. Aku hampir tidak melihat tangga kecil di teras rumah, dan kakiku terasa sangat nyeri. Aku menggerutu pelan sambil membuka heels-ku. Ketika masih berusaha membuka heels kaki kiriku, pintu depan terbuka. Disana berdiri sebuah figur yang tegap, menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Bukannya aku bisa melihat bagaimana dia menatapku, tapi aku tahu, karena emandangan itu kulihat setiap dalam keadaan seperti ini. Kudengar dia menghela napas dengan pelan. Kata-kata maafku seperti menumpuk di tenggorokan, memaksa untuk keluar, tapi tidak bisa. Kakiku nyeri, dan aku tidak bisa mengangkat seluruh beban tubuhku, jadi yang kulakukan hanya duduk lemas di aspal dingin. Figur itu berlari menghampiriku.

"Kau perlu istirahat." katanya dengan lembut di telingaku, mengirim beberapa sensasi aneh ke tubuhku, seperti biasa. Aku hanya mengangguk tidak jelas, lalu melingkarkan kedua lenganku di bahunya.

...

Sinar matahari yang entah datang dari mana seperti membakar kelopak mataku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu melihat sekeliling kamar, berusaha menemukan seseorang yang seharusnya berada di sebelahku. Aku mengangkat satu alis ketika tidak melihat tanda-tanda kehadirannya. Ada pil di meja sampingku, aspirin. Aku menelannya lalu meminum air putih yang juga tersedia di atas meja itu. Aku kembali berbaring dengan pelan, kepalaku masih terasa berdenyut-denyut. Aku menatap sekeliling kamar lalu melihat sebuah kaos besar di sandaran kursi, kaos band rock lama kesukaannya yang sudah compang-camping. Itu miliknya, tapi setelah beberapa saat kami berjumpa, baju kaos itu lebih seperti milikku, walaupun dia masih memakainya di beberapa waktu. Aku merasakan rindu memenuhi seluruh tubuhku, rindu dengan bahan lembut kaos itu bergesek dengan kulitku, rindu dengan aroma pemilik aslinya. Aroma Niall. Niall-ku.

Aku berguling ke bantal Niall yang berada sejajar dengan bantalku, ingin merasakan aromanya memenuhi indra penciumanku. Tapi saat aku menenggelamkan seluruh wajahku di bantal itu, aku hanya menemukan aroma bunga-bungaku, bukan aroma musim panasnya. Aku mengerutkan dahi, lalu kembali ke bantalku, ini juga aromaku. Aku akan pikirkan hal itu nanti, saat ini yang kuinginkan hanya untuk merasakan sebagian dari dirinya didekatku, atau apalah. Aku bisa saja mengambil parfumnya di meja rias, tapi tidak, itu bukan aroma Niall, itu aroma pafrum Tom Ford biasa.

"Niall," kataku, tidak ke siapa-siapa. Aku hanya berharap, entah bagaimana, dia mendengarku dimanapun dia berada, lalu menghampiriku disini. Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi, jadi aku hanya kembali tertidur, dengan pikiran yang dipenuhi dirinya.

Ketika bangun untuk kedua kalinya pada hari itu, matahari sudah setengah tenggelam, langit berwarna orange indah, tapi sekali lagi, aku tidak menemukan Niall disebelahku. Setelah menggosok gigi dan membasuh mukaku dengan air, aku turun ke bawah untuk mengecek Niall. Dia sedang duduk di sofa, kedua matanya terpaku ke televisi, tapi pandangannya kosong. Dia berbalik ketika menyadari keberadaanku—kemungkinan dari suara langkah kakiku.

"Selamat sore!" kataku dengan riang, tapi Niall menatapku dengan kosong seperti dia menatap televisi tadi.

"Hey." katanya, lalu menunduk ke arah pangkuannya.

"Ada apa, Niall?" kataku begitu duduk di sampingnya, dia mengangkat satu tangan ke pipi, kemudian kusadari kalau dia menangis.

"Niall? Kenapa kau menangis? Ada apa?" aku mengangkat kedua tangan untuk memeluknya tapi dia menepis sentuhanku. Aku memandangnya degan sedih. Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku juga tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu, ada yang terjadi. Oke, aku tahu persis apa yang terjadi. Niall menghela napas, lalu menghapus air matanya lagi, aku hanya menunduk ke kedua tanganku di pangkuan.

"Aku..."aku berusaha memulai, tapi kata-kataku seperti menolak untuk dikeluarkan, tenggorokanku terasa sakit. Tentu saja Niall akan mengetahuinya. Pria itu mengantarku semalam. Aku sangat bodoh untuk sempat berpikir kalau Niall akan menjadi sebodoh itu. Aku sangat bodoh untuk berlagak semuanya baik-baik saja padahal tidak ada yang baik-baik saja. Aku sangat bodoh untuk pura-pura menjadi tidak tahu apa-apa saat aku turun dari tangga itu. Aku sangat bodoh untuk pura-pura kaget pada pagi hari dimana tidak kutemukan dia disampingku.

"I really fucked it up this time, didn't I, Niall?"aku tersenyum kecil, tapi pipiku sudah basah. Aku tersenyum mengingat bahwa dulu, aku sangat khawatir pada cintaku kepada Niall, aku sangat takut dia akan meninggalkanku, dia akan mengkhianatiku, menodai cinta kita. Tapi lihat sekarang. Aku menyakitinya. Aku melakukan hal-hal yang kutahu akan merusak apa yang sudah kita bangun selama ini. Niall menggeleng-geleng, dia bersandar di punggung sofa dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Aku bergeser untuk mendekatinya. Aku menyentuh punggung tangannya, dia tidak menggubrisku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, lalu mencium lehernya. Ini akan menjadi terakhir kalinya aku merasakan kulitnya, dan aku akan berusaha untuk merasakan sebanyak yang kubisa, agar bisa mengenangnya nanti.

"Didn't I, my dear?"bisikku ke telinganya, bahunya mengguncang keras. Hatiku teriris mengingat aku alasan dibalik semua ini. Tangis Niall bertambah keras, jadi aku bergerak perlahan untuk menjahuinya, mungkin dengan jarak yang jauh dariku, sakit itu akan berkurang.

Kami hanya duduk diam disana, aku dengan air mata yang terus mengalir tapi tidak mengeluarkan suara, dan Niall yang menangis segugukan. Aku menghela napas, lalu mulai berdiri dari sofa.

"M-mungkin lebih baik aku pergi," kataku sambil memandang jari-jari kakiku. Niall tidak berbicara sama sekali. Tapi setelah beberapa langkah, Niall mengucapkan sesuatu, yang refleks membuatku menghentikan langkahku.

"Aku tidak mau kau pergi, bagaimana kau bisa berpikir kalau aku bahkan ingin melepaskanmu dari diriku? Aku mencintaimu! Sialan." Niall menatapku dengan emosi-emosi yang tidak bisa kudeskripsikan, aku menatapnya dengan takut, tapi dengan penuh kasih sayang juga. "tapi aku melihatnya, aku merasakannya. Aku melihat bekas-bekas mulut brengsek itu di tubuhmu, menurutmu bagaimana aku harus bereaksi? Berdiam diri dan membohongi diriku bahwa hal itu tidak menyakitiku padahal itu membuatku seperti aku telah kehilangan bagian dari diriku? Aku mencium baunya di tubuhmu! Dia mengantarmu semalam. Dia bahkan menciummu, sialan. Apa aku harus menjelaskan perasaanku, Y/N?" muka Niall memerah lebih dari yang pernah kulihat. Air mataku mengalir lebih keras.

"Maafkan aku. Aku menyesal, aku sangat—"

"Aku tahu masalah itu berat untukmu dan kau perlu keluar untuk melupakan segalanya, aku menerimanya, aku mengerti. Aku membiarkanmu keluar sendirian, seperti permintaanmu. Kau keluar setiap malam dalam beberapa minggu ini. Aku tahu kau berusaha untuk merasa lebih baik dan melupakan segalanya, tapi, bagaimana denganku, Y/N? Bagaimana dengan perasaanku? Dulu kau selalu mengatakan kalau kau sangat peduli tentang kebahagiaanku, tapi lihat sekarang, kau menghancurkannya dengan sangat gampang." suara Niall terdengar sangat kecil dan lemah, dan aku tidak menginginkan sesuatu selain memeluknya sekarang.

"Maafkan aku Niall. Aku—aku.." aku menundukkan kepalaku lagi, kali ini dengan kedua mata yang tertutup.

"Kata maaf tidak akan melakukan apa-apa." kata Niall, aku mengangkat kepalaku, dia sedang menunduk ke pangkuannya.

"Aku tahu, aku hanya ingin kau tahu kalau aku sangat menyesal..." Niall hanya mengangguk, lalu berdiri.

"Aku perlu keluar sebentar," dia menatapku sebentar, lalu mengalihkan tatapannya ke pintu. "aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku." lalu dia pergi, meninggalkanku berdiri terpaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One Direction ImaginesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang