05

273 7 0
                                    

Mobil itu menepi ke gerbang rumah gadis itu. Gadis itu dengan segera keluar dari mobil, tak lupa memberikan ucapan terimakasih tidak seperti kejadian waktu itu. Salsa berjalan sempoyongan menuju pintu utama, nyelonong masuk tanpa mengucap sepatah kalimat salam. Di ruang tamu, Leon sudah menunggunya sambil menaikkan alisnya. Salsa sudah tahu akan yang terjadi nantinya.

"Salsa," suara bernada tinggi menyumpal telinga Salsa.

"Tadi gue telfon, kenapa lo nggak angkat? Gue telfon sampai dua belas kali tau."

"Oh, statusnya hape gue di silent," balas Salsa santai seraya mengecek ponselnya. Ternyata benar Leon telah menelfonnya dua belas kali.

"Lo itu kenapa sih bang? Sensi amat sama gue. Gue nggak papa. Gue udah gede."

Daisy yang tengah melihat kejadian itu di sofa ruang tamu hanya geleng-geleng kepala.

"Dais, kayaknya besok kita harus panggil ceweknya abang Leon deh. Dia diajak ke sini aja biar tau gimana kelakuan cowoknya. Gue yakin bang Leon nggak bakalan suka marah lagi sama kita kalo ceweknya di sini. Lo tau kan siapa ceweknya?" Daisy beranjak dari sofa, menghampiri Salsa, lantas menimpali, "Bagus juga ide lo. Namanya kak Sherly. Denger-denger sih satu jurusan sama abang Leon, jurusan ekonomi."

Leon saat ini menempuh pendidikan kuliah. Jarak umurnya dengan adik adiknya berkisar tiga tahun. Saat ini dia memang memilih jurusan ekonomi. Mungkin dia memilih jurusan itu karena dia suka lihat berita tentang krisis ekonomi. Hatinya tersentuh mungkin.

Leon mengacak rambutnya frustasi, dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan, "Ada tamu di kamar lo, Sal."

"Fime*, kan?" tebak Salsa.

"Lo punya ilmu item, ya? Kok lo tau tamunya itu Fime?"

"Firasat gue lebih gede bang. Gue punya firasat kuat atas Fime."

Tanpa menunggu balasan dari Leon, Salsa langsung berlari secepat kilat menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Langkahnya menyusuri anak tangga hingga menimbulkan suara 'Tap-tap-tap' Setelah sampai di daun pintu, Salsa membuka knop pintu. Di sana terdapat sosok familiar sedang membaca novel, telinganya disumpal oleh headseat. Tubuhnya direbahkan di atas kasur, kepalanya terangguk-angguk menandakan bahwa dia sedang menikmati musik yang didengarnya. Pantas saja Fime tidak mendengar adu mulut di bawah tadi. Syukurlah, batin Salsa.

Salsa mulai melakukan aksi jahilnya, dia melepas paksa headseat itu sehingga membuat kepala Fime memutar tertoleh kepadanya.

"Apaan sih?"

"Lo ngapain tiba tiba dateng ke sini? Seharusnya lo bilang dulu. Lo jadi nunggu gue, kan?"

"Udah nggak papa." Kali ini Fime duduk tegak berhadapan dengan Salsa, diletakkan novelnya dan memulai pembicaraan yang cukup serius, "Alvi masih--"

"Hidup," potong Salsa cepat.

Fime juga termasuk sahabat kecil dari Salsa. Sekiranya sahabat dari kecil, dari lahir selalu bareng. Mereka sudah menjalin hubungan 16 tahun. Meskipun pernah terjadi sebuah pertengkaran, tapi mereka mengetahui kalau suatu hubungan tidak ada pertengkaran, maka tidak akan tahu bagaimana dahsyatnya efek hidup. Salah satu dari mereka pasti akan lebih memilih untuk saling mengalah satu sama lain. Sementara persahabatannya dengan Billy dan Alvi baru menjalin sekitar mereka masuk ke jenjang SMP. Akan tetapi, Fime lah yang tidak satu sekolah waktu SMP itu. Jadi, wajar kalau mereka jarang saling bertemu dengan Fime.

"Lo tau darimana?" Fime memandang lekat lekat iris mata cokelat Salsa.

***

"Lo itu sialan banget."

"Halah, lo suka sama gue, kan?"

"Gue terpaksa ngelakuin itu karna Baran."

"Jadi lo suka sama Baran?"

"Haduh, capek ya ngomong sama orang bego."

"Apa? Bemo?"

"Nggak taunya lo juga budeg."

"Meskipun gue budeg tapi gue ganteng, ya kan?"

"Jijik gue."

Salsa baru bergerak maju ke dalam kelasnya, sudah disuguhi pandangan adu mulut antar Vani dan Rival. Pandangan yang sudah biasa bagi dia, memang hampir tiap hari mereka selalu berantem. Dia lebih memilih untuk meletakkan tasnya di bangkunya, lalu gabung ke gerombolan Baran dkk. Mereka membicarakan mulai dari masalah Vani dan Rival sampai ujung-ujungnya kegiatan balapan.Moto GP. Lomba itu disiarkan kemarin malam di televisi. Tentu Salsa menonton dan kebetulan dia mengajak Fime juga ikut menonton.

"Seharusnya kemarin itu Lorenzo yang menang."

"Pasti tetep 93 yang menang kali," sahut Salsa tak mau kalah sambil tersenyum kemenangan.

"Kemarin Rossy sempet kecelakaan." sahut Baran.

"Iya, gara-gara kesalahannya sendiri."

"Oke, kemarin kalian pada liat Arema Cronus nggak? Arema versus Persija. Gue liat tuh, sayangnya kemarin Arema sempet kebobolan," sesal Salsa sembari mengalihkan pembicaraan.

"Udah nggak papa, kemarin kan Arema tetep menang."

Mereka tetap saling bercanda tawa. Saking sibuknya sendiri, mereka tidak tahu bahwa suasana kelas saat ini sedang heboh. Mungkin kalau heboh sudah biasa, tapi kali ini hebohnya itu karena ada sosok yang datang ke kelas X-3. Segerombol Salsa dkk, malah menyanyikan lagu Arema dengan judul Salam Satu Jiwa.

Kami arema salam satu jiwa
Di Indonesia kan slalu ada
Slalu bersama untuk kemenangan Kami arema
Ye..memang benar arema slalu bikin biru sebiru langitku
Bebas tanpa paksa bergerak bersama
Dimanapun tempat singgah arema
Slalu ada dan ada kala.
Kadang kalah kadang menang itu pertandingan
Biasa saja dukungan sepenuhnya aremania aremania
Salam satu jiwa

Salsa mengulang lirik lagu terakhir, "Salam satu-"
 
Nyanyian yang dinyanyikan Salsa dipotong oleh dorongan dari belakang yang mengenai pundaknya cukup keras. Gadis itu sontak menoleh ke belakang sambil menautkan alisnya.

"Lo lagi dicari sama senior di depan kelas. Dia nunggu tuh, lo lama banget sih. Udah sana buruan," semprot Livia.

Salsa langsung berjalan keluar kelas dengan langkah penuh tanya. Siapa sih yang mau mencari sosok Salsa? Setahu dia, dia baru kali ini ada senior yang mencarinya tanpa alasan yang jelas. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Dilihatnya senior itu dari ujung kaki ke ujung kepala, memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidak salah. Berkali-kali dia mengerjap-ngerjapkan matanya mencari kejelasan itu. Salsa berfikir sejenak bahwa selama ini dia tidak pernah mempunyai gangguan mata, rabun jauh, rabun dekat, presbiopi, buta warna, dll. Pokoknya tidak pernah, kalau tidak mengalami gangguan mata berarti yang dilihatnya itu benar. Sosok itu membelakangi Salsa. Sosok itu tinggi, tinggi Salsa pun hanya sepundaknya.

"Deva," panggil Salsa keras. Sebenarnya ada sedikit rasa sebal karena Deva mengganggunya ketika Salsa sedang sibuk. Kalau Salsa lagi membahas sesuatu yang disukainya maka dia tidak bisa diganggu. Tapi, kalau membahas tentang seorang cowok, dia lebih memilih angkat tangan, pergi ke tempat lain. Maksudnya cowok cowok sekolahan gitu.

Cowok itu berbalik badan, menatap lekat lekat gadis di depannya, lantas tertawa.

"Kok ketawa sih ada yang salah sama gue?" tanya Salsa heran. Ni senior kok ketawa sendiri kayak ada angin lewat yang buat dia kayak gini. Mungkin otaknya belum balik ke tempat semula, masih geser. Sumpah gila ni orang, batin Salsa.

"Lo ngapain ke sini? To the point aja,nggak usah gaje* gitu."

***
*Fime bacanya Faim
*Gaje singkatan dari Gak Jelas.

°°°
Ayo, siapa yang tahu kenapa Deva ketawa sendiri terus dateng ke kelas Salsa. Vomment jangan lupa :v

Selasa, 10 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang