13

174 5 0
                                    

From: Fime

Gue tunggu di taman Erly bareng Billy.

Gadis yang membaca pesan singkat itu terlonjak kegirangan di atas kasur nya. Rambutnya yang tergerai lurus di punggungnya bergerak kesana kemari. Dia langsung membuka lemari pakaiannya dan sibuk memilih baju yang pas untuknya khusus saat ini. Mulai dari dress, tak cocok karena kesannya terlalu feminim. Baju jersey sepak bolanya, terlalu tomboi dan kayaknya udah kotor. Berkali kali dia mengacak acak lemarinya. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah kaos distro dengan garis garis putih di bagian siku dilengkapi celana selutut. Dia tak suka membawa tas selempangnya. Bahkan, dia tak punya benda itu. Jadi, dia taruh ponsel genggamnya di saku celana. Sepatu kets melekat pada kakinya, dia memang suka dengan gaya santai, tidak terlalu ribet. Jika disuruh mamanya memakai gaun, kabur duluan. Rambutnya yang tadi tergerai indah dikucir kuda seperti biasanya.

Gadis itu menuruni tangga menimbulkan suara tak begitu keras dari hentakan sepatunya. Bian yang sedang menonton televisi segera mengecilkan volumenya. Dia menoleh kepada adik keduanya itu.

"Mau kemana lo?"

"Keluar," balas Salsa singkat

"Sama siapa?"

"Setan," jawabnya asal. Asli atau palsu. Eh, itu bukannya acara televisi. Kok jadi, belok ke situ. Dih.

"Oh," ucap Bian santai.

"Ya sama orang lah, bang."

"Sama orang gila?"

"Serah lo deh."

"Ciee, adek gue mau jalan sama orang gila."

Salsa tak terima ledekan itu, langsung mengambil kacang dari toples yang terletak di atas meja. Melemparnya pada kakaknya itu. Tanpa menunggu lama lagi, dua melengos pergi dan menghentikan taksi.

"Woi," sapa gadis itu, lebih tepatnya basa basi begitu sampai di taman Erly. Rupanya, kebiasaan tomboinya belum bisa hilang total.

Fime melambaikan tangannya menyuruh Salsa kemari. Sementara Billy hanya melemparkan senyum tipisnya.

Tumben, Fime ngajak kesini. Ada apa ya? Tanya ke orangnya langsung aja  deh.

Taman ini di bagian pinggir terdapat tiga buah lampu spot dengan sebuah kolam beserta jembatan kecil di tengah taman. Jika, mereka datang ketika malam hari kesannya lebih indah. Sayangnya, mereka ke sini pada siang hari. Tak lupa juga ditumbuhi semak semak dan beberapa pohon.

"Kok tumben lo ngajak gue kesini?" tanya Salsa to the point.

"Emm, emang nggak kangen sama gue?" tanya Billy tersenyum penuh arti.

"Gue nanya lo, geer banget," cibir gadis itu lantas menjitak kepala Billy tanpa permisi dari pemiliknya.

"Kebiasaan lo suka njitak gue. Sakit tau," ujar Billy sok kesakitan padahal jitakan Salsa tak begitu keras.

Lelaki itu menggelitiki pinggang Salsa tak terima perlakuan gadis itu hingga tertawa terbahak-bahak. Mereka terus berlari lari kesana kemari tak tahu arah meninggalkan Fime yang hanya melongo, membuka mulutnya. Kemudian, Fime geleng geleng kepala.

"Aduh, iya..haha...iya gue maaf...hahaha," Salsa mencoba melepas tangan Billy dari pinggangnya.

Billy pun menyudahi semuanya. Lagi lagi tersenyum penuh arti, "Ternyata tomboi bisa minta maaf, baru kali ini gue tau," sambil memasang cengiran khasnya.

"Ck. Tau ah," Salsa melengos pergi, tak peduli.

Brukk.

"Kalo jalan ati ati dong," bentak Salsa. Tubuhnya terhuyung ke belakang karena tak sengaja menabrak seseorang.

"Lo juga kalo jalan pake mata," bentak orang itu tak mau kalah.

"Ck. Bukannya kalo jalan pake kaki?" Suara Salsa melemah disusul sindiran tipis tapi menohok.

Iya juga, ya. Bego gue, batin orang itu--Deva.

"Lo ngapain disini? Lo bisa nggak sekali aja nggak usah ganggu ketenangan hidup gue. Setiap kali gue ada dimana, di balkon, di halte kek, di kantin kek, sampe di empang selalu ada lo. Lo kalo nge fans ma gue bilang aja nggak usah malu malu kucing gitu," Salsa berkata panjang lebar seraya menekan panjang kata 'sekali'

"Hahaha." Deva tertawa terbahak-bahak.

Deg.

Baru kali ini Salsa melihat secara langsung tanpa perantara tanpa angit dan tanpa hujan--Deva tertawa.

"Bawel banget, jadi pengen gue tabok."
Salsa mengetahui yang akan Deva lakukan. Mentabok pipinya. Sebelum hal itu terjadi, Salsa menghindar, memegang tangan Deva dan menepisnya.

"Gue sayang sama lo, Sal." Kini tangannya mengacak acak rambut Salsa.

Deg.

Jantung Salsa melompat lompat dan hampir mencelos ke perut. Tubuhnya tak berkutik dan darahnya berhenti mengalir sesaat. Dia yakin kini pipinya sudah seperti tomat rebus. Ah, pasti merah banget.

Gue juga sayang sama lo, Dev. Sayangnya, Salsa hanya membatinnya.

Aduh, gue tadi ngapain ngomong gitu. Ni hati udah berani ngelanggar janji, batinnya lagi.

Kini kepalanya tertunduk ke rumput taman itu melindungi rona merah di pipinya.

"Sayangnya, gue bohong," Deva menjulurkan lidahnya.

"Ciee, blushing." Deva lagi lagi tertawa terbahak-bahak.

Kenapa gue berpikir tidak tidak, ni otak udah sengklek, batinnya merutuki kebodohannya.

Salsa mendongak, mencari kejelasan di kedua manik mata lelaki itu, matanya melotot tajam, "Dih, geer banget." Sementara tawa Deva sudah berhenti meskipun dia masih menahan tawanya.

Dan akhirnya menarik tangan Billy yang berada tak jauh darinya-- menuju tempat Fime tadi. Ia sudah tak tahan akan godaan Deva.

Mau tak mau dia tak bisa mengelak lagi. Dia telah jatuh cinta pada Deva semenjak Deva menawarkan bantuannya itu. Meskipun, waktu itu dia belum bisa memastikan bahwa dia jatuh cinta beneran atau tidak. Tapi kini dia bisa memastikan diri, dia larut dalam jurang cinta.

Dia telah melanggar janjinya. Cinta telah merubah segalanya, mampu meruntuhkan hatinya yang dikelilingi tembok besar sebagai tameng. Tapi, dia tak mau mengumbar umbar perasaannya ini. Cukup dia dan Tuhan yang tahu. Lebih tepatnya klandestin.

"Darimana lo tau Deva?" tanya Billy begitu sampai di tempatnya berkumpul tadi.

Billy kok kenal sama Deva? Ada apa ini? batin Salsa bertanya tanya.

-------------------------------------------------------------
Senin, 30 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang