07

237 7 0
                                    

Tangan Salsa dicekal oleh Vani dengan tiba-tiba, ditarik paksa menuju ke suatu tempat. Salsa terus terusan bertanya mengapa Vani menarik tangannya, tetapi semakin banyak Salsa bertanya dan mengoceh, Vani bukannya menjawab, justru mempererat tarikannya itu. Salsa mengalihkan pandangannya ke sekeliing sekolah mencari kejelasan tarikan Vani, mungkin ada kejadian yang membuat Vani menarik tangannya. Langkah Vani terhenti tepat di tujuannya sementara Salsa terus berjalan tidak menyadari bahwa Vani telah berhenti berjalan. Akibatnya, jidat Salsa mengenai kepala belakang Vani.

"Sialan lo," umpat Salsa, mengelus- elus jidatnya. Kali ini dia belum bisa merubah sifat tomboinya.

"Liat tu senior," tunjuk Vani ke arah gedung belakang sekolah.

Gedung itu selalu terlihat sepi tanpa adanya siswa siswi yang nongkrong di sana. Tapi tidak, khusus untuk hari ini. Hari ini banyak siswa siswi yang mengerumuni sebuah lingkaran setan dan bersorak, bagaikan mendapat tontonan gratis. Tapi, itu memang tontonan gratis. Bukan hanya para segerombol anak laki yang mengerumuni lingkaran itu, bahkan para cewek pun ada, mereka berteriak histeris. Tontonan gratis itu membuat Salsa semakin penasaran.

"Ada yang nantangin Kak Deva berantem," ujar Vani, pandangannya tetap fokus menuju lingkaran setan itu.

Tanpa ba bi bu, Salsa berniat menyeruak masuk kedalam, rasa penasarannya bertambah besar ketika berlari menuju ke lingkaran itu. Jantungnya berpacu lebih cepat ketika dia berada di antara kerumunan lingkaran setan itu. Matanya membelalak lebar saat dilihatnya Deva yang bisa dibilang hampir tawuran. Bukan. Bukan hampir, malah sudah tawuran. Cowok yang tak dikenal Salsa, berada di depan Deva, tubuhnya sudah jatuh tersungkur. Sudut bibir Deva mengalirkan tetes demi tetes darahnya. Bisa dipastikan Deva telah meninju cowok itu, tapi sebelumnya cowok itu telah meninjunya terlebih dahulu. Darah Deva naik mencapai di titik paling tinggi ubun ubunnya. Dia begitu marah terhadap cowok itu. Lagi lagi dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Lagi lagi dia melanggar janjinya.

Gadis itu menarik lengan Deva menuju ke UKS. Di sela sela perjalanan menuju ke UKS, Deva bertanya, "Kamu tadi kenapa?"

"Seharusnya gue yang nanya, lo yang kenapa?" tukas Salsa.

"Tadi--"

"Jelasinnya nanti aja. Ikut gue ke UKS."

"Besok?"

"Bukan saatnya bercanda," balas Salsa dengan nada sedikit membentak dan  tetap menarik tangan Deva menuju ke UKS.

Di UKS, Salsa menuntun Deva untuk duduk di sofa. Gadis itu tidak sadar bahwa sedari tadi Deva terus terusan melihat wajah Salsa tanpa beralih sedikit pun. Gadis itu mengambil kapas dan obat merah, diserahkan kedua benda itu ke Deva. Melihat tingkah Salsa, Deva pun menaikkan alisnya heran.

"Nih," Salsa tetap menyodorkan kedua benda itu ke depan muka Deva.

"Buat?"

"Otak lo lagi geser, ya?"

"Nggak."

Sesaat kemudian, "Oh, saya tau kamu pasti mau ngobatin saya, ya? Obatin nih hati saya, hati saya kesepian, sakit rasanya," cerocos Deva.

"Otak lo bener bener geser. Ck," Salsa membelakkan matanya seraya berdecak.

"Kamu-"

"Sejak kapan lo pake sebutan 'saya-kamu'?" potong Salsa.

"Sejak ada bidadari di depan saya," Deva terkekeh pelan.

"Jijik, geli, dangdut banget."

"Tapi suka, kan?"

"Sumpah gue jijik."

"Obatin, saya nggak bisa nih, juga nggak tahu di mana letak lukanya," pinta Deva.

Iya, ya. Dia kan nggak tau dimana letak lukanya.

Salsa beranjak dari sofa, mondar mandir mencari di mana letak cermin. Sampai akhirnya, Salsa berjalan mendekati meja dekat lemari lalu mengambil benda itu dan menyodorkan tepat di muka Deva.

"Nih, pake cermin, nggak usah lebay."
Gadis itu heran ternyata cowok yang kelihatannya cuek ternyata bisa lebay dan ngegombal. Contohnya Deva.

"Buat apa?"

"Lo ngaca, terus lo obatin sendiri lukanya, lo bisa liat lukanya lewat kaca," jelas Salsa.

"Nggak usah ngaca gue udah ganteng kok," ucap Deva sadar pesona.

Salsa memakai tampang muka datar. "Jijik tau, Dev." Deva tertawa geli setiap kali Salsa bilang 'Jijik'

Cewek itu mampu menghadirkan perasaan yang selama ini hilang. Sekarang Deva berani untuk memulai proses jatuh cinta lagi.
Memang itu sebuah prinsip manusia, sudah berkali kali patah hati tapi tetap mau untuk jatuh cinta lagi. Manusia memang tak kenal menyerah dalam hal cinta, terus menggali sampai dia dapat. Cinta memang bagaikan penawar dalam segala hal. Bahkan, tiga perempat otak manusia dipenuhi tentang cinta. Otak manusia selalu merangkai fragmen fragmen detail tingkah dan wajah seseorang. Terkadang bisa membuat fikiran tidak fokus dan senyam senyum sendiri jika mengingatnya. Cinta memang hal yang paling terindah dalam sejarah hidup manusia. Tanpa cinta hidup manusia seakan seperti jarum yang menjalar, tak pernah menemukan titik kebahagiaan. Karena setiap ada cinta pasti muncul kebahagiaan. Setiap ada cinta pasti juga nantinya muncul bagaimana rasanya jatuh. Manusia ditakdirkan untuk jatuh cinta agar merasakan bagaimana rasanya jatuh, terutama bisa membina ketegaran dan kesabaran hati.

"Lo tetep nggak mau, gue tinggalin," ancam Salsa seraya beranjak dari sofa.

"Obatin. Kamu nggak khawatir sama saya? Saya lebam-lebam nih," Deva menunjuk lukanya.

Ck. Keras kepala.

"Tapi kelihatannya kamu khawatir dengan saya," Deva tersenyum manis.

"Sok tau," cibir Salsa.

"Tapi tadi kok bawa saya ke UKS?"

Skakmat.

Salsa mati kutu, tak bisa menjawab apa apa. Dia juga tak tahu mengapa dia melakukan hal itu. Lalu, dia mengambil kapas dan mengobati luka di sudut bibir Deva. Sedangkan Deva senyum senyum sendiri menambah kesan menjijikkan bagi Salsa.

"Kalo ngobatin saya pake hati dong," ucap Deva saat Salsa memencet kapas di lukanya kasar.

"Lebay lo. Sumpah-"

"Jijik gue," potong Deva.

"Kok lo tau?"

Deva menghembuskan nafasnya perlahan lantas menjawab,"Gue udah hafal."

"Udah," Salsa melempar kapas ke tempat sampah. Lalu, pergi berlalu meninggalkan UKS.

"Nggak nunggu saya?"

***

Shofia berlari kencang ke arah Salsa yang sedang bercengkerama dengan Vani dan Livia. Dengan nafas yang tak beraturan akhirnya Shofia sampai ke tujuannya.

Masih dengan nafas yang terengah- engah, Shofia lantas berkata, "Sal, lo di..hosh..suruh ke... hosh..ke roff..top."

"Ngapain? Nggak ah, kurang kerjaan," Salsa memutar bola matanya malas.

"Dia nggak nerima penolakan."

"Dia siapa?"

Shofia mengangkat tangan kanannya lalu berlalu pergi. Meninggalkan beribu tanda tanya di otak Salsa.

°°°

Kamis, 12 Mei 2016

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang