02

262 8 0
                                    

Hari itu Salsa terpaksa tidak mengikuti ulangan karena ketika dia masuk kelas, semua sudah mengumpulkan lembar jawaban dan waktu ulangan dinyatakan habis. Bertepatan dengan itu bel istirahat berbunyi nyaring. Seperti biasa semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas untuk mengisi perutnya yang sedari tadi sedang konser heboh. Ketika kelas sudah sepi, Salsa, Vani, dan Livia memilih tetap di dalam kelas. Tak berkeinginan kemana mana pun.

"Tumben lo nggak gabung sama anak laki," sindir Vani. Matanya melirik Salsa yang sedang menopang dagu.

"Lagi males. Tapi, kalo itu keinginan kalian gue pergi dulu," ujar Salsa sambil beranjak dari kursinya.

"Iya-iya. Habisnya, lo kemana-mana gabung sama anak laki kayak nganggep gue sama Livia tembok."

Hening sesaat.

"Lo harus bantuin gue," ucap Salsa tiba-tiba disertai tersenyum miring kepada Vani

"Bantuin apa?" tanya Vani sementara Livia hanya merespon dengan gayanya yang simpel. Menaikkan alis kanannya.

Salsa menarik tangan kedua sahabatnya keluar kelas. Sesampai di luar kelas, mata Salsa mondar-mandir mencari sesuatu ke seluruh penjuru sekolah.

"Nyari siapa, Sal?" tanya Vani lagi.

Akan tetapi, yang ditanya tak menghiraukannya dan berjalan menuju ke kantin. Pandangan gadis itu jatuh pada sosok yang tengah dicarinya tadi.

"Liv, lo tunggu di meja itu dulu. Gue sama Vani mau pergi bentar. Oiya, sekalian pesen nasi goreng," suruh Salsa begitu sampai di kantin. Telunjuk kanannya menunjuk ke arah meja yang disebutkannya tadi.

Lagi-lagi insiden tarik menarik itu terjadi. Kali ini tangan Salsa menarik kuat tangan Vani menuju ke meja segerombolan Deva, dkk. Sampai-sampai Vani meringis menahan rasa sakit pada tangannya yang ditrik Salsa. Mereka bersenda gurau tetapi tidak bagi Deva. Palingan cuma tersenyum tipis walau tipis, itu jarang dilakukan Deva. Sikap itu tumbuh saat dirinya meninggalkan seorang gadis kecil.

"Ada perlu apa, Sal?" tanya Alvan menatap Salsa intens.

Kok dia tahu nama gue, ucap Salsa dalam hati dan seraya menaikkan dua alisnya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Salsa risih dilihat seperti itu.

"Dari Iven." jawab Alvan yang sudah mengetahui apa yang difikir oleh Salsa. Salsa pun membalasnya dengan ber 'oh' ria.

"Gue mau ngomong sama kak Deva." ucap Salsa to the point, gadis itu melirik cowok di samping Alvan. Meskipun Deva mendengar dirinya dibicarakan, dia tetap mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang membuat benda mati itu jauh lebih menarik dari sahabatnya.

"Woi, Deva. Lo dipanggil budeg," seru Alvan sambil menyenggol lengan Deva.

"Hmm," gumam Deva masih tetap mengutak-atik ponselnya.

Karena merasa tak dihiraukan, Salsa pun menarik tangan Deva menuju taman belakang sekolah. Ketika sampai di taman belakang sekolah, Deva melepas tangannya yang sedari tadi ditarik oleh gadis yang tidak dikenalinya dan menatapnya tajam. Begitu pun dengan Salsa, dia juga membalas tatapan Deva dengan tatapan tajam.

Berani-beraninya dia megang tangan gue sambil natap tajam gitu, batin Deva heran.

Deva ingin memarahi gadis yang berkelakuan tidak sopan itu tetapi entah mengapa dia tidak tega untuk memarahinya. Deva hanya mengikuti kata hatinya itu.

"Lo tau kenapa ni pelipis dibungkus kapas?" tanya Salsa, menatap terang-terangan cowok di hadapannya untuk mencari penjelasan.

Sedangkan Deva hanya diam dan kepalanya berpaling ke arah lain bukan kearah gadis itu. Menurutnya, buang-buang waktu untuk mengurusi gadis di hadapannya ini.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang