09

234 7 0
                                    

Gadis itu merebahkan badan di atas kasur kamarnya.Tetap dengan kondisi telinga tersumpal earphone.Mengingat kabar bahwa Alvi meninggal. Meninggalkan semua kenangan indah bersamanya. Kenangan itu tetap ada dalam benak Salsa meskipun yang salah satu yang berperan dalam kenangan itu sudah pupus. Kenangan tak mudah untuk dihapuskan. Sulit. Kenangan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi, wajar kalau banyak orang yang susah move on karena kenangan lah yang menyumbatnya.

In another life, I would make you stay
(Di kehidupan lain, aku kan membuatmu tinggal)

Kehidupan kekal. Tempat berpulang para umat manusia kepada yang punya.

So I don't have to say
(Sehingga aku tak harus bilang)

You were the one that got away
(Engkaulah Satu hal istimewa yang telah hilang)

The one that got away
(Satu hal istimewa yang telah hilang)

"Gue benci cinta. Karena cinta telah merubah semuanya. Cinta yang buat lo ngehindar dari gue," sesal Salsa.

Isakan dalam diam. Ya, dia menangis dalam diam. Air matanya sudah lelah untuk keluar. Matanya juga lelah untuk menampakkan kantung mata jika habis menangis. Duduk di teras balkon rumahnya pilihannya sekarang. Earphone yang tersumpal di telinganya tadi sudah dilempar ke meja belajarnya.

Gadis itu tak percaya, tak pernah memikirkan akan terjadi konspirasi seperti ini. Setiap kehidupan manusia selalu dibubuhi oleh konspirasi. Mulai konspirasi kecil, sedang, sampai besar. Tuhan sengaja menumbuhkan hal itu untuk menguji kepada hambanya, seberapa kuat menjalani konspirasi yang telah diaturNya itu. Sejak saat itu, Salsa menyadari jika kehidupan dunia ini tanpa sebuah konspirasi pasti manusia menjadi makhluk yang lebih laknat. Tak pernah bersyukur.

"Seharusnya gue siap untuk jatoh. Gue cewek bego. Bego karna nggak siap jatoh. Gue bego, kan?" tanyanya pada senja berharap Alvi juga mendengarnya.

Semburat jingga kemerah merahan pada cakrawala menambah kesan pas  dengan suasana hati gadis itu. Gumpalan awan di sore itu memang momen paling indah dalam hidupnya. Dengan cara seperti ini, dia bisa leluasa melihat dan merasakan keindahan alam sebenarnya. Tepatnya, berbicara dengan sang alam meskipun alam hanya diam tak merespon.

"Iya, lo cewek bego."

"Lo benci sama gue kan, Al? Gue tau benci."

Dadanya naik turun memendam kekesalannya selama ini. Kekesalan dan kesalahan yang dibuatnya sendiri.

"Gue nggak benci sama lo," suara bariton menyentak Salsa.

Seketika Salsa sadar, siapa yang telah menjawabnya. Padahal dia sedang bertanya pada sang senja. Namun, sebuah insanlah yang menjawabnya.

Suara itu, ah jangan-jangan... nggak mungkin. Tapi--

Imajinasi liarnya berkecamuk ke mana mana. Tubuhnya mendadak kaku. Darahnya berhenti mengalir dan jantungnya berpacu cepat. Tak beraturan. Ingin sekali kepalanya berputar untuk menengok ke belakang punggungnya. Berharap dia datang, tapi rasa takutnya lebih besar. Takut jika dia menjadi lebih benci karena pengaduannya kepada sang alam. Gadis itu ingin tapi ragu. Ah, jadi bingung.

Mulutnya menganga sementara matanya membelalak lebar saat melihat objek di depannya. Berdiri tenang seperti air mengalir dengan kedua tangannya melipat di dada. Dua detik tanpa pergerakan, ekspresi terkejut Salsa berubah datar lagi. Menyadari bukanlah objek yang selama ini  diinginkannya, yang datang malah biang kerok itu lagi. Objek yang kini berdiri tegak di depannya tanpa dosa itu sudah berkali kali mengganggu kesendiriannya. Ketenangannya.

Satu detik lengang.

Salsa menjitak kepala Deva. Berani beraninya dia masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu. Coba nanti kalau mamanya tahu, dikira ada apa apa lagi. Dasar. Alhasil Deva meringis kesakitan, mengusap usap kepalanya.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang